Fanfiction : The One That Got Away #6

pageFF copy

Ceritanya lumayan panjang dan alurnya agak aneh. So, happy reading 😉

Suara kayu saling beradu mengoyak keheningan di gedung olahraga Sydney International High School. Seorang gadis mengenakan pakaian bogu hitam—pakaian khusus seni beladiri Kendo yang terbuat dari kain katun tebal, tanpa mengenakan men—pelindung kepala berbentuk kisi-kisi, berkali-kali memukulkan shinai-nya—pedang panjang yang terbuat dari kayu ke arah boneka kayu Muk Yan Jong yang biasa digunakan untuk berlatih wing chun. Rambutnya diikat sembarang membentuk ekor kuda. Beberapa titik keringat tampak bermunculan di wajahnya.

Hampir dua jam Estelle menghabiskan waktunya berlatih Kendo sendirian di tempat ini. Ia membolos di kelas bahasa Inggris karena terlampau kesal dengan kejadian tadi pagi yang merusak mood-nya serta alasan lain yang membuatnya malas melihat hidung besar Mr. Crutchlow.

Gadis itu mengerahkan seluruh tenaganya, mengumpulkan fokusnya pada satu titik, lalu mengayunkan pedang ke boneka kayu malang itu untuk melampiaskan kemarahannya. Estelle tidak pernah merasa semarah ini sebelumnya. Tidak pernah ketika ibunya meninggal. Tidak pernah ketika Casey mengabaikannya dan lebih memilih berkutat dengan berkas ‘berharganya’. Tidak pernah ketika Casey menamparnya. Bahkan, Estelle tidak pernah merasa semarah ini ketika tahu ayahnya pulang dan membawa ibu serta saudara barunya untuknya. Namanya hancur. Harga dirinya diinjak. Ia sungguh tidak terima.

Setiap pukulan yang ia arahkan ke boneka kayu itu, ia berharap itu adalah tubuh Alicia atau mungkin tubuh saudara tirinya yang memuakkan itu. Dengan begitu betapa bahagianya ia dapat menyiksa boneka kayu itu dengan seluruh kekuatan yang ia miliki. Estelle tidak peduli jika ia telah mengkhianati beladiri itu karena setiap pukulan yang ia lesakkan ke boneka kayu itu bertentangan dengan filosofi Kendo itu sendiri. Ia menggunakan emosi, membutakan mata dengan hal-hal negatif, berperang dalam kebencian dan melampiaskannya dengan beladiri ini.

Air mata marah menggenang di sudut matanya. Estelle dengan membabi-buta memukul dan terus memukul pedangnya ke boneka kayu itu, tidak peduli jemarinya mulai menjerit protes karena sakit serta rasa lelah yang menyerang bahunya tidak ia pedulikan. Ia terlalu marah untuk sekadar berhenti untuk beristirahat. Harga dirinya tersakiti dan ia tidak terima direndahkan seperti itu.

Kenapa? Kenapa mereka begitu kejam kepadaku? Kenapa selalu aku? Kenapa mereka terus mengolok-olokku? benak Estelle berteriak. Ia benci, sangat benci pada semua orang yang pernah hadir di hidupnya. Ayahnya adalah orang pertama yang berada di daftar teratas orang yang pantas ia benci. Karena ayahnyalah ia menjadi pribadi pembangkang seperti ini. Estelle sering melawan guru dan sering membuat masalah pada awal-awal masuk sekolah. Ia sengaja melakukannya karena tahu pihak sekolah akan menghubungi Casey dan ayahnya akan segera kembali ke Sydney, meninggalkan pekerjaannya di belahan dunia lain, lalu menghadap sekolah, membicarakan tingkah buruk anak tunggalnya.

Setidaknya Estelle bersyukur karena dengan demikian ia punya alasan untuk bertemu Casey walaupun pada akhirnya ia akan dimarahi sepanjang hari. Menyedihkan sebenarnya. Tapi, Estelle tetap tersenyum mendengar setiap omelan ayahnya. Karena itu artinya Casey peduli padanya. Namun, hal itu tidak terulang kembali. Casey tidak pernah lagi pulang saat pihak sekolah meneleponnya dan melaporkan sederet kelakuan Estelle yang bertingkah di luar batas.

Estelle rindu ayahnya. Pria itu pergi dan baru kembali setelah berbulan-bulan. Estelle sering menangis. Dan Casey tidak pernah tahu. Segala pemberontakannya tidak pernah berarti. Bahkan ia sendiri juga lelah. Casey tidak pernah peduli lagi padanya. Kalimat itu terus terngiang di kepalanya. Casey, ayahnya tidak pernah peduli lagi padanya.

Darah Estelle mendidih mengingat setiap dosa yang telah diperbuat ayahnya. Ayahnyalah yang membawa Marc dan Roser masuk ke rumah. Ayahnyalah yang membuat dirinya jadi santapan gosip tak senonoh di sekolah. Karena Marc dan Roser, ayahnya pantas disalahkan atas segala kejadian buruk yang menimpa Estelle. Seandainya… seandainya tidak ada hukum yang mengatur di negara ini, Estelle tidak akan segan membunuh ayahnya dan membuang jasadnya ke laut. Sebodoh amat ia akan dicap pembunuh ataupun anak durhaka. Ia tidak peduli. Ayahnya harus membayar semua!

Mata Estelle mengabur oleh air mata. Pukulannya melemah dan beberapa kali meleset dari sasaran. Tenaganya sudah terkuras habis. Ia merasakan nyeri yang teramat sangat di telapak tangannya. Boneka kayu itu masih bertengger kokoh di hadapannya.

Seseorang merebut pedang kayu Estelle dari belakang, lalu melemparnya kasar ke lantai gedung, menciptakan dentuman keras. Sesaat Estelle merasa tangannya kebas, tak bertenaga. Namun, ia segera tersadar dan membalikkan tubuh, siap menyemburkan amarahnya pada orang yang berani mengusiknya. Otaknya bahkan telah menyiapkan berbagai makian kasar untuk orang kurang ajar tak tahu diri itu.

“Bajingan sial—”

“KAU SUDAH GILA, YA? KAU PIKIR APA YANG SEDANG KAU LAKUKAN?!” teriak Scott, memotong ucapan Estelle. Tatapan tajamnya diarahkan ke wajah gadis itu.

“APA?!” bentak Estelle, tak gentar menghadapi Scott.

Mata Scott berkilat marah. “Kau berani membentakku?!”

Tubuh Scott tinggi menjulang di hadapan Estelle. Gadis itu mundur beberapa langkah. Ia mengangkat dagunya, memasang wajah angkuh seperti biasa. “Kenapa tidak? Kau pikir kau siapa?!” balasnya ketus.

“Siapa aku?” Nada mengancam terdengar dalam suara Scott. Tangan Scott lantas terangkat, mencengkeram keras lengan Estelle dan memaksa gadis itu menatapnya. Estelle tidak bisa mundur. Cengkeraman Scott di lengannya terlalu kuat. “Kau pikir aku siapa?” Cowok itu merendahkan suaranya. “Sialan kau, Estellina!” umpatnya kasar dan membuat Estelle tersentak kaget.

Mata Estelle mengerjap beberapa kali. Terkejut. Matanya jatuh ke tangan kekar Scott yang mencengkeram lengannya. Scott mengumpat padanya. Cowok itu mengumpat… padanya. Bibir Estelle terbuka, namun tak ada kata yang keluar.

Mendadak ia merasa tubuhnya bergetar. Bahunya terkulai lemas. Scott segera menarik tubuh mungil itu ke dadanya, mendekapnya erat, membenamkan kepalanya di sana. Estelle mulai terisak dalam pelukan Scott.

“Haruskah kau seperti mereka juga? Kau mengumpat padaku. Kenapa semua orang melakukan ini padaku?” Estelle mengerang di sela tangisnya. Erangan pilunya membuat Scott merasa bersalah.

“Aku minta maaf. Sungguh, aku tidak bermaksud seperti itu,” ucap Scott dengan nada menyesal.

Estelle tidak merespons ucapan Scott. Gadis itu semakin terisak. “Mereka jahat, Scott. Mereka jahat.”

Scott mengusap lembut punggung Estelle, mengecup keningnya dan menghirup aroma rambut gadis itu. “Aku percaya padamu. Apa pun yang kau lakukan, aku percaya padamu. Aku tahu kau tidak salah,” bisik Scott begitu menenangkan.

“Tapi, mereka tidak. Mereka merendahkanku. Mereka menghujatku, menjatuhkanku. Apa salahku pada mereka? Kenapa mereka melakukan itu padaku? Kenapa mereka semua kejam kepadaku? Kenapa, Scott? Kenapa mereka lakukan ini padaku?” raung Estelle sembari memukul lemah dada Scott.

Scott mengeratkan pelukannya, membiarkan Estelle mengeluarkan seluruh isi hatinya. “Karena mereka tidak mengenalmu, Estelle. Mereka iri terhadapmu. Mereka terlalu mengangumimu hingga menyalahgunakan arti kagum itu untuk menyerangmu. Kau tidak salah, mungkin pernah sesekali membuat kesalahan. Semua orang pernah membuat kesalahan. Kau hanya manusia biasa,” ucap Scott di rambut gadis itu.

“Tapi, mereka sudah keterlaluan. Mereka jahat,” sela Estelle.

“Sstt, tenanglah,” Scott mengusap rambut Estelle.

Estelle menjauhkan wajahnya dan menatap Scott penuh harap. “Kau tidak akan seperti mereka kan, Scott? Berjanjilah padaku kau tidak akan seperti mereka yang menghujatku. Hanya kau satu-satunya selain Bradley yang kupercaya.”

Scott tersenyum, sangat tulus dan menjawab, “Aku tidak mungkin melakukannya. Kau sahabatku. Aku akan selalu ada untukmu. Apa pun yang terjadi.”

Mereka kembali berpelukan, tidak menyadari seseorang yang berada di sudut gedung lainnya, memperhatikan mereka dengan ekspresi terluka di wajahnya.

Bukan dia, Estelle. Bukan dia. Tapi, aku. Akulah sahabatmu. Akulah yang seharusnya kau percaya, jerit orang itu dalam hati.

***

Belasan pasang mata mengawasi Estelle bagai burung rajawali mengintai sang mangsa saat gadis itu berjalan melintasi area loker. Estelle tidak mengacuhkan mereka dan terus melanjutkan langkahnya, kemudian berhenti di depan lokernya sendiri yang bagian luarnya tampak bersih.

Estelle menelan ludah dengan susah payah. Dalam hati ia meringis. Biasanya penggemar gadis itu yang jumlahnya berpuluh-puluh orang sering menempelkan kertas warna-warni berbentuk hati yang bertuliskan kata-kata hanya sekadar rayuan, pujian, ataupun ajakan kencan. Saat itu Estelle tidak peduli bahkan menganggap kertas-kertas itu seperti sampah yang merusak pemandangan. Tapi, kali ini gadis itu seakan ditampar kenyataan pahit karena tak satu pun kertas menghiasi loker miliknya.

Estelle mengabaikan orang-orang yang menatap penasaran, lalu membuka lokernya dan tertegun ketika melihat setangkai mawar segar dan sebatang cokelat almond—cokelat kesukaannya—diletakkan di dalam lokernya. Estelle menyentuh tangkai mawar itu, matanya menangkap sebuah kertas yang tertindih di bawah bungkusan cokelat. Estelle mengambil kertas itu dan membacanya.

Hari ini kau tampak kacau. Tersenyumlah. Kau cantik jika tersenyum. Prince.

Sudut-sudut bibir Estelle bergetar dan tertarik ke belakang, membentuk seulas senyum geli. Estelle mengambil mawar itu dan membawanya ke hidung, menghirupnya dalam-dalam dengan mata terpejam.

Prince, siapa pun kau orangnya, aku sangat berterima kasih padamu karena telah menghiburku. Tulisanmu sangat berarti untukku, Estelle berkata dalam hati.

***

Tepat saat bel jam terakhir berbunyi siswa-siswi tersebut melompat girang dan segera menghambur keluar kelas, menikmati hari pembebasan mereka karena besok dan lusa sekolah akan diliburkan untuk memperingati hari besar di Australia. Apalagi ditambah dua hari libur di akhir pekan, membuat hari libur mereka kian sempurna.

Beberapa kelompok bahkan telah berdiskusi untuk menjalankan agenda mereka di hari libur, seperti klub pecinta lingkungan yang telah merencanakan akan melakukan orasi di pinggir jalan tentang kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan, dan klub basket yang akan melakukan pertandingan persahabatan dengan sekolah tetangga pada hari Sabtu sebelum mengikuti turnamen tahunan yang akan diadakan beberapa minggu lagi, serta klub guru selebriti—klub yang saat terbentuk hampir membuat sang kepala sekolah terkena stroke dan serangan jantung karena misi utama dari klub tersebut adalah mencarikan jodoh untuk guru yang masih lajang atau sedang putus cinta—yang bisa ditebak seluruh anggotanya berasal dari kalangan guru-guru Sydney International High School yang berjenis kelamin perempuan.

Terbukti dari 10 percobaan perjodohan, tidak ada satu pun yang berhasil. Tapi, kali ini mereka kedatangan target baru, tak lain dan tak bukan adalah si guru baru yang bernama Marc Márquez Alenta. Miss Stone atau yang memiliki nama lengkap Jennifer Stone merupakan penggagas guru selebriti ini. Wanita berumur 40 tahun itu dan rekannya, Miss Calyster—Vivianne Calyster, 35 tahun—akan mencoba peruntungan mereka untuk memikat guru tampan itu. Siapa tahu saja Marc tertarik pada mereka. Namun, masalah muncul semenjak kedatangan Marc ke sekolah itu, nama klub guru selebriti langsung melejit naik bagai roket, mengalahkan klub-klub lainnya karena keproduktivan anggotanya.

Klub yang semula beranggotakan 15 orang itu mendadak terkenal karena dalam sehari anggota mereka bertambah sebanyak 44 orang, hingga total semuanya menjadi 59 orang.

Dari 60 pengajar wanita di Sydney International High School, hanya tersisa satu orang yang tidak berminat masuk ke klub konyol itu. Dialah Miss White—Jolly White—wanita berusia 36 tahun itu bersumpah tidak akan pernah menikah seumur hidupnya karena pernah diselingkuhi oleh kekasihnya.

Jadi, tidak heran jika baru beberapa hari Marc menginjakkan kakinya di sekolah ini, setiap pagi meja kerjanya selalu dipenuhi berbagai benda-benda konyol bahkan sampai menjijikan. Salah satunya adalah kondom. Marc sempat mengenyitkan kening saat mengangkat benda itu ke atas dan ketika tahu siapa yang memberinya benda tersebut, sontak rasa jijiknya bertambah dua kali lipat. Miss Lynn—Alessandra Lynn—si perawan tua berwajah monster dengan keriput di sana-sini secara terang-terangan menunjukkan ketertarikannya pada Marc dan bersedia memberikan keperawanannya untuk laki-laki itu.

Marc, antara harus merasa kesal, jijik, dan geli hanya menanggapi wanita-wanita genit itu dengan ekspresi aku-tidak-berminat-menjalin-hubungan-dengan-wanita. Laki-laki itu harus cukup sabar untuk menghadapi mereka.

***

Koridor gedung utama sekolah yang memiliki akses langsung ke lapangan parkir mulai sepi. Estelle menenteng tas sekolah di bahu kanannya dan berjalan ke luar gedung. Ponselnya bergetar di saku rok lipitnya. Ia mengeluarkan benda pipih itu dengan malas, kemudian membaca pesan singkat yang dikirim oleh nomor yang tak dikenal.

Maaf, aku agak terlambat. Kau tunggu saja di lobi sekolah. 15 menit lagi aku akan datang. Marc.

Estelle menatap sebal ke ponselnya, kemudian memasukkan benda itu dengan raut jengkel ke dalam sakunya. Gadis itu memutar arah kembali ke gedung sekolah. Ia mengentak-entakkan kakinya di lantai gendung, mengekspresikan kekesalannya kepada laki-laki belagu itu. Estelle tidak suka menunggu dan sekarang laki-laki itu membuatnya harus menunggu.

Sialan! Lihat saja kau! Aku akan membalasmu, dasar laki-laki tolol! geramnya.

“Kau belum pulang?” Sebuah suara mengejutkan Estelle dari belakang. Estelle refleks memutar tubuhnya.

“Scott?”

“Kau belum pulang?” ulangnya.

“A-aku sedang menunggu jemputan,” jawab Estelle sembari memamerkan senyum. Sejenak Estelle melupakan kekesalannya terhadap Marc.

Scott membalas senyum Estelle. “Mau aku antar kau pulang?” tawarnya.

Tanpa berpikir dua kali, Estelle mengiyakan tawaran Scott. “Ya.”

“Baiklah. Kalau begitu silakan jalan duluan, Tuan Putri,” Scott membungkukkan tubuhnya, mempersilakan Estelle mendahuluinya.

Estelle tertawa geli. “Jangan konyol!”

“Ayolah,” goda Scott, masih membungkukkan tubuh.

Estelle mengangguk, kemudian berjalan mendahului Scott. Namun, baru beberapa langkah ia berjalan, Estelle merasakan tubuh Scott mengapit di sebelahnya. Salah satu tangannya melingkar di pinggang Estelle.

Hati Estelle berbunga-bunga. Perasaan hangat menjalar di sekujur tubuhnya. Ia telah menemukannya, sahabatnya, pelindungnya, dan… pangerannya.

***

Sekolah sudah sepi saat Marc keluar dari kantor guru yang terletak di sebelah gedung utama. Laki-laki menyeberang ke gedung sebelah dengan langkah cepat karena ia terlambat 5 menit dari 15 menit yang ia janjikan pada Estelle.

Saat memasuki lobi sekolah, Marc tidak melihat siapa pun. Mungkin di lapangan parkir, pikir Marc. Laki-laki itu berlari ke lapangan parkir dan lagi-lagi tidak melihat ada tanda-tanda keberadaan Estelle di sana.

Seketika perasaan cemas melanda hati Marc. Marc kembali berlari ke gedung utama dan menyusuri tiap ruangan yang besarnya bukan main. Gedung itu berjumlah dua lantai dengan lebar hampir sama setengah lapangan sepakbola.

Butuh setengah jam Marc memeriksa seluruh ruangan di gedung utama dan semuanya kosong. Estelle tidak ada di mana-mana. Dada Marc bergemuruh. Perasaan panik menjalari tubuhnya. Ia mengeluarkan ponsel dengan kasar dan menekan angka yang sudah ia hafal di luar kepala.

Tak aktif.

“Sial!” umpatnya.

Marc berlari ke lapangan parkir. Ia masuk ke dalam mobil, menjalankannya dengan kecepatan tinggi. Amarah menguasai Marc. Gadis itu, gadis sialan yang bermulut kurang ajar itu, Marc bersumpah akan mencekik lehernya dan memberinya pelajaran karena berani-beraninya meninggalkan lobi sebelum dirinya datang.

Napas Marc memburu. Perjalanan ke rumah yang biasanya memakan waktu setengah jam dipangkasnya menjadi 15 menit. Marc menghambur masuk begitu sampai ke rumah.

Wajah laki-laki itu merah padam dengan mata berkilat marah. Roser yang berada di ruang tengah terkejut mendengar bantingan pintu depan.

“Ada apa?” tanya wanita paruh baya itu.

“Apa Estelle sudah pulang?” tanya Marc di sela-sela giginya.

“Belum. Bukannya dia bersamamu?” Roser tampak bingung.

“Sialan!” maki Marc, kemudian berbalik menuju pintu masuk.

“Marc, tunggu!” teriak Roser di belakang.

Marc berhenti dan menghadap ibunya. “Estelle tidak bersamaku. Dia belum pulang dan aku tidak tahu di mana dia sekarang. Aku akan pergi mencarinya. Dan nanti jika dia pulang, hubungi aku. Aku akan memberinya pelajaran berharga karena tidak mematuhi perintahku.”

Marc menghilang, meninggalkan Roser yang masih tertegun di tempat. Butuh setengah detik untuk mencerna apa yang dimaksud Marc dan seketika perasaan panik ikut melanda hatinya.

“Oh, astaga,” Roser memegang dadanya.

***

Hari menjelang sore ketika deru mesin mobil terdengar di depan kediaman keluarga Stoner. Estelle turun dari mobil itu dengan wajah berseri-seri. Gadis itu merendahkan tubuhnya dan mengucapkan kalimat perpisahan di jendela mobil.

“Terima kasih untuk hari ini, Scott,” Estelle tersenyum penuh arti.

“Sama-sama, Tuan Putri. Kalau begitu sampai bertemu besok,” balas Scott, lalu menghilang dari pandangan Estelle.

Estelle masih tersenyum senang. Ketika ia membalikkan tubuhnya senyum di bibirnya hilang seketika. Marc bersandar di belakang pintu dengan tangan disedekapkan ke dada dan menatap tajam ke arahnya. Pakaian laki-laki itu masih sama seperti tadi. Kedua lengan kemejanya digulung hingga batas siku dan bagian depannya tampak kusut. Rambutnya terlihat acak-acakan, tidak serapi tadi pagi, tapi tidak mengurangi kadar ketampanannya.

Wajah laki-laki tidak ada ekspresi, namun aura mengancam mengeluar dari tubuhnya yang berdiri diam itu. Estelle melangkah tanpa takut. Mata biru kelabunya tak kalah tajam dari Marc.

Saat hendak meraih gagang pintu, pergelangan Estelle dicekal kuat oleh Marc. Tatapan tajamnya segera berubah menjadi tatapan garang bak harimau hendak menerkam mangsanya.

“Lepas!” sentak Estelle.

Estelle meringis pelan dan berusaha meronta. Namun, cengkeraman Marc bertambah kuat hingga Estelle merasa urat nadinya akan putus sebentar lagi.

“Aku akan memberimu dua pilihan,” Marc merendahkan suaranya. Estelle merinding karena suara ini terdengar asing di telinganya. “Pertama, jelaskan padaku secara baik-baik kenapa kau tidak menuruti perintahku atau aku terpaksa menggunakan kekerasan supaya kau membuka mulutmu.”

“Tidak keduanya!” sergah Estelle marah.

Marc memajukan wajahnya, matanya melotot pada Estelle. “Benarkah? Kalau begitu kuanggap kau memilih yang kedua,” desis Marc dengan nada bengis.

Marc mendorong pintu itu dengan keras dan menyeret Estelle masuk bersamanya. Gadis itu meronta keras dan menjerit kesetanan dengan makian-makian kotor yang ia lontarkan ke Marc.

“Dasar bajingan sialan, tak tahu malu, tak bermoral, tidak punya sopan satun, menjijikan-“

Marc menghentikan langkahnya. Tangannya terangkat dan mencengkeram kasar dagu Estelle. “Tutup mulutmu!” desisnya marah.

Wajah Estelle merah padam menahan tangis yang hendak pecah. Marc menyeretnya melewati tangga dan membawanya masuk ke kamar laki-laki itu. Estelle menjerit lebih keras, memberi perlawanan. Sebelah tangannya yang bebas memukul pundak Marc dengan keras.

Marc mendorong tubuh Estelle masuk ke dalam, kemudian menutup pintu kamar. “Sekarang jelaskan padaku dari mana saja kau seharian ini!” cecar Marc.

Estelle mundur ke belakang, membuat jarak. Ia memegang pergelangan tangannya yang terasa sakit dan mengusapnya pelan. Estelle melemparkan pandangannya ke sekeliling kamar. Cat dinding berwarna hitam putih kotak-kotak mengintimidasi batinnya.

Estelle melotot ke arah Marc. “Apa pun yang aku lakukan, itu bukan urusanmu!” sahut gadis itu penuh kebencian.

“Bukan urusanku?” Marc menggeram. Mata laki-laki itu bertambah gelap. “Kau bilang ini bukan urusanku?!” murkanya, membuat Estelle terperanjat.

Estelle tahu ia dalam posisi antara hidup dan mati. Ia melirik ke belakang Marc dan dalam hati mengira-ngira seberapa cepat ia dapat mencapai pintu itu, lalu kabur ke kamarnya dan mengunci dirinya dari bajingan tengik ini.

“Jangan coba-coba kabur,” peringat Marc seraya melangkah maju, tahu apa yang sedang direncanakan Estelle.

“Kau jahat!” seru Estelle mulai ketakutan.

“Ya, karena kau membangunkan sisi jahatku.”

Estelle berhitung dalam hati. Ia melemaskan otot kakinya dan dalam hitungan ke tiga, gadis itu berlari dengan cepat. Ia hampir mencapai pintu ketika pinggangnya ditarik dari belakang, setengah diseret dan tubuhnya dibanting kasar ke atas tempat tidur laki-laki itu.

“Dasar gadis keras kepala!”

Estelle membalikkan tubuhnya, dilihatnya Marc membuka kepala ikat pinggangnya, menariknya hingga terlepas dan menciptakan bunyi lecutan di udara. Napas Estelle tercekat. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Wajahnya pucat pasi.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Estelle bergetar.

“Menghukummu,” jawab Marc datar.

“Tidak. Kau tidak melakukan itu. Kau hanya menakutiku saja.” Estelle memundurkan tubuh di atas tempat tidur.

“Kali ini tidak, Sayangku.”

Marc dengan cepat meraih tubuh Estelle, membaliknya dan menahan bokong gadis itu di depannya. “Kuberi kau satu pilihan lagi. Karena aku tidak akan berhenti sekalipun kau menjerit dan menangis darah. Ini untuk terakhir kalinya. Kau dengar baik-baik. Dari mana saja kau dan kenapa kau tidak menuruti perintahku?”

Tubuh Estelle menegang di atas tempat tidur. Satu menit hampir berlalu dan gadis itu masih bungkam. Amarah Marc meledak. Ia meraih tali pinggangnya dan mencambuk bokong Estelle dengan keras.

Jeritan Estelle tertahan di tenggorokannya. Air matanya tumpah. Gadis itu merasa kulit belakangnya terlepas dari daging, panas dan tercabik-cabik. Estelle kembali menahan jeritannya saat cambukan kedua mendarat di bokongnya. Rasa sakit dan perih menjalar ke seluruh saraf tubuhnya. Dan saat cambukan ketiga terdengar di udara, Estelle sudah siap menerima rasa sakit selanjutnya. Tapi, ia tidak merasakan apa-apa.

Marc mencampak tali pinggangnya ke lantai kamar dengan perasaan kesal. Emosinya perlahan-lahan memudar. Sorot bersalah tampak di kedua matanya. Marc merendahkan tubuhnya, meraih tubuh Estelle dan memutarnya dengan perlahan-lahan.

Wajah gadis itu dipenuhi air mata. Terdengar isakan perih dari bibir gadis itu. Estelle memalingkan wajah, tidak mau melihat ke arah Marc.

Marc mengangkat tubuh Estelle dengan lembut dan meletakkannya di atas pangkuannya dengan hati-hati, memeluknya dan membenamkan wajah gadis itu di dadanya.

Estelle tidak melawan. Gadis itu meringis ketika Marc menyentuh bokongnya. “Sakit, hm?” tanya Marc dengan suara parau. Estelle tidak menjawab.

Marc meletakkan dagunya di atas kepala gadis itu. “Aku minta maaf,” lirihnya dengan penyelasan teramat sangat.

“Aku benci padamu. Aku benci padamu, Marc Márquez!” desis Estelle di leher Marc.

Hati Marc mencelos mendengar kalimat itu. Estelle pantas membencinya. Ia sudah kelewat batas. Ia sudah menyakiti gadis itu.

Marc mengusap punggung Estelle dengan gerakan lambat dan lembut. Hanya ini yang bisa ia lakukan. Ia menyesal, sangat menyesal dengan apa yang telah ia perbuat.

To Be Continued…

Udah baca, kan? Hehehe… 😀 Jangan lupa tinggalkan komen di bawah ya, baik itu berisi saran maupun kritikan 😉 Karena komen kalianlah jadi moodbooster aku. Thank you

Published by

Rita

I love writing ^_^

20 thoughts on “Fanfiction : The One That Got Away #6”

  1. SCOOOTTTTYYY BAIKNYAA udah Estelle sama Scott ajaa Marc terlalu kasar, itu yang memberi Marc kondom??iyuh iyuhh asli menjijikan mana mau Marc sama tua bangka sedangkan si Marc tampan.lagi ikhhhh… si Estelle kasian banget yaa Marc nya sih kasar banget malah ditanya sakit lagi hastaga itu yaiyalah sakit, tapi aku gapernah rasain kok rasanya dicambuk #Plak. penasaran sama lanjutannya. siapa si Prince itu? apa entar si Estelle balas.dendam wkwwk Lanjutyaaa maaf kalo komenku aneh mereneh

    Like

  2. Aku suka kalimat ini >> “karena kau membangunkan sisi jahatku”
    Aku suka sifat marc dibuat kejam seperti ini,, tp terlalu mengerikan jika seorang Marc Marquez memberi pelajaran “cambuk” pada seorang gadis,,
    tp secara keseluruhan aku suka ceritanya dan sangat menantikan kelanjutannya,,, 😀

    Like

  3. Cambuk noh si casey. Anak semanis itu kok nggak diurus. Ini kereeeennn taaaaaaa. Kalo aku jadi estelle udah tak tembak pake pistol itu si marc ._,

    Like

  4. Thank youu thank you… baguss bangett ceritanyaaa..

    kalo buat aku sih suka banget ama ep 6 ini …. kira-kira scott itu tulus atau ga yaa? Kayaknya ada udang dibalik batu dehhhh … (maksa.com soalnya pengin estelle tetep ama marc 😀 )

    Aku agak lebih rela bradley yang menghibur estelle … kalo bradley kan emang baek … kalo ama scott ga tau kenapa tapi curiga dehh

    Soal hukuman dari marc gpp juga sih … kuatir banget kan org rumah kalo anak pergi kagak ada kabarnya, hp mati pula, kalo ada apa-apa siapa coba yang repot …. soalnya casey bener-bener dah ga ngurusin estelle .. entah karena sibuk, udah kebiasaan ga ngurusin anaknya yang badung atau apa. Padahal estelle butuh perhatian jadi biar marc dehhh yang memperhatikan dulu. Salnya kalo dimanisin juga ga mempan si estelle.. roser seberapa manis pun masih belum bisa menembus hati esetelle kan … jadi biar marc dulu deh yang membuat tunduk estelle ….
    Tapi habis itu kan ya si marc nyesel sihhh …. semoga esetelle ga malah dendam yahh ama marc.

    ahhh kerenn banget dehh ….. tetap menunggu ep 7 yahhh …. Semangatttt … ciayouuuu

    Like

    1. Wadewww…. Si Scott dicurigain mulu hihi….
      Iye, si Estelle musti dikerasin, dibantai dulu biar kapok
      Hihihi…
      Thanks for reading yawwwww…..

      Like

  5. RItaa .. lupa nih mau nanya untuk chapter 5 …… pembicaraan di telpon antara roser ama seseorang bikin aku bingung.
    Jadi roser cuma pura-pura aja nikah ama casey? Apa ini tugas khusus buat menjinakkan estelle?

    Emang butuh oarng khusus sih … esetelle udah diluar kendali, demi kebaikan dia juga sih dihajar gt … kalo ga ada yg bisa nanganin yang ada malah dia bisa mencelakakan diri sendiri atau orang laen kan ….

    Like

    1. Wihhh…. Bahasanya keren bener ‘tugas buat menjinakkan Estelle’
      Rahasia dong. Kan gak seru kalo ketauan di awal wkwkwkk di antara semua pembaca, cuma situ sendiri yang ngedukung si Estelle kena bantai sama Marc :p

      Like

  6. hehe aku sendiri yah yang dukung marc yaa 😀 😀 ? Soalnya dipakai omongan doang percuma si estelle kan …. dah ga mempan 😛 …..

    Yang keren yaa si pengarangnya donggg bisa mengaduk aduk perasaan pembacanya …. jempolll dehh …

    #menunggu-nunggu ep 7.com

    Like

  7. aku penasaran sama kalimat, “Oh, astaga,” Roser memegang dadanya. itu maksudnya oh-astaga karena dia akan melihat anaknya Marc akan menghukum Estelle atau oh-astaga karena sekutu Roser akan melakukan sesuatu kepada Estelle. gatau deh ._. yang pasti aku penasaran sama apa yang bakal dilakuin sama madre Roser hehe 😀
    cepat lanjut eps. 7 ya 🙂

    Like

  8. Ritaa ….. kapankah ada lanjutan ke ep 7 yaaa 😀 ….

    penasaran banget euyy …

    Jangan dilupain yahhh Estelle -Marc nyaa

    Like

  9. oh yaa ampuun.. akhirnya setelah berpart-part nggak bisa komen gara gara kosong gak ada komenan dipart itu ditambah aku juga nggak tau harus gimana kalo mau komen. atau itu emang komennya ditutup??
    ya sudah.. balik ke part inii..
    aku suka waktu marc marah sama estelle. yaaah walaupun dia kasarnya amit amit gituu tapi itu malah bikin aku makin cinta sama dia. haha. kalo aku tebak nih yaa.. itu karna marc udah khawatir mati matian sama estelle tapi ternyata si estelle malah jalan sama scott.. jadi marc cemburu gituuu.. muehehehe
    ngomong ngomong.. yang paling bikin ngakak itu waktu baca marc dikasih kondom. hahaha
    ngebayangin gimana tampang dia pas lihat kondom itu.. pastilah dia jijik banget. apalagi yg ngasih udah tua. ampuuuun deh ah.

    Like

    1. Huahhhhh……
      Untung kamu bilang. Emang beberapa part itu kolom komennya ketutup. Tadi baru double check ulang. Udah dibuka lagi kok. Hihihi….
      Makasih ya 😉

      Like

Leave a comment