Untold Stories : She is Back

Tangan Laura membeku di udara saat ujung jarinya hampir menyentuh panel bel di samping pintu mahoni lebar yang kini tampak mengintimidasi. Ia menggigit bibir bawahnya keras-keras, nyalinya perlahan ciut.

Tekan, tidak, tekan, tidak. Kalau tekan, nanti Marc keluar dan melihatnya di sini. Kalau tidak, ia tidak akan tahu keadaan Marc. Tapi bagaimana kalau Marc tidak senang melihatnya? Kan tidak lucu Laura sudah jauh-jauh datang dari Madrid dan… diusir.

Aduh, bagaimana ini? Laura mengerang dalam hati. Raut wajahnya berubah muram saat teringat kembali kejadian beberapa minggu lalu di Madrid. Laura tidak habis pikir entah setan dari mana merasuki kepalanya hingga terucap kata-kata yang… tak seharusnya terucap, sangat-sangat tidak pantas, dan Laura sendiri pun kaget dan tersengat, apalagi Marc. Kalau Laura ada di posisi Marc waktu itu, ia pasti akan tersinggung berat karena efek dari perkataannya bisa mengubah status mereka menjadi mantan dalam sekejap.

Laura membuang napas kesal sambil mengentakkan kaki, merutuki kebodohannya yang sudah tak tertolong. Ingin sekali ia menjedotkan kepalanya ke dinding. 

Laura menyesal. Tapi apa lagi yang mau dikata? Semuanya sudah terlanjur. Ia tak bisa menarik kembali kata-katanya. Ibarat pepatah nasi telah menjadi bubur. Mau bagaimana lagi coba?

Tadi subuh, tepatnya 6 jam yang lalu, Laura membuat keributan besar di apartemennya dengan grasak-grusuk ke sana kemari, bersiap-siap terbang ke Andorra. Ia memimpikan Marc. Marc tergeletak lemah, tak berdaya dengan sekujur tubuh penuh luka dan berdarah. Raut Marc penuh kesakitan dengan tangan terus menggapai ke arahnya, memintanya jangan pergi. Tak lama, frame mimpi itu berubah. Berpindah ke sekumpulan orang berpakaian serba hitam. Dengan langit membasahi bumi dan Laura melihat batu nisan bertanda salib yang bertuliskan nama Marc di sana. 

Saat terbangun, Laura menjerit seperti orang kesetanan kemudian disusul oleh air mata yang mengucur deras. Dadanya sakit. Sakit sekali. Laura ketakutan. Ia tidak mau kehilangan Marc. Tidak dengan kematian ataupun kesalahpahaman. Memikirkan Marc pergi jauh atau tidak pernah muncul lagi di hadapannya, membuat Laura resah. Ia tidak bisa membiarkan pertengkaran mereka berlarut-larut seperti ini.

Laura salah. Dan ia harus minta maaf. Mereka pernah membuat perjanjian. Masa tenang untuk saling intropeksi diri sendiri tidak lebih dari 2 minggu—ini adalah permintaan dari Laura.

Tapi ini sudah lebih dari 4 minggu.

Laura bingung. Sebenarnya ia dan Marc masih berpacaran atau tidak. Mereka tidak mencoba saling menghubungi. 

Meski tahu salah, tapi Laura enggan menghubungi duluan. Gengsi, barangkali. Tapi kesalahan bukan sepenuhnya miliknya sendiri. Tidak akan ada asap kalau tidak ada api, bukan?

Laura, hentikan! Bersikaplah dewasa! Kalaupun hubungan kalian memang sudah berakhir, anggap saja ini seperti kunjungan teman. Putus bukan berarti putus juga sebagai teman, kan? 

Laura mendongak ke langit-langit bangunan berlantai 2 yang mengusung gaya kontemporer itu, membuat topi rajut krem susu longgar yang ia kenakan tertarik ke belakang. 

Udara keluar masuk melalui bibir mungilnya berkali-kali. Tangannya tanpa sadar mencengkram erat tali tas yang tersampir di bahu kirinya. Mungkin efek peralihan musim panas ke musim gugur, Laura menggigil saat sapuan angin mengenai tubuhnya yang berbalut mantel tipis berwarna senada dengan topi rajutnya.

Ah, sudahlah! Sudah kepalang basah, kecebur saja sekalian. Mumpung sudah di Andorra, tekan sajalah. Daripada kepergiannya dari Madrid pagi-pagi buta tak menghasilkan apa pun.

Huh! Laura mengembus napas sekali lagi, cukup keras untuk membuat paru-parunya tersentak. 

Oke, kau bisa! Tenang, Laura. Tarik napas, embuskan pelan-pelan. Tenang. Nanti kalau Marc keluar, tanya saja bagaimana kabarnya. Dan status kalian kalau sempat. Setelah itu langsung angkat kaki. Gampang!

Tidak. Tidak. Tunggu. Tunggu. 

Oke, ini mudah. Tarik napas, embuskan perlahan. Angkat tangan dan… tekan.

Ting tong…

Mati kau, Laura!!!

Suara bel menggema di seluruh penjuru rumah membuat Laura terlonjak kaget. Bulu kuduknya sontak meremang. Napasnya tertahan. Paru-parunya kembang-kempis. Dan jangan kalian tanya bagaimana kondisi jantungnya saat ini. Ia seperti baru saja terkena bom Hiroshima dan Nagasaki jilid dua. Meledak hingga tak kasatmata.

Rasa dingin menjalar di tulang punggungnya. Kali ini bukan karena angin. Bulir keringat tampak bermunculan di pelipisnya, menggelicir dari garis anak-anak rambutnya mencuat keluar.

Laura pucat pasih. Ia masih tidak sadar dengan apa yang baru saja dilakukannya.

Kau menekan bel rumahnya, bodoh! Suara itu memarahi Laura.

Mampus! 

Bagaimana ini? Laura memandangi tangannya, molotot lebih tepatnya. Seakan menganggapnya anak kecil yang pantas dimarahi.

Tidak sempat lagi merasa panik, Laura buru-buru memutar tubuhnya, hendak kabur—ia berubah pikiran, ini bukan ide yang bagus—saat tiba-tiba pintu di belakangnya terjeblak dan seorang gadis berperawakan tinggi dan rambut sepirang tembaga keluar dengan pakaian yang—astaga, Laura membatu, mulutnya dibuat ternganga bodoh—sangat minim. Celana putih ketat dan superpendek yang hampir mencetak jelas bentuk kelamin dan bokong berisi milik perempuan itu. Pakaian yang membalut tubuh bagian atasnya juga tak kalah ketat dan seksi. Jelas gadis itu memiliki ukuran payudara yang membuat lelaki mana pun yang menoleh ke arahnya akan mengenceskan air liur. Terbentuk dengan sangat sempurna dan sekarang diperjelaskan dengan kemeja tiga per empat tipis yang dikenakan, menampakkan bra hitam yang membungkus dibaliknya dengan garis indah kesukaan para lelaki di tengahnya.

Apa-apaan ini?

Ekspresi Laura berubah masam. Matanya bak laser panas menelisir tajam perempuan itu dari atas ke bawah. Berbagai pra-duga liar bermunculan di benaknya. Laura tidak senang, tentu saja. Siapa yang tidak panas hati melihat perempuan lain keluar dari rumah mantan pacarmu dengan penampilan serba kekurangan kain seperti ini? 

Kedua tangan Laura terkepal keras di sisi tubuhnya. Berani-beraninya Marc mengundang perempuan lain ke rumah tanpa memberitahunya terlebih dahulu.

Dasar laki-laki tidak setia! Berandal! Tega-teganya kau…

… dia sah-sah saja melakukannya. Sadarlah, Laura. Apa hakmu merasa marah? Kau sendiri yang memintanya enyah waktu itu. Bukan salahnya kalau dia menggaet perempuan lain. Dia bukan milikmu lagi.

Tersadar oleh inner-voice miliknya sendiri, dunia Laura runtuh seketika. Lidahnya kelu. Mendadak ia kesulitan bernapas. Rasa sakit perlahan-lahan menghujani relung hatinya. Nyeri sekali.

Jadi hubungan mereka benar-benar kandas ya?

“Oh, hai. Anda cari siapa?” 

Kegalauan Laura terpecah saat perempuan itu dengan suara alto indah miliknya bertanya sambil mengerjap. Sesaat Laura terhipnotis oleh sepasang mata biru laut-nya. Dihiasi bulu mata panjang dan lentik, mata perempuan itu begitu cantik.

Pantas, Marc suka. Aku juga suka.

Laura dengan murung menerima fakta itu. Ya, siapa yang tidak suka? Laura tidak sebodoh itu mengagumi pacar baru mantan pacarnya. Tapi perempuan ini memang pantas dikagumi. 

Hidungnya kecil dan mancung. Bibir penuh, dagu berbelah, wajah tirus, tulang pipi tinggi, dan yang membuat Laura paling iri adalah keningnya yang mungil. Tidak seperti miliknya yang selebar jalan tol dan bagian depan sedikit menekuk ke depan. Untuk lebih gampangnya, sebut saja jenong. 

Kulit gadis itu kecokelatan, sangat eksotis. Tiba-tiba kesadaran lain menerjang. Laura ingat dulu Marc pernah berkata ke media bahwa dia menyukai gadis berkulit cokelat dibanding berkulit putih.

Oh, great! Bunuh saja aku! Ini lebih dari sekadar sesak. Laura merasa jantungnya akan meledak.

“Siapa itu, Em?” Terdengar suara yang sangat familiar dari dalam. 

Oh, jadi nama gadis ini Em. 

Jantung Laura memompa cepat. Pipinya sudah yang kemerah-merahan kini tampak seperti kepiting rebus. Rasa malu menjalarinya. Seketika ia menyesali keputusannya datang ke rumah Marc. Ia tidak memiliki alasan yang pasti kenapa melakukan hal ini. Ia hanya mengikuti dorongan hatinya. Berpikir mungkin kedatangannya akan membuat Marc jauh merasa baik setelah kecelakaan di Jerez lalu. Dan ia salah total. Kedatangannya mungkin dianggap mengganggu. Perempuan ini memiliki semua hal yang diinginkannya. Tinggi, seksi, cantik, dan memesona. Jelas Laura terbanting. Jangankan berdiri di sebelah, berhadapan seperti ini saja membuat Laura minder setengah mati.

Kecantikan Em berbeda. Walaupun tampak persis dengan gadis berdarah latin lainnya, ada sesuatu dalam diri Em yang membuat gadis itu terlihat beda. 

Bagaimana Marc tidak jatuh cinta dengan gadis ini? Laura yang sesama perempuan pun mengakui gadis ini memiliki kecantikan bak seorang dewi. Dan sekilas wajah Em mirip dengan Marc. 

Astaga! Jangan sampai mereka berjodoh. Aku bisa mati.

Kalau jurus mengecilkan tubuh itu ada seperti di kartun Doraemon, Laura ingin menghilang atau bersembunyi detik ini juga. Ia kepalang malu. Bukan menangkap basah mantan pacarnya, justru dirinya yang tertangkap basah.

Kalau sudah begini apa lagi yang mau diharapkan? Tujuannya kemari untuk menghibur Marc sekarang malah berbalik arah. Senjata makan tuan. Bukan Marc yang perlu dihibur. Justru dirinyalah yang butuh dihibur.

Sialan! Seharusnya ia tidak datang kemari! 

Sambil menahan rasa sakit luar biasa di dada, menusuk hingga ke sanubarinya, sebisa mungkin Laura tidak menunjukkan kesakitannya. Perempuan ini mungkin tidak tahu apa-apa. Hubungan Marc dan Laura sangat tertutup. Mereka tidak pernah publikasi meski sudah bertahun-tahun pacaran. Laura tidak mau merusak hubungan yang mungkin sudah terjalin di antara gadis ini dan Marc.

Sebuah senyum simpul terulas di bibir mungil Laura meski matanya tidak dapat menutupi kekecewaan yang mendalam. Sekuat tenaga ia menahan tangis. Bersandiwara adalah jalan terbaik saat seperti ini, dan Laura harus bergerak cepat. Marc tidak boleh keluar sebelum ia meninggalkan tempat ini. Ia harus cepat-cepat pergi.

“Ups! Sepertinya aku salah alamat.” Mata Laura membesar saat berucap, tampak terkejut mendengar suaranya sendiri. Kenapa ia bisa setegar ini?

Sudah! Lupakan dulu. Ia lalu melanjutkan, “Aku diberi alamat ini oleh temanku yang sedang sakit. Kurasa dia sedang dalam keadaan pingsan saat menyebutkan alamat rumahnya. Aku akan menghubunginya lagi. Sekali lagi kuminta maaf telah mengganggu. Sampai jumpa.” Laura melambaikan tangan yang gemetaran dan buru-buru pamit. Sebodoh amat dengan alasan tak masuk akal yang ia utarakan. Namun, entah mengapa Laura menangkap ada seberkas seringaian jenaka di wajah Em sesaat sebelum ia membalikkan badan. Atau itu cuma perasaannya saja? Entahlah. Ia tidak mau memikirkannya sekarang. Ia harus bergegas meninggalkan tempat ini. Selamatkan harga dirinya.

Saat kakinya mengijak anak tangga terakhir, kembali suara familiar itu terdengar dan mengejutkan Laura. Tubuh Laura menegang. Untuk sesaat, Laura berpikir jantungnya mengalami gagal fungsi. Ia lagi-lagi kesulitan bernapas.

Sialan! Ia tidak akan mengalami serangan jantung di saat seperti ini, bukan? Pikirnya panik.

Berdetak, berdetak, ayo kembali berdetak. 

Sedetik, dua detik, dan pada detik ketiga detak jantung Laura kembali. Dan ia langsung menyesal setelah memintanya kembali. Jantungnya menggila. Semakin cepat dan kencang hingga mau copot rasanya. 

Astaga! Laura hampir terjatuh kalau tidak cepat-cepat berpegangan pada tiang besar yang menyangga atap teras. Ketakutan menjalari sekujur tubuhnya. 

“Aku bilang berhenti di sana, Laura!”

Itu Marc. Bahkan saking jelasnya, Laura dapat mendengar derap kaki yang terburu-buru menghampirinya.

“Aku tahu itu kau. Aku tahu itu suaramu. Kau pikir kau bisa pergi begitu saja?” 

Laura pasrah. Biarlah Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Wajahnya memanas. Matanya mulai ikut berkaca-kaca. 

Jangan menangis, bodoh! Jangan menangis! Jangan menangis! Ini bukan saat yang tepat untuk menangis! 

Laura merasa tubuhnya ditarik dan dibalikkan dengan cepat. Ia tidak berani mendongak. Wajahnya tertutup oleh tirai rambut cokelat yang jatuh di kedua sisi. Untuk sesaat Laura bersyukur tidak jadi memotong pendek rambutnya beberapa hari yang lalu, sehingga ia dapat menutupi wajah menyedihkannya dari pandangan Marc.

Tangan kiri Marc menarik lepas topi rajut yang ia kenakan, menyibak rambutnya ke belakang telinga. Ujung ibu jarinya mengusap halus pipi Laura, kemudian turun dan ujung jari-jarinya lain memijat pelan tengkuknya terasa lembap.

Tangan Marc hangat.

“Kenapa kabur?” tanyanya lirih. Sama sekali tidak terdengar nada menghakimi atau tersinggung seperti yang ditakutkan Laura.

Laura masih menunduk. Belum berani menatap Marc. Terlalu malu karena tertangkap basah.

Marc mengulum senyum. Sebelah tangannya menarik pinggang Laura mendekat. Ia tahu apa yang dipikirkan Laura saat ini dan mengerti perasaan malu yang dirasakannya.

Em masih di bekakang mereka, tampak tidak berniat meninggalkan kedua manusia ini. Menunggu, lebih tepatnya. Sekaligus penasaran.

“Kau datang untuk melihatku, bukan? Kenapa tidak masuk?” bisik Marc pelan. Alih-alih mengangkat wajah Laura, Marc menundukkan kepalanya hingga tinggi mereka sejajar.

Laura salah tingkah. Matanya mengerjap gugup. Kedua telapak tangannya saling menaut gelisah. Ia coba memutar otak, mencari-cari alasan yang logis tapi tak satu pun bisa terpikirkan olehnya. “Tidak, aku tidak …,” bibirnya gelagapan. 

Sorot Marc menghangat melihat Laura bersusah payah ‘membohonginya’. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Marc tidak tahan. Tahu kekasihnya itu sudah mati kutu, Marc membungkus Laura dengan pelukan. 

“Kau benar-benar payah untuk urusan berbohong. Aku senang kau datang. Terima kasih masih mengingatku di sini,” bisik Marc lembut tepat di telinga gadis itu. 

Laura membeku. Sapuan napas Marc mengelitik kulitnya. Ia belum mempersiapkan diri untuk sambutan seperti ini. Tidak menyangka, bahkan.

Tunggu! Ada yang tidak benar. Kenapa mereka berpelukan? Kenapa…. Bukankah seharusnya ia marah karena Marc ketahuan berduaan dengan perempuan lain? Dan bukankah seharusnya Marc marah kepadanya karena datang tiba-tiba saat dia sedang bersama….

Tunggu…. Seharusnya aku tidak setenang ini, pikir Laura.

Laura mencoba mengembalikan akal sehatnya. Ia menarik diri dan melepaskan diri dari kukungan Marc. “Marc, dengar. Aku tidak datang untuk—”

Belum sempat Laura menyelesaikan ucapannya, Marc telah memotong, “Aku tahu… ayo masuk. Stich dan Shira merindukanmu.” Marc memakaikan kembali topi rajut ke kepala Laura lalu menarik tangannya.

Stich… Shira… anak-anaknya….

“Ke mana?” Laura memandang bingung. Ia belum selesai ngomong.

“Rumah. Ke mana lagi?” sahut Marc santai. Tapi bukan itu maksud pertanyaan Laura.

“Hah?”

Melihat Laura yang tampak kebingungan, Marc tidak tahan untuk tidak mendaratkan sebuah jitakan lembut di keningnya. 

“Apa yang kau pikirkan?” 

“Kau bukannya sedang bersama dia?” Laura dengan sebal menunjuk Em dengan dagunya. 

Marc memandang Em sejenak dan tanpa disadari oleh Laura, kedua orang itu bertukar kerlingan jail.

Marc mengangguk. “Ya, kami sedang bersama tadi sebelum kau mengejutkanku dengan kedatanganmu,” tukasnya dengan tenang.

Laura melongo dibuatnya. Tidak habis pikir. Yang benar saja! Manusia ini. Bisa-bisanya bersikap seolah ini bukan hal besar. Apakah selingkuh terang-terangan sudah menjadi tren sekarang?

“Lalu kenapa kau menyuruhku masuk?” Laura jelas tersinggung. Memangnya siapa tidak tersinggung ‘dibeginikan?’

Kembali Marc curi pandang ke arah Em sebelum menjawab Laura, “Karena aku ingin melihatmu lebih lama.”  Ia menemukan hiburannya sendiri membuat Laura meradang seperti ini. 

Laura menarik tangannya. Sorot matanya tampak kesal. “Marc, ini tidak lucu.”

“Apanya yang lucu?” Marc menyahut dengan wajah serius yang dibuat-buat. Tapi gelak itu tak bisa disembunyikan.

Laura mendesah frustrasi. Marc yakin Laura ingin sekali mencekiknya detik ini juga.

“Dia bisa cemburu,” jerit Laura tertahan, antara kesal, marah, dan ingin membunuh orang di saat bersamaan. 

Tawa Marc akhirnya pecah. Astaga! Benarkah gadis bodoh ini pacarnya?

“Kau tidak cemburu?” tanya Marc, dengan maksud menggoda Laura.

“Ya, aku cemburulah!” Kedua tangan Laura terangkat ke udara. Tampak ingin melempar bogem mentah ke arah Marc dan juga menjambak rambutnya sendiri. 

Laura menarik napas panjang-panjang dan membuangnya kasar. Matanya yang kembali memanas menyorot murka ke arah Marc. “Kau bilang kau senang melihatku tapi kau malah bersama perempuan lain! Apa maksudmu?!” raungnya tidak terima.

Marc terpana sesaat. Benaknya tidak bisa memikirkan hal lain. Ia terpesona oleh gadis bertubuh kecil yang sedang tantrum di hadapannya ini. 

Ia teringat pertengkaran mereka sebulan yang lalu. Laura berteriak kepadanya. Tapi dengan emosi yang terkontrol baik. Seolah sudah dipersiapkan gadis itu.

“Laura, dengar. Aku tidak mengerti. Hubungan kita baik-baik saja dan kau tiba-tiba mengajakku berargumen seperti ini. Aku tidak merasa ada yang salah.”

“Tidak ada yang salah? Bagus! Kau tahu kenapa kau bisa merasa seperti itu? ITU KARENA KAU TIDAK PEDULI. Atau barangkali sudah BOSAN DAN MUAK!”

“Laura, hati-hati dengan ucapanmu. Kau sedang emosi. Aku tidak mau bertengkar denganmu.”

“Kau lihat? Kau jelas tahu kita sedang bermasalah dan kau selalu seperti ini. Menghindar dan menghindar. Mau sampai kapan kita seperti ini?! Aku juga punya batas kesabaran, Marc. Aku capek. Aku tidak berpikir hubungan seperti ini sehat dan baik untuk kita.”

“Apa maksudmu?”

“Aku merasa tidak dihargai dan didengar.”

“Aku menghargaimu, Laura. Dan aku mendengarmu sekarang. Tolong, jangan coba-coba mengucap sesuatu yang akan kau sesali nanti.”

“Yang akan aku sesali? Aku sudah menyesal, Marc! Aku melepas kesempatan terbaikku ke Amerika untuk mengejar mimpi karena seseorang. Seseorang yang aku kira sepadan dengan mimpi yang aku lepaskan. Dan ternyata aku salah besar.”

“Apa kau tahu kata-katamu ini sangat menyakitkan untuk didengar, Laura?” 

“Apa kau tahu kesibukanmu dan sikap abaimu yang selalu menganggap semuanya baik-baik saja sangat menyakitkan untuk diterima, Marc?”

“Kau menyalahkanku?”

“Apa kau merasa aku menyalahkanmu?”

“Laura…”

“Aku mencintaimu, Marc. Tapi cinta seperti ini sangat menyakitkan. Kau tidak tahu apa saja yang sudah aku relakan. Aku tidak tahu harus bagaimana. Apa aku harus menyelesaikan ini denganmu atau bertahan tapi tertatih-tatih.”

Kita belum selesai, Laura, batin Marc lega. Ya, lega karena Laura masih di sini dan bertengkar dengannya. Lega karena Laura datang kepadanya dengan sukarela.

Marc tersenyum senang. “Jadi pacarku ini sedang cemburu ya?” Marc mencapit gemas pipi Laura. “Em, bagaimana menurutmu? Dia cemburu.” Marc menoleh ke belakang, mengedipkan sebelah mata.

Em mengangkat bahu. Bibirnya tidak bisa menyembunyikan seringaian jail.

Hah! Laura mendengus tak percaya. Benar-benar tidak bisa dipercaya ini. Bisa-bisanya manusia ini berdiri di 2 perahu sekaligus.

Tidak tahan membuat Laura meradang lebih lama, Marc kembali menarik dan mendekap erat tubuh Laura. Mengakhiri sandiwara dadakan yang tak terencana ini dan mengakhiri kerinduan yang membuncah selama berminggu-minggu. 

Rasanya menyenangkan memeluk Laura seperti ini.

Laura berontak keras. Tangannya mengepak-ngepak.

“Jangan bergerak. Bahu kananku belum sepenuhnya pulih. Biarkan aku memelukmu sedikit lebih lama,” bisik Marc, tidak terpengaruh oleh perlawanan Laura.

“K-kau t-tidak bi-sa m-melakukan ini.” Laura masih belum menyerah. Dengan sekuat tenaga ia mendorong Marc, tapi belum juga berhasil. Alhasil, ia ngos-ngosan sendiri. 

Marc tampak tidak masalah menghandel kekuatan ‘super ala semut’ Laura. Ia tidak khawatir pen titanium yang terpasang di tulang bahu patah lagi.

“Aku merindukanmu,” lirih Marc sambil menghirup dalam-dalam aroma kesukaannya ini. 

“Omong kosong,” sahut Laura sebal.

Marc menyeringai. Lalu kepada Laura, Marc membisikan sesuatu yang sontak membuat Laura mambatu dan melongo bodoh.

“Kalau kau khawatir dia akan cemburu, jawabanku jangan khawatir. Dia bukan pacar apalagi perempuan yang sedang kudekati. Dia bibiku.”

Masih tidak percaya. “Kau bilang apa?”

“Bibiku.”

“MARC!” Laura mendorong dada Marc sekuat tenaga. Kembali, ia murka.

“Ya?” Marc memiringkan kepalanya, terbahak senang.

“Kau mempermainkan aku. Kalian…,” Laura dengan ekspresi kesal di wajah, kehilangan kata-katanya. Ia bingung antara harus merasa senang atau marah. Yang pasti ia lega. Lega sekali. Seolah beban yang sedari tadi menghimpit dadanya terangkat begitu saja. 

Laki-laki itu… Marc masih menjadi miliknya. Mereka masih baik-baik saja. 

Tapi ini tidak lucu.

“Aku senang kau khawatir,” Marc mengusap-usap rambut Laura.

Sementara, Em menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia berbaik hati terbahak tanpa suara. Tidak ingin mempermalukan pacar keponakannya sudah semerah buah bit. “Aku tidak tahan lagi. Selesaikanlah kesalahpahaman kalian. Aku tidak mau ikut-ikutan. Omong-omong, Laura, salam kenal. Aku adik bungsunya Roser. Emili Alenta.” Em melambaikan tangannya.

Laura menyengir malu. “Oh, halo, Bibi… Emili.” Lalu, mendelik tajam ke arah Marc.

Tawa Marc menyembur. Kembali ditariknya Laura dan kali ini mendaratkan sebuah kecupan sayang di kening ‘jenong’-nya.

“Kita hanya beda 6 tahun. Panggil Em saja. Oh ya, aku membuat beef lasagna. Masuklah setelah kalian selesai di sana,” tukasnya sebelum menghilang di balik pintu yang masih dibiarkan terbuka.

“Tidak marah lagi, kan?” 

“Aku akan membalasmu.” Laura masih sebal.

“Oh, benarkah?”

Laura manyun.

“Ayo, masuk. Bertengkar pasti menghabiskan banyak tenaga, kan?” Marc merangkul bahu Laura.

“Hm, aku lapar.”

“Aku tahu.”

“Apa yang kau tahu?”

“Kau lapar.”

“Marc!” Laura mandaratkan pukulan ke bahu kanan Marc.

“Jangan dipukul. Nanti kalau patah lagi, kau harus tinggal di sini dan merawatku,” Marc pura-pura mengadu kesakitan.

“Jangan harap,” tandasnya judes.

Aku bersedia, Marc.” Marc coba menirukan suara Laura sambil melompat riang yang dihadiahi pelototan tajam Laura.

Jika ditanya siapa manusia yang paling menyebalkan sedunia, jawabannya adalah Marc. Pacarnya. Keusilan laki-laki ini seolah tidak ada habisnya. Laura sebenarnya lebih tertawanya daripada jengkel. Laura tahu Marc melakukan ini serta merta untuk membuatnya merasa nyaman setelah pertemuan canggung dengan Em, dan reaksi konyolnya.

“Kubunuh kau.”

“Aku rela, Sayang….” 

*** 

30 menit sebelum kedatangan Laura.

Marc bersandar di meja makan dengan kedua tangan bersedekap di dada. Salah satu kakinya menyilang ke samping. Ia sedang memperhatikan Em manata lapisan demi lapisan keju, daging sapi dan saus tomat di atas loyang kaca.

Mereka sedang berbincang. Emili Alenta adalah adik bungsu ibunya yang hanya berjarak 2 tahun lebih tua dari Marc. Tidak seperti kebanyakan kerabat lain yang tinggal di Spanyol, Em menghabiskan sebagian hidup di Karibia. Em adalah seorang profesor muda yang berbakat di bidang arkeologi.

Em baru saja tiba dari Cervera tadi malam, setelah mengunjungi kakek-nenek Alenta, kemudian mampir ke rumah keponakannya. Sayangnya, Alex tidak ada. Pemuda itu sedang bersiap-siap melakoni GP Catalunya.

Marc dan Em membicarakan banyak hal. Oleh karena usia yang tak jauh beda, meski tidak tinggal berdekatan, mereka mengobrol sangat nyaman. Hingga topik yang ingin Marc hindari pun tak terelakkan.

Em tahu Marc berpacaran dengan Laura. Sudah sangat lama. Roser sering bertukar cerita padanya. 

“Kami sedang merenungi kesalahan masing-masing,” Marc memulai topik ini dengan hati-hati.

Em dapat merasakan keengganan Marc membahas topik ini. “Merenungi? Bilang saja bertengkar, apa susahnya sih?” Em menyahuti dengan santai.

“Tidak. Kami hanya berdebat dan mengutarakan unek-unek yang selama ini dipendam.” Marc mengambil apel dari keranjang buah di tengah meja, menggenggam tanpa berniat memakannya, menganggap seolah benda kecil itu adalah barbel kecil yang bisa diayunkan.

Stich dan Shira—kedua anak yang ia adopsi bersama Alex—bersama Laura juga sebenarnya—sedang bergelung di kaki meja. Ekor keduanya sesekali terkibas mengenai tumit Marc. Kedua anjing jenis dachshund itu tampak kalem hari ini.

“Setelahnya? Perang dingin karena tidak menemukan kesepahaman?” Em melanjutkan.

Marc memandang keluar jendela besar di sampingnya. Dari kejauhan, tampak lembah pengunungan yang ditumbuhi pepohonan yang daunnya mulai menguning. Musim gugur sudah datang, rupanya. Terakhir masih musim panas saat Marc pergi mengunjungi Laura. 

“Dia marah kepadaku dan aku bisa memakluminya,” Marc berkata muram.

Em menghentikan kegiatannya. Loyangnya sudah terisi penuh. Ia balik menghadap Marc. Heran. “Kau baik sekali mau mengalah.”

Marc menggeleng. “Tidak. Dia yang paling banyak mengalah selama ini. Jadi aku bisa memaklumi kalau dia bersikap lebih egois dari biasanya.” Sebuah senyum kecut tampak di wajah Marc.

“Jangan bilang salah satu dari kalian ingin mengakhiri hubungan?” tebak Em, sambil membilas tangannya di wastafel. Lalu, memasukkan loyangnya ke pemanggang listrik.

Marc diam.

“Benar, kan?” Em melirik ke arah Marc. 

Jeda sejenak. Hanya terdengar suara tit tit tit dari pemanggang listrik saat Em memutar pengatur suhu dan waktunya.

Marc menarik napas panjang. “Aku memberinya waktu untuk berpikir ulang,” lanjutnya lagi.

“Jadi dia yang minta putus?” Em mengambil kain lap dari salah satu kabinet, membersihkan konter dapur yang terkena percikan saus tomat dan beberapa titik air yang tertinggal oleh embun dari bahan baku yang ia keluarkan dari lemari pendingin.

Kedua pundak dan alis Marc terangkat bersamaan.

“Siapa yang berbuat kesalahan?” tanya Em, membasuh kain itu lalu menjemurnya di rak pengering elektrik di samping konter.

“Aku,” gumam Marc, pelan sekali.

Selesai melakukan pekerjaannya, Em mengambil gelas kopinya yang sudah dingin, menyesapnya sedikit, lalu mengernyit. Rasanya berubah. Tidak ada kenikmatan yang tersisa di kopi yang sudah mendingin. Tapi ia terlalu malas untuk menyeduh yang baru.

“Well, kalau kau tahu salah, kenapa tidak menghubunginya duluan dan minta maaf?”

Kali ini, Marc mengulas senyum. Perasaannya menghangat saat memikirkan gadis itu. “Laura berbeda.”

“Hm?”

Jika tadinya Marc bermuram durja, kini sosoknya berubah, seakan diambil alih oleh pribadi lain. Sosok ini menggebu-gebu dan raut bangga kentara sekali di wajahnya. Ia seperti tengah membicarakan bisnis ratusan milliar yang membuat semangatnya kembali. “Dia bukan tipikal orang yang gampang dirayu dengan permintaan maaf walaupun jika itu dia yang salah dan aku yang mengalah. Dia akan datang sendirinya jika dia siap. Kau tidak bisa memaksa apalagi mendesaknya.” 

Em menyadari perubahan itu. Ia memang tidak terlalu mengikuti perkembangan kepokanannya. Jika itu tentang balapan, rekannya di Karibia yang fanatik berat dengan Marc akan membicarakan Marc sepanjangan waktu. Jika itu kehidupan pribadi, Roser akan memberitahunya secara berkala. Tidak dari mulut Marc langsung. Makanya ia penasaran dengan kehidupan percintaan Marc dan mendengar keponakannya itu bisa terbuka dengannya—yang biasanya sangat mustahil bagi seorang laki-laki membagikan kehidupan personalnya, walau itu ke anggota keluarganya sendiri—membuat Em tersanjung.

“Tapi tidak baik jika pertengkaran kalian dibiarkan sampai berlarut-larut seperti ini. Hubungan kalian bisa mendingin. Apalagi setelah tahu kau mengalami kecelakaan dan dia masih belum ada respons juga,” ungkap Em bersimpati.

“Aku akan menunggu.” Marc tampak yakin.

“Tidakkah menurutmu kau hanya membuang-buang waktu berpacaran dengannya?” Bukan bermaksud mengompori, Em ingin tahu cara berpikir Marc.

Marc meletakkan kembali apel yang dipegangnya ke keranjang. “Kau tidak mengerti, Em. Aku mengenal Laura dari kecil. Aku tahu sifatnya.”

Em mendengus. “Kau sangat percaya diri dan percaya hubungan kalian itu sangat kuat dan akan berhasil.”

“Karena semakin lama kau mengenal seseorang, kau akan tahu kebiasaannya. Semacam terbentuk sebuah pengertian hanya kau sendiri yang paham. Jadi tidak peduli sebisu apa pun dia, aku tahu dia akan kembali. Selalu seperti itu.” Raut Marc mulai terlihat lebih santai. Kata-katanya pun keluar lebih leluasa.

Em tidak percaya hubungan jangka panjang sebenarnya. Tapi itu turut bahagia jika keponakannya bahagia. 

“Bagaimana jika dia diam-diam berkencan di belakangmu?” Em bertanya usil.

Kali ini giliran Marc yang mendengus. “Itu tidak akan terjadi.”

“Kenapa kau berpikir seperti itu?” Kedua alis Em terangkat.

“Aku orang pertama yang akan tahu kalau begitu,” ungkap Marc dengan penuh keyakinan.

“Hm?”

“Jika dia jatuh cinta atau berkencan dengan laki-laki lain, dia akan memberitahuku terlebih dahulu. Dia bukan tipikal orang yang bisa hidup tenang setelah berbuat dosa,” Marc melirik ke arah Em, sedikit menyombongkan diri.

Tak tahan melihat Marc sesumbar, Em mengomporinya dengan, “Seandainya itu terjadi?” 

“Gampang.” Kedua bahu Marc terangkat sebelum ia melanjutnya dengan nada rendah, “Aku akan membiarkannya bersenang-senang terlebih dahulu sebelum mengamankannya kembali.”

Em mendengus tak percaya. “Demi Tuhan. Hanya orang gila yang akan berkata seperti itu. Seandainya saja orang-orang tahu kisah cintamu seperti ini,” Em menggeleng sambil mengibas-ngibaskan jari lentiknya.

Ting tong….

Keduanya menoleh serentak ke arah pintu depan.

“Kau ada janji kunjungan?”

Marc tampak berpikir sejenak. “Tidak ada, seingatku.”

“Biar aku saja,” Em melepas apron yang membungkus tubuh padatnya dan melengos melewati Marc.

Tidak sampai 10 detik, terdengar Em memanggilnya dari aula depan. “Marc, sudah berapa lama kau tidak berbicara dengan pacarmu?”

“Sebulan, mungkin,” ucapnya tak acuh.

“Dia ada di sini.”

Tubuh Marc mengejang. “Apa kau bilang?” Tidak percaya pada pendengarannya.

Marc menyusul ke aula depan. Di belakang, Stich dan Shira mengekorinya.

“Dia di depan.”

Em membuka kancing depan bajunya. Bagian bawahnya dilipat sedikit ke atas hingga menampakkan pusarnya.

“Apa yang mau kau lakukan?” Marc melotot ke arahnya.

“Tidakkah menurutmu hubungan kalian harus sedikit dipanaskan?” Em membalikkan pertanyaan dengan raut tak peduli. 

“Itu bukan ide yang bagus.” Tampak raut tidak setuju di wajah Marc.

“Ayolah, aku ingin melihat bagaimana reaksinya. Bukankah kau bilang mau mengamankannya? Biar aku cek apakah ini saat tepat atau tidak untuk kau melakukannya.”

“Jangan konyol, Em.” Marc hendak maju, namun hampir terjungkang saat Stich tiba-tiba saja mendahuluinya, lalu berhenti mendadak.

“Stich!”

“Jangan coba-coba. Tidak mudah baginya untuk datang ke sini.” Marc kembali memperingatkan Em. Tapi Em masa bodoh.

“Sudahlah. Kau tidak akan menyesali perbuatanku.” Em menyentuh kenop pintu.

Pintu menceklik terbuka, membungkam mulut Marc secara otomatis.

Semua orang membisu. Marc menahan napas. Sejenak waktu terasa berjalan lambat. Sebelum Em memecahkan kecanggungan dengan suara melengking manja yang dibuat-buat—yang demi Tuhan, entah bagaimana Em melakukannya. Dia berubah menjadi wanita penggoda dalam sekejap.

Stich dan Shira bergerak gelisah di kaki Marc.

Laura diam. Kembali mereka disusupi kebisuan. Apa yang dipikirkan Laura? Marc bertanya-tanya.

“Ups! Sepertinya aku salah alamat.”

Lalu, jeda. Marc menunggu cemas.

“Aku diberi alamat ini oleh temanku yang sedang sakit. Kurasa dia sedang dalam keadaan pingsan saat menyebutkan alamat rumahnya. Aku akan menghubunginya lagi. Sekali lagi kuminta maaf telah mengganggu. Sampai jumpa.”

Marc menahan semburan tawa dengan punggung tangannya.

See? Jika Em awalnya tidak mengerti alasan kenapa Laura berbeda dengan kebanyakan perempuan lain, Marc yakin Em sudah menemukan jawabannya.

Laura, saat sudah berada di ujung tanduk pun, gadis itu masih bisa menyelamatkan diri sendiri. Bukan dengan menunjukkan dirinya sebagai sosok superior, tapi dengan kegemasan yang tidak Marc temukan di perempuan mana pun. 

Stich dan Shira mencakar kaki Marc. 

Marc menunduk. Mengusap kepala kedua anaknya dengan senang. “Lihat, siapa yang datang? Mommy datang melihat kalian. Kalian jangan nakal, oke? Daddy akan bawa mommy kalian masuk,” bisik Marc sambil tergelak pelan. 

Seakan mengerti perkataan daddy-nya, Stich dan Shira lantas ke berlari ruang duduk. Naik ke sofa dan berbaring di atasnya. Ekor keduanya mengibas-ngibas, tampak seperti daddy mereka yang sudah tidak sabar bertemu dengan Laura.

***
Thank you for reading 😊

Published by

Rita

I love writing ^_^

5 thoughts on “Untold Stories : She is Back”

Leave a comment