One Day Before He’s Gone

cove2r

Main Cast :
Daniel Pedrosa Ramal
Dina Alang as Rachel Magita
Mila Nuraida as Kamila Rosabel

Universitat de Barcelona. Inilah kampus baruku. Namaku Rachel Magita. Aku baru pindah dari Jerman kemarin. 2 tahun yang lalu, keluargaku pindah ke Jerman karena pekerjaan ayahku. Sebenarnya saat itu aku sama sekali tidak berpikiran ikut dengan orang tuaku karena seseorang yang sangat berarti di hidupku.

Dialah yang membuatku tahu apa itu cinta, yang membuatku mengerti apa arti sebuah pengorbanan dan juga membuatku tahu apa artinya sebuah pengkhianatan.

Hari ini aku langsung bisa mengikuti perkuliahan. Aku memasuki kelas baruku dengan perasaan gugup. Seorang pegawai administrasi mengawalku masuk ke dalam sana.

Kelas berjalan dengan lancar. Dan tentu aku juga mendapat seorang teman baru. Namanya Kamila Rosebel. Gadis yang bertipe periang dan ceria. Tidak lupa aku harus mengatakan bahwa gadis itu sangat cerewet dan bawel. Karena beberapa kali Mila—nama panggilannya, ditegur oleh dosen karena terus-terusan mengajakku ngobrol. Bahkan gadis itu hampir diusir dari kelas.

Tak terasa waktu perkuliahan berjalan sangat cepat—mungkin karena aku menyukai mata kuliah ini. Mila kemudian mengajakku ke kafetaria kampus. Sepanjang perjalanan ke sana, gadis itu terus menerus merecokiku tentang dirinya yang terkenal di seluruh penjuru kampus karena kebawelannya, lalu tentang cowok-cowok keren di kampus ini dan selebihnya ia menceritakan tentang sepupunya. Dari caranya bercerita aku bisa menangkap kesimpulan bahwa gadis ini sangat mengidolakan sepupunya. Aku jadi penasaran seberapa tampan sepupunya menilik dari cerita yang kudengar dari Mila.

Sesampainya kami di kafetaria yang keadaannya tidak terlalu ramai, aku dan Mila kemudian memesan makanan dan mencari tempat yang enak untuk diduduki.

“Kita duduk di sana saja ya?” usul Mila sambil menunjuk ke arah kursi kosong yang berada tak jauh dari sebuah taman bunga mawar. Aku langsung menyetujuinya.

Saat kami berjalan ke tempat tersebut, aku mendengar seseorang memanggil nama Mila dari belakang. Sontak aku dan Mila sama-sama menoleh ke belakang dan… astaga! Tidak mungkin itu dia. Pria itu… tidak mungkin orang yang sama. Aku merasakan tulang belakangku membeku seketika karena saking syoknya. Mataku tak berkedip sama sekali. Berkali-kali aku terus mengulang dalam hatiku bahwa laki-laki yang berdiri di hadapanku ini bukan orang yang sama. Oh, Tuhan.

“Dani.” Kata itu meluncur dari bibirku. Bahkan aku bingung kenapa aku bisa menyebut nama pria yang pernah menyakitiku.

“Kau mengenal sepupuku ya, Rach?” seru Mila senang. Ternyata dunia sempit sekali.

Aku tidak menghiraukan seruan Mila. Karena yang aku rasakan sekarang adalah lututku mendadak lemas. Luka yang dulunya aku kubur dalam-dalam kini muncul kembali. Hatiku sakit, sangat sakit, teringat bagaimana dulu pria itu menyakitiku. Aku benci dengannya. Sungguh, aku benci dengan Dani.

Tanpa bicara apapun, aku langsung membalikkan tubuhku dan melangkah meninggalkan mereka. Namun, sebuah tangan tiba-tiba mencekal lenganku dari belakang.

“Lepaskan tangan aku, Dani,” desisku sambil berusaha melepaskan cekalan tangannya.

“Rach, aku tidak akan melepaskanmu sebelum aku menjelaskan semuanya padamu.” Cekalan tangannya semakin kuat.

“Kau ingin menjelaskan apa? Semuanya sudah jelas! Kau memutuskan aku tanpa sebab dan kau menuduhku melakukan sesuatu yang tidak pernah kulakukan. Sebenarnya apa lagi yang kau ingin dariku? Apa belum cukup kau menyakitiku?” tanyaku dengan nada tinggi. Dadaku berdebar-debar dan terasa sangat sesak dan sangat sakit seakan tertusuk oleh sembilu tajam.

“Aku tahu aku salah, Rach. Aku minta maaf…,” ucap Dani dengan wajah memohon. Aku tidak akan tertipu lagi dengan wajah ini. Tidak untuk kedua kalinya. Walaupun jujur aku masih menyimpan perasaan terhadapnya.

“Maaf? Kau bilang maaf?” Suaraku bergetar dan kurasakan mataku mulai berair. “Apa kau pikir hanya kata maaf, aku bisa melupakan semua yang pernah kaulakukan terhadapku? Apa kata maaf bisa memperbaiki semua yang sudah terjadi, begitu?” tanyaku dengan amarah yang memuncak. Sumpah demi Tuhan, aku sama sekali tidak bisa mengontrol emosiku.

“Rach, aku tahu kata maaf memang terlalu gampang. Waktu itu aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Aku….” Dani kehilangan kata-katanya dan dengan cepat langsung kusambar.

“Kau itu manusia, Dani. Setiap manusia punya perasaan. Apa kau tidak bisa merasakan ketulusan dan pengorbanan aku?”

“Aku tahu, Rachel. Please, aku mohon….”

“Oh ya? Apa kau juga tahu betapa sakitnya hati aku saat kau memutuskan aku? Itu sakit sekali, Dan. Sakit….” Volume suaraku merendah karena gejolak emosi yang menguasaiku. Dan akhirnya, setetes air bening pun jatuh di pipiku. Aku menangis, benar-benar menangis.

“Aku menyesal, Rach. Sungguh aku sangat menyesal,” ucap Dani dengan nada perih. Aku melihat wajahnya yang benar-benar putus asa. Ada sebuah perasaan yang tiba-tiba saja merasukiku. Sebuah perasaan tidak rela melihat wajah Dani yang memohon seperti ini. Oh, Tuhan. Apa yang harus aku lakukan?

Ingin aku meraih dan memeluknya, dan mengusap kerutan wajah itu. Tapi, secepat kilat, seolah tersadar oleh sisi logikaku, aku sudah terlanjur muak dengan semua omongannya.

“Menyesal? Kau menyesal? Dengar, Daniel Pedrosa. Penyesalamu tidak akan mengubah apapun. Semuanya sudah terjadi,” tandasku kemudian.

Cekalan tangannya mengendur dan dengan sigap aku langsung menarik lenganku dan pergi meninggalkannya. Aku berjalan atau nyaris berlari menuju tempat parkiran mobilku dan tidak mempedulikan berapa puluh pasang mata yang menatapku heran sekaligus penasaran. Aku tidak peduli.

Dan saat itulah, aku mendengar suara klakson mobil dan suara-suara orang berteriak di belakangku. Aku mendongak dan benar-benar terkejut. Sebuah mobil Volvo hitam melaju ke arahku dan bannya terkuci hingga tidak sempat mengerem lagi dan menghasilkan suara berdecit. Mobil itu sangat dekat denganku. Bahkan aku tidak sempat memejamkan mataku untuk menyambut ajalku. Hingga tiba-tiba saja, sesuatu menerjangku dari belakang hinggga tubuhku terlempar ke samping trotoar jalan. Aku mendarat keras di aspal dan kulihat cairan merah bercucuran di dahiku dan mengalir ke mataku. Dan semuanya menjadi gelap.

***

Ketika terbangun, aku melihat cahaya putih terang dan sangat menyilaukan mataku. Apa aku sudah mati? Kemudian aku mengarahkan pandanganku ke sekeliling dan mendapati ruangan ini begitu asing, berwarna putih dan ada tirai penutup yang tersampir di sebelahku.

Aku berbaring di atas bangkar dengan besi pengaman di kiri dan kanan. Tanganku juga dipenuhi selang infus dan sebuah perban yang menutupi bagian dahiku.

“Kau sudah sadar?” tanya seorang gadis yang suaranya tidak asing di telingaku.

“Mila…, apa yang terjadi?” tanyaku dengan suara serak. Aku tidak bisa mengingat dengan jelas kenapa aku bisa berada di sini. Yang kuingat hanyalah aku pergi ke kampus baruku dan berkenalan dengan Mila. Apa yang sudah terjadi sebenarnya? Aku benar-benar tidak ingat.

“Kau kecelakaan dan kata dokter kau mengalami gegar otak ringan,” gumam Mila. “Tapi… Dani koma karena menyelamatkanmu saat kecelakaan tadi,” lanjut Mila dengan suara menahan tangis.

“Apa?” Aku menatap Mila dengan mata menyipit. Dani koma?

“Dani koma, Rach. Dan kondisinya sangat parah.” Mila menangis terisak-isak saat mengatakannya. Sedangkan aku hanya terdiam syok di sini. Dani koma dan kondisi sangat parah. Semua itu karena menyematkanku dari kecelakaan itu. Oh, Tuhan.

“Please, antar aku ke tempat Dani, Mil. Aku ingin bertemu dengannya. Please…,” pintaku pada Mila.

“Tapi kondisimu masih belum….”

“Persetan dengan kondisiku. Aku mohon,” pintaku lagi.

Mila kemudian mengantarku ke kamar inap Dani dengan kursi roda. Saat aku memasuki ruangan itu, pertama-tama mataku melihat Dani terbaring tak bergerak di atas tempat tidur putih itu. Lalu, berbagai selang dan kabel yang menghubungkan tubuh pria itu dengan mesin dan peralatan penunjang hidup yang berada di sekitar tempat tidurnya. Aku melihat semua peralatan itu. Dan yang menjadi fokusku adalah monitor yang menunjukan detak jantung Dani.

Mila mendorongku mendekat ke ranjang Dani. Kemudian, aku meraih tangan pria itu dan menciumnya. Aku memandang wajah tampannya yang sebagian dihiasi memar. Hatiku seperti teriris-iris melihat kondisinya.

Aku ingin sekali mengatakan sesuatu pada Dani. Tapi, apa Dani bisa mendengarku jika aku berbicara padanya? Apa Dani juga akan sadar begitu mendengar suaraku? Jujur, sebenci apapun aku pada Dani, rasa cinta yang kurasakan jauh lebih besar melebihi apapun.

“Bodoh!” umpatku pedih. “Kenapa kau membahayakan dirimu hanya untuk menyelamatkanku? Aku tidak butuh, Dani. Aku tidak butuh pertolonganmu…,” ucapku dengan nada getir. Aku mulai merasakan mataku terasa panas.

“Apa kau pikir dengan menyelamatkanku, aku akan memaafkanmu? Tidak. Justru aku semakin marah padamu. Kenapa kau melakukannya, hah? Kenapa?”

Aku mengamati wajah Dani, berhadap melihat sedikit reaksi. Tapi sedikitku aku tidak ada perubahan.

“Kenapa kau masih belum bereaksi juga? Kalau benar kau masih mencintaiku, bangun sekarang juga, Dani. Kalau kau masih sayang sama aku, kumohon buka matamu sekarang juga. Kumohon, bagunlah!” Air mataku pun menetes dan jatuh mengenai telapak tangan Dani yang kugenggam.

“Sabar, Rach,” ujar Mila sembari mengusap pundakku.

“Walaupun sudah 2 tahun berlalu, dan seringnya kau menyakiti aku, aku masih mencintaimu, Dani. Apapun yang sudah pernah kaulakukan, kau tetap pria yang akan kucintai sampai kapan pun. Please…, bangun, Dani.”

Aku menundukan kepalaku, menguburkan wajahku ke pinggiran tempat tidur Dani. Semuanya sia-sia. Percuma aku mengungkap semuanya. Dani tidak akan bangun.

“Rach…, Dani, Rach. He is waking up,” ucap Mila terkejut. Sontak aku mengangkat wajahku dan memandang Dani. Oh, Tuhan. Apa aku salah lihat? Tidak. Kedua mata Dani terbuka. Dani mendengar suaraku. Dia bisa mendengarku tadi.

Aku mencondongkan tubuhku lebih dekat lagi ke Dani. “Dani…,” panggilku dengan perasaan membuncah. “Kau bisa mendengarku?”

Dani balas menatapku dan memberiku seulas senyuman manis. Aku menyentuh telapak tangannya, dan menautkan jari-jari kami.

“Rach,” panggil Dani sangat pelan.

“Iya?” jawabku dengan perasaan luar biasa bahagia.

“Aku juga mencintaimu dan sampai kapan pun aku akan terus mencintaimu,” ucapnya dengan nada yang semakin memelan. Kemudian aku melihat Dani kembali menutup matanya dan saat itu juga aku mendengat bunyi panjang dan datar dari monitor yang tersambung di tubuh Dani. Bulu kudukku meremang. Aku melirik ke arah monitor itu dan yang terlihat hanya garis lurus horizontal. Aku kembali menatap Dani. Dan belum sempat aku mencerna keadaan ini, pintu kamar ruang ini terbuka dan orang-orang berpakaian serba putih menerobos masuk.

Mila mendorong kursi rodaku menjauh dari ranjang Dani. Aku menatap dari jauh para medis itu mencoba menyelamatkan Dani. Berbagai alat dikeluarkan oleh dokter untuk mendapatkan kembali detak jantung Dani.

Kau harus bertahan. Kumohon, kau harus bertahan, Dani. Demi aku, ucapku dalam hati. Kau harus bertahan untukku.

***

Gundukan tanah itu masih basah dengan bunga-bunga yang segar menghiasinya. Seseorang baru saja terbaring damai di dalam sana dengan diiringi puluhan bahkan ratusan doa dari seluruh mahasiswa yang mengenalnya di kampus. Bahkan tangisan dari beberapa orang juga masih terdengar dan kembali menyadarkanku bahwa upacara ini adalah upacara kematian seorang pria yang mengatakan mencintaiku sebelum kepergian.

Orang-orang yang berpakaian serba hitam itu pun mulai menghilang satu per satu hingga menyisakan aku seorang di sini, di atas pemakaman seorang pria yang bernama Daniel Pedrosa Ramal.

Aku mencintaimu, Dani. Aku akan mencintaimu hingga maut membawaku pergi bersamamu. Aku akan mencintaimu terus… sampai kapan pun.

THE END

PS : Aku tau ini hancur banget. Alurnya pun terburu-buru dan rada sinetron banget. Buat yang tanya kelanjutan ff MotoGP Series atau Cervera : Love At First Sight, maaf aku gak tau kapan bisa post. Soalnya ada kejadian yang bikin aku nyesek dan down banget. 600 draft di memopad bb aku keformat gara-gara si bb nyari gara-gara. Makanya sampe bad mood berhari-hari. Dan satu lagi, makasih banget buat kalian yang masih suka baca ff geje aku yang ceritanya sampe ngalah-ngalahin cerita sinetron di tipi-tipi. Makasih banget lho…

Tak ketinggalan, follow juga official account Twitter Laura Amberita @MissLauraAS karena di akun itu aku bakal share quotes yang mungkin bisa mengobati rindu *apa dah ini* kalian pada ff MotoGP Series *sok iyesss amat si loe Rit*

Published by

Rita

I love writing ^_^

3 thoughts on “One Day Before He’s Gone”

Leave a comment