My Secret, His Son #16a

My Secret1 copy

Saat anak-anak lain sibuk bermain dan berlarian dengan sesamanya di area perkebunan, tampak seorang bocah kecil menepi dari kegiatan tersebut. Sebenarnya serangkaian kegiatan field trip hari ini telah usai. Mereka mendapat kesempatan untuk bermain-main sebentar sebelum kembali ke sekolah.

Miguel tidak sendirian. Di sebelahnya ada seorang pria dewasa yang sejak sejam lalu tak sekali pun melepas genggamannya dari tangan mungil Miguel. Boleh dibilang Marc menyita bocah itu dari teman-temannya.

Mereka berjalan menyusuri kandang-kandang sapi. Marc sesekali mengusap-usap gemas puncak kepala Miguel. Tak jarang mereka tertawa berbarengan.

Pemandangan tersebut tidak luput dari perhatian beberapa wanita di sudut lain. Di bawah rerimbunan pohon willow yang teduh, para wanita beristirahat di atas kursi panjang dengan sebuah meja piknik terbentang di hadapan mereka.

“Apakah kalian melihat ada sesuatu yang aneh?” tanya salah seorang dari mereka.

Miss Laurens lantas berhenti memasukkan jaket hitamnya ke tas dan kepalanya menoleh ke arah Miss Caroline. Rambut pirang ikal yang membingkai wajah ovalnya bergoyang saat terpaan angin mengenai bagian belakang tubuhnya.

Miss Laurens menyingkirkan beberapa helaian rambut yang menutupi matanya. Sebelah alisnya terangkat, kemudian ia menganggap angin lalu pertanyaan Miss Caroline barusan.

Fakta bahwa wajah salah satu siswanya mirip dengan pemilik yayasan sekolah menciptakan kehebohan tersendiri di kalangan para guru. Desas-desus tak mengenakkan bahkan bermunculan. Malah, sampai tercipta rumor yang mengatakan bahwa Miguel adalah anak haram pemilik yayasan sekolah. Entah siapa pemilik mulut tidak bertanggung jawab itu hingga berani membuat gosip tak senonoh seperti itu.

Bukannya tidak ada yang sadar. Selain kemiripan wajah, kehadiran Marc yang kerap muncul tiba-tiba di sekolah tanpa membuat janji terlebih dahulu membuat rumor yang pada awalnya hanya berkembang di kalangan para guru kini sampai terdengar ke telinga para orangtua. Memang Marc tidak perlu izin untuk memasuki teritorial miliknya sendiri. Tapi, jika tidak ada urusan penting, untuk apa pria itu sering datang ke sana?

Bahkan saking parahnya, sampai terembus kabar bahwa Laura adalah wanita simpanan Marc dan Miguel adalah anak dari hasil hubungan gelap mereka. Untuk menutupi aib tersebut, mengingat Marc adalah seorang pengusaha sukses dan sebentar lagi akan menikahi putri seorang pengusaha kelas atas yang memiliki perusahaan yang bergerak di bidang kecantikan, Marc terpaksa tidak mengakui Miguel sebagai anaknya demi menjaga reputasinya. Dan sebagai gantinya, Marc tetap bertanggung jawab sebagai orang yang menghadirkan Miguel ke dunia dengan mendukung seratus persen finansial anak itu hingga dewasa.

Saat mengantar Miguel ke sekolah tadi, Laura menjadi buah bibir. Dan kalau hal seperti itu sudah terjadi, ini bukan pertanda baik. Kemungkinan pengucilan yang akan diterima Miguel bisa terjadi. Para orangtua sangat menjunjung tinggi penggolongan kasta di sekolah ini. Saat tahu ada siswa yang memiliki asal-usul keluarga tidak jelas, tinggal menunggu waktu saja mereka akan menarik anak mereka jauh-jauh dan membuat jarak seaman mungkin dari Miguel. Mereka tidak sudi anak mereka berteman dengan bocah yang tidak memiliki latar belakang keluarga yang jelas.

Sebenarnya Miss Laurens turut prihatin dengan gosip tak sedap yang menimpa salah satu siswa beserta orangtuanya. Tapi ia tidak bisa berbuat banyak selain menanggapi dingin setiap pernyataan dan pertanyaan yang mengarah kepada Miguel dan ibunya.

“Jangan membuat gosip yang tidak-tidak, Miss Caroline,” tegur Miss Laurens, tak lupa memberikan tatapan tak senangnya, mengingatkan temannya agar tidak terlalu mencampuri yang bukan menjadi urusannya. Miss Laurens tidak masalah jika yang dibicarakan Miss Caroline tentang hal lain. Mengingat sifat Miss Caroline yang telah berusia 46 tahun dan menyandang status janda, wanita itu sangat senang jika ada yang bisa dijadikan objek gosip.

Sebagai guru yang paling muda di sekolah, sikap dan sifat Miss Laurens tidak menunjukkan ia seperti wanita pada usianya yang mudah terusik oleh pembicaraan orang lain. Apalagi pembicaraan yang belum tentu benar adanya.

Kemudian, terdengar kekehan kecil di sebelah Miss Laurens. “Oh, ayolah, Miss Laurens. Jangan terlalu kaku dan berpikiran sempit seperti orang tua. Sesekali cobalah buka diri dan lihat apa yang terjadi di sekitarmu. Hidup ini terlalu indah untuk kau abaikan.” Miss Helene yang sedari tadi menertawakan Miss Laurens dalam hati, akhirnya tak tahan untuk tidak ikut mengomentari cara berpikir Miss Laurens.

Wanita itu menyandarkan punggungnya ke meja. Menoleh ke samping dan melemparkan raut sedang mencemooh Miss Laurens ke arah Miss Caroline. Miss Caroline hanya mengangkat bahu. Tapi bibir tebal yang dihiasi lipstik cokelat itu tak mampu menutupi seringaian yang muncul di wajahnya.

“Tapi tidak dengan membicarakan orang lain!” sergah Miss Laurens marah. Suaranya naik satu oktaf. Miss Helene boleh saja menceramahinya, tapi harga diri Miss Laurens tidak mengizinkan siapa pun, termasuk wanita berusia tiga puluh enam tahun itu menyinggung kecerdasannya. “Dan Miss Helene, ini untuk terakhir kalinya aku memperingatkanmu. Jangan sesekali dan jangan pernah menyinggung kecerdasanku sebagai wanita. Aku tidak suka!” ucap Miss Laurens, memberikan tatapan sedingin kutub utara kepada wanita itu.

Raut Miss Helene berubah seketika saat mendapat selaan tajam dan tatapan dingin Miss Laurens.

“Santailah sedikit. Jangan dimasukkan ke dalam hati. Miss Helene tidak bermaksud seperti itu.” Miss Caroline menepuk-nepuk bahu Miss Laurens, coba meredakan amarah yang terpendam dalam diri Miss Laurens.

“Tidak akan kumasukkan ke dalam hati jika kalian tahu apa yang sedang kalian bicarakan! Kalian tidak tahu apa-apa dan kalian tidak berhak memberikan penghakiman dalam bentuk apa pun terhadap Miguel, ibunya ataupun Mr. Márquez. Kalian paham?!” bentak Miss Laurens, menyapukan tatapan garangnya kepada mereka.

Setelah berkata seperti itu, Miss Laurens menyambar ransel kecilnya dan meninggalkan kedua wanita itu yang terheran-heran melihat perubahan sikapnya. Miss Laurens tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya. Miss Laurens yang mereka kenal adalah sosok pendiam dan tak banyak omong, berubah garang seketika saat mereka membicarakan salah seorang siswa dan pemilik yayasan sekolah tempat mereka mengajar. Miss Laurens yang jarang mengungkapkan pendapatnya, berani bersuara lantang dan terang-terangan menegur keras rekan kerjanya. Ini tidak seperti Miss Laurens biasanya.

“Dasar aneh,” tukas Miss Helene, mendecak lidah sembari menopangkan kaki kanan ke atas lutut kirinya. Tangannya ia letakkan di atas dagu. Sementara matanya memandang kepergian Miss Laurens dengan sorot jijik.

“Sudahlah. Mungkin tamu bulanannya sedang datang. Nanti juga baik sendiri.” Mrs. Ham, wali kelas Miguel yang tidak sengaja mendengar percakapan ketiga rekan kerjanya, ikut menimpali. Wanita itu berjalan mendekat dan duduk di sebelah Miss Helene dengan raut letih.

“Oh, hai, Mrs. Ham. Dari mana saja?” tanya Miss Caroline terkejut melihat kedatangan Mrs. Ham.

“Mengawasi anak-anak di kolam ikan. Sungguh melelahkan, kau tahu? Mereka sangat bersemangat dan membuatku takut salah satu dari mereka akan tercebur ke kolam.” Mrs. Ham mengembuskan napas panjang. Rambut hitam yang biasanya tersanggul rapi di atas kepalanya kini tampak agak berantakan. Raut pasrah pun tak ketinggalan menghiasi wajahnya.

“Apa terjadi sesuatu?” Miss Helene coba untuk tidak tertawa saat bisa menebak apa yang terjadi pada anak asuh Mrs. Ham.

Mrs. Ham kembali mengembuskan napasnya sebelum menjawab dengan lesu. “Tercebur. Bukan hanya satu, tapi semua. Lima ikan mati. Puluhan lainnya syok. Si penjaga kolam stres berat. Dan aku hampir terkena serangan jantung. Untung saja kaki-kaki mereka dapat mencapai dasar kolam. Aku bisa mati di tempat kalau tinggi mereka kurang dari dua puluh sentimeter lagi,” jelasnya, menggeleng-gelengkan kepalanya sembari menunjukkan wajah frustrasi.

“Sabar, Mrs. Ham. Begitulah anak-anak. Hal-hal seperti ini masih baru bagi mereka. Yang terpenting tidak ada yang tenggelam. Anak-anak itu baik-baik saja, bukan?” tanya Miss Caroline, turut prihatin–lebih tepatnya turut berbahagia atas kejadian tak terduga ini karena di wajahnya tak ada sedikit pun ekspresi bersimpati–kepada Mrs. Ham. Dengan begitu ia akan memiliki bahan gosip lagi yang akan dibagikan di sekolah.

“Baik-baik saja. Kecuali bagian orangtua yang lupa memasukkan celana dalam ke dalam tas anak-anak mereka, membuatku sedikit kepayahan menghadapi rengekan mereka karena tidak ada celana dalam bersih yang dapat dipakai. Ini benar-benar masalah, kau tahu?” keluh Mrs. Ham, sedikit merasa kesal. Ia tidak mengerti jalan pikiran para orangtua sampai bisa lupa memasukkan pakaian yang sangat vital bagi anak-anak mereka.

“Semoga kelamin mereka tidak merah-merah setelah pulang dari tempat ini. Ini bukan kesalahan kita. Kita sudah beritahukan sebelumnya. Apabila ada orangtua yang komplain setelah ini, tunjukkan surat pemberitahuan yang dikirim oleh bagian informasi. Untuk berjaga-jaga siapa tahu kejadian seperti itu akan terjadi. Nanti infokan kepada yang lain.” Miss Helene memberi instruksi dengan tangkas yang disambut anggukan serentak kedua rekannya.

Setelahnya, mereka membubarkan diri dan kembali ke tugas pokok masing-masing, yaitu mengawasi setiap anak yang telah dibagi ke dalam beberapa kelompok sebelumnya. Pekerjaan yang melelahkan sebenarnya. Tapi itulah risikonya, keinginan mereka. Sudah menjadi kewajiban untuk menjalani apa yang telah mereka pilih sejak memutuskan untuk menjadi seorang guru.

***

Sementara berjarak 25 kilometer dari area perkebunan, Laura terdiam seribu bahasa saat memandangi halaman kosong di samping rumah yang sebelumnya terpakir sebuah mobil. Wajahnya sembap dengan mata membengkak, serta ujung hidung yang memerah.

Rasa sesak memenuhi relung hatinya. Laura menarik napas dengan pilu. Air matanya seakan telah habis menangisi kepergian Dani, pria yang ia impikan agar dapat menjadi sosok suami dan ayah sempurna untuk Miguel.

Laura tidak tahu pasti bagaimana perasaannya. Sedih, marah, kecewa, dan lega di saat yang bersamaan. Namun, jauh di lubuk hatinya ada sebuah perasaan tak terjabarkan, tak ia mengerti, dan tak ia ketahui. Ia tidak menangis lagi setelah Dani pergi. Laura tidak merasakan apa-apa.

Kosong. Hampa.

Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang salah? Kenapa perasaannya tiba-tiba menjadi seperti ini?

Kebingungan merasuki hatinya. Ia tidak tahu harus bagaimana dan melakukan apa. Ia tidak punya rencana. Ia tidak punya sesuatu untuk dilakukan. Ia hanya berdiri kaku dengan bibir membisu dan mata tetap memandang lurus ke depan. Sedikit pun ia tak berniat meninggalkan tempat itu. Kakinya seolah telah terpatri di beranda rumah Dani.

“Laura….”

Sebuah suara familier memanggilnya. Laura menoleh. Berjarak lima meter tepat di samping rumah Dani, berdiri seorang wanita paruh baya, menatapnya dengan sorot prihatin, seolah dapat merasakan apa yang dirasakan Laura.

Laura menatap lekat wanita itu, sebelum seberkas senyum mengembang di bibirnya. Itu bukan jenis senyum bahagia, melainkan senyum penuh kesakitan.

Laura coba untuk terlihat tegar. Walaupun hatinya menganga luka lebar. Tapi ia berusaha… untuk terlihat baik-baik saja.

“Aku tidak apa-apa, sungguh. Aku bisa mengatasinya sendiri,” ringisnya sembari menganggukkan kepala, entah menyakinkan dirinya sendiri atau wanita itu.

Dan… apakah wanita itu percaya begitu saja?

Demi Tuhan, Elena sangat mengenal Laura untuk tidak memercayai satu kata pun yang keluar dari bibir anak perempuannya.

Sembari menahan sakit yang sama dan isak tangis di dada, Elena menjulurkan kedua tangannya ke depan. “Kemari…. Kemari, Nak.”

Dan tubuh itu seketika terjatuh dalam pelukan ibunya dengan erangan dan tangisan hebat.

***

Sore itu langit tampak lebih gelap dari biasanya. Angin yang sebelumnya bertiup pelan kini mulai terasa sejuk.

Mrs. Ham mendongak, memandangi langit yang mulai dihiasi titik-titik mendung. Burung-burung yang biasanya jarang beterbangan di sore hari, kini sibuk mengepakkan sayapnya ke arah timur.

Ini bukan pertanda baik, pikir Mrs. Ham. Bahkan burung-burung pun tahu sebentar lagi badai akan tiba. Tapi bagaimana mungkin cuaca bisa berubah secepat itu? Ini bahkan baru memasuki pertengahan musim semi. Dan badai pada musim seperti ini sangat jarang terjadi.

Mrs. Ham mulai diliputi perasaan khawatir. Dipandanginya anak-anak yang masih sibuk bermain di area perkebunan, tatapan Mrs. Ham kemudian jatuh pada Miss Helene dan Miss Caroline. Seakan mengerti apa yang sedang Mrs. Ham pikirkan, Miss Helene dan Miss Caroline mendekat.

“Percayakah kalian jika kukatakan sebentar lagi akan ada badai?” Mrs. Ham agak waswas saat melemparkan pertanyaan tersebut.

Kening Miss Helene berkerut dalam. Kedua wanita itu lantas menengadah kepalanya ke langit. Miss Helene kemudian menggeleng seolah tak habis pikir. “Aku tidak tahu apa yang dikerjakan badan prakiraan cuaca. Bisa-bisanya mereka salah memprediksi. Kita harus bergegas membawa anak-anak ini pulang sebelum badai datang. Akan sangat merepotkan nantinya jika kita terlambat dan terjebak di tengah jalan.”

Miss Caroline menyetujui ucapan Miss Helene. “Kurasa,” arah pandangannya menuju gumpalan awan hitam yang mulai tampak pekat, “badai kali ini akan besar. Lihat bagaimana awan-awan itu bergerak. Kita harus bergegas. Mrs. Ham, aku akan mengumpulkan anak-anak bersama…,” ekor mata Miss Caroline menangkap sosok Miss Laurens yang sedang mengawasi anak-anak. Ada raut tak suka dalam cara Miss Caroline memandangi Miss Laurens. “…Miss Laurens. Miss Helene, hubunganmu dan Mr. Márquez bisa dikatakan yang paling baik di antara kami semua. Apakah kau keberatan menyampaikan berita kepulangan anak-anak lebih awal pada beliau? Kita sudah tidak punya waktu lagi.”

Raut wajah Miss Helene lantas berubah. Ingin rasanya ia menolak, namun mengingat ini bukanlah waktu yang tepat untuk membantah instruksi karena anak-anaklah yang terpenting sekarang.

Miss Caroline kemudian melanjutkan instruksinya. “Mrs. Ham, kau atur masalah transportasi. Hubungi sopir bus dan suruh dia datang secepatnya. Aku dan Miss Laurens akan mengabsen anak-anak itu. Apa ada pertanyaan sebelum kita bergerak?” tanya Miss Caroline, memastikan.

“Tidak ada,” jawab kedua wanita itu serentak–dengan Miss Helene yang sedikit tampak ogah-ogahan–kemudian membubarkan diri.

Meski dibilang hubungannya yang paling baik dengan sang pemilik yayasan, tetap saja Miss Helene ketar-ketir saat berjalan ke arah Marc.

Marc, yang sedang berbicara dengan seorang peternak sapi, mengalihkan pandangannya saat merasa namanya dipanggil.

“Ada apa?” tanyanya dengan nada datar seperti biasa.

Miss Helene berdeham sebentar sebelum menyampaikan maksud kedatangannya. Tangannya tiba-tiba berkeringat. “Ada situasi darurat. Cuaca tiba-tiba memburuk. Badan prakiraan cuaca salah memprediksikan cuaca hari ini. Lihat awan-awan hitam itu,” Miss Helene menengadah sebentar, kemudian kembali memandang Marc, “sebentar lagi badai akan datang. Anak-anak harus dibawa pulang lebih awal. Jika tidak, saya khawatir kita semua akan terjebak dan terhambat saat perjalanan pulang,” jelasnya dengan jantung berdegup lebih cepat dari biasanya. Segumpal rasa takut menyangkut di tenggorokannya.

Marc menatap langit. Matanya menyipit. Dengan sorot tajam, ia mengarahkan mata kelamnya ke arah Miss Helene, membuat wanita itu mendadak kesulitan menelan ludah.

“Kumpulkan anak-anak. Kita pulang sekarang,” ucapnya disertai dengan geraman pelan.

Jantung Miss Helene mencelus. Ekor matanya menangkap kepalan tangan Marc terbentuk sempurna di kedua sisi tubuh. “Ba-baik, T-Tuan,” ucapnya terbata-bata, ketakutan.

Miss Helene cepat-cepat meninggalkan Marc dengan perasaan tak keruan dan ikut membantu Miss Caroline dan Miss Laurens mengumpulkan anak-anak.

Sembari melakukan tugasnya, dalam hati Miss Helene mengutuki Miss Caroline. Sialan! Miss Caroline benar-benar kurang ajar. Kalau saja ini bukan situasi darurat, sudah kupelintir leher wanita tua itu. Beraninya dia menyuruhku. Dasar janda jalang! Mati sajalah kau!

***

“Ayo, anak-anak, cepat masuk ke dalam bus. Kita akan segera pulang,” seru Miss Caroline sembari menggiring anak-anak bak pengembala yang sedang menggiring domba-dombanya masuk ke kandang.

Anak-anak dengan patuh mematuhi perintah Miss Caroline. Mereka diabsen satu per satu oleh Miss Laurens sebelum masuk ke bus.

“Antonio Alonso, Miss Laurens,” ucap seorang bocah laki-laki bertubuh gempal dengan rambut kribo pirang sembari mengerling jahil ke arah Miss Laurens.

Miss Laurens terkekeh pelan. Dasar anak-anak, ia memaklumi seraya menggeleng-gelengkan kepala.

“Keyla Jones, Miss.”

Tik.

“James Falcao.”

Tik.

“Sara Hernandez, Miss.”

Tik.

“Aku lupa siapa namaku.”

Eh? Miss Laurens mengangkat wajahnya dari buku absen dan melongo menatap gadis kecil di hadapannya. Wajah gadis itu tertekuk ke dalam. Pipinya yang cempluk semakin terlihat cempluk.

Miss Laurens tersenyum. Ia menundukkan tubuhnya, kemudian mengusap-usap lembut rambut gadis kecil itu.

“Namamu Anne, bukan? Kau teman satu kelasnya Miguel dan wali kelasmu adalah Mrs. Ham.”

Bibir gadis kecil itu tiba-tiba terbuka. Ekspresi wajahnya mendadak berubah geli. Ia mengedip-ngedipkan matanya, kebiasaannya kalau merasa malu.

“Ah, benar. Namaku Anne. Tapi aku bukan hanya teman satu kelasnya Mimigu, Miss Laurens. Sini, biar kuberitahukan sesuatu.” Anne meminta Miss Laurens menunduk lagi ke arahnya. Gadis itu kemudian berbisik di telinga Miss Laurens. “Mimigu itu adalah calon suami masa depanku, Miss. Tapi Miss jangan beritahu siapa-siapa dulu, ya? Mimigu itu pemalu. Dia tidak suka kalau ada orang lain tahu kalau aku adalah calon istri masa depannya. Janji ya, Miss?”

Miss Laurens tergelak hebat. Tawanya sontak mengundang perhatian Miss Caroline yang berdiri tak jauh darinya.

Miss Laurens menggeleng-gelengkan kepalanya, seolah hendak menjelaskan kepada Miss Caroline bahwa tawanya barusan bukan apa-apa.

“Baiklah. Miss janji tidak akan memberitahu siapa pun. Kalau begitu, kau boleh naik sekarang.” Miss Laurens dengan senyum lebar mempersilakan Anne masuk ke dalam bus.

“Terima kasih, ibu guru cantik. Muah!” ucap Anne, menempelkan telapak tangannya ke bibir kemudian meniupkan ke arah Miss Laurens.

Miss Laurens kembali tertawa dibuat. Betapa lucunya anak-anak ini, pikirnya.

“Albern Lorenzo, Miss.”

Tik.

“Jorge Rodriguez, anak didiknya Miss Helene, Miss.”

Tik.

“Miguel Sánchez.”

Eh?

Miguel Sánchez? Suara siapa itu?

Miss Laurens kembali mengangkat kepalanya saat mendengar sebuah suara asing menyebut nama salah satu anak didiknya. Mendadak jantungnya berhenti berdetak saat dilihatnya siapa yang tengah berdiri di depannya.

“Mr. Márquez?” Miss Laurens refleks menyebut nama laki-laki yang selalu menjadi buah bibir belakangan ini.

“Ada masalah, Miss Laurens?” Sebelah alis Marc terangkat saat dilihatnya Miss Laurens tak segera bergerak mencontreng nama Miguel di buku pengabsenan.

Miss Laurens menggeleng cepat. “T-tidak,” ucapnya dengan kegugupan luar biasa.

Mata Miss Laurens beralih ke Miguel sebentar sebelum kemudian mencontreng nama Miguel.

“Silakan.” Miss Laurens mempersilakan Marc dan Miguel lewat di depannya.

Berbeda dengan Marc yang tidak mengucap apa-apa saat dipersilakan, Miguel berseru dengan riang. “Terima kasih, Miss Laurens.”Miss Laurens tersenyum kecil. Kemudian ia buru-buru mengalihkan wajahnya dan mengembuskan napas keras.

Huh! Gila! Pria itu benar-benar terbuat dari bongkahan es.

Miss Laurens kembali menoleh untuk melihat dua pria berbeda generasi tersebut. Apa yang terjadi selanjutnya membuat Miss Laurens meleleh saat disuguhi sebuah pemandangan yang mampu menghangatkan hati siapa pun yang menyaksikannya. Marc dengan penuh kasih mengangkat Miguel melewati tangga bus.

Jika orang-orang menganggap Marc Márquez sebagai sosok yang mengerikan dan harus dihindari, hal itu sepertinya tidak berlaku untuk Miguel. Lihat saja tingkahnya selanjutnya saat ia sudah mencapai bibir pintu bus. Miguel mengulurkan tangan kepada Marc, menawarkan bantuan kepada sosok yang paling disegani di sekolah.

Mereka kemudian tertawa bersama-sama. Entah apa yang mereka tertawakan.

Marc mengecup ubun-ubun Miguel, kemudian menggiring bocah itu mencari tempat duduk. Dan pemandangan akan kebersamaan mereka pun usai.

Setidaknya Miss Laurens tidak akan khawatir lagi saat kebenaran itu terungkap. Ia akan menjadi orang yang paling bahagia untuk Miguel. Anak itu pasti tak sabar menantikan kabar bahagia mengenai ayahnya.

Selesai mengabsen dan memastikan tidak ada yang ketinggalan, bus kemudian berangkat meninggalkan area field trip menuju sekolah.

Di dalam bus, formasi duduk seperti pada saat berangkat dari sekolah sedikit berubah. Miss Laurens dan Miss Caroline yang sebelumnya duduk di kursi paling depan, kini berpindah ke belakang. Sedangkan Mrs. Ham dan Miss Helene saling berpencar. Satu di depan dan satu di tengah.

Beberapa anak tampak kelelahan setelah bermain dan belajar seharian. Tak terkecuali Miguel. Wajah bocah itu tampak mengatuk. Di sebelahnya, Marc tak henti-hentinya membelai rambut bocah itu.

Sama-sama duduk di barisan belakang membuat Miss Laurens lebih leluasa memperhatikan tingkah laku Marc dan Miguel. Mereka hanya terpisah oleh sebuah lorong sempit di tengah. Marc dan Miguel duduk lebih maju sekursi di sebelah kanan. Sedangkan Miss Laurens duduk di sebelah kiri paling ujung.

Perasaan hangat dalam diri Miss Laurens bertumbuh semakin besar saat melihat Marc mengangkat tubuh mungil Miguel ke pangkuannya dan membaringkan bocah itu di dadanya. Kedua lengannya membungkus di sekeliling tubuh Miguel. Hidungnya sesekali disurukkan ke rambut Miguel dan tangannya menepuk punggung Miguel dengan ritme menenangkan.

Betapa beruntungnya kau, Nak, memiliki ayah sehebat itu, batin Miss Laurens.

Bermaksud memberi privasi kepada kedua pria itu, tatapan Miss Laurens bertemu dengan Miss Caroline. Wanita itu menatapnya curiga.

Miss Laurens hanya menanggapi tak acuh tatapan curiga yang dilempar Miss Caroline kepadanya. Wanita itu kemudian membuang mukanya ke arah jendela.

Pemandangan pepohonan hijau di sisi jalan semakin jarang saat bus berbelok kembali masuk ke kota.

Di luar, langit semakin gelap. Awan mendung menggantung rendah di langit. Perlahan, rintik hujan mulai berjatuhan. Geluduk terdengar di kejauhan, saling berkejaran, kemudian mulai terdengar menakutkan saat kilat-kilatnya mulai menyambar.

Ini akan menjadi badai terburuk yang pernah terjadi di pertengahan musim semi.

***

Tubuh Miguel tersentak saat mendengar suara guntur tiba-tiba pecah di langit. Matanya melebar saat melihat kilat dengan cepat menyambar masuk melalui jendela kaca bus yang tertutup oleh tirai hujan. Saat berpikir kilat itu akan mengenai wajahnya, tiba-tiba tirai hujan di jendela bus menghilang dari pandangannya, berganti menjadi kain gorden biru.

“Miguel,” panggil suara yang sudah sangat dikenalinya dengan lirih.

Miguel bergerak gelisah di dada Marc.

“Kau takut?” Marc coba menenangkan bocah itu dengan mengelus-elus punggungnya.

Miguel tak menjawab. Tubuhnya meringkuk lebih dalam ke dada Marc. Tangan mungilnya melingkar erat di leher pria itu.

Marc mengecup kening Miguel dan berbisik, “Tidak apa-apa. Ini hanya gejala alam biasa. Tidak ada yang perlu ditakutkan.”

Miguel mengangguk. Ia percaya pada kata-kata Marc. Tidak ada yang perlu ditakutkan.

“Aku tidak takut. Aku hanya benci mendengar suara petir. Suaranya jelek,” gumam Miguel yang Marc yakini pasti sedang cemberut.

Marc terkekeh pelan. “Aku setuju denganmu. Suaranya benar-benar jelek.”

Marc mempererat pelukannya di sekitaran tubuh Miguel. Saat ia sibuk menenangkan Miguel, anak-anak lain ikut gelisah di tempat duduk masing-masing.

Marc melirik sekilas ke arah mereka. Ia tak merasakan simpati yang sama seperti yang ia rasakan pada Miguel. Kemudian, ia membiarkan para ibu guru yang mengurus anak-anak itu.

Miguel bergerak-gerak. Ia menengadahkan kepalanya, menatap serius ke arah Marc, dan sebuah pertanyaan pun meluncur dari bibir monoknya. “Uncle Marc, apa kau pernah benar-benar merasa takut pada sesuatu?”

Marc mengerjapkan matanya beberapa kali. Butuh usaha yang keras untuk mencerna pertanyaan Miguel. Padahal pertanyaannya begitu sederhana.

Marc terdiam selama beberapa saat. “Ya,” jawabnya terdengar lirih.

“Pada apa?”

“Banyak hal.”

Mata Miguel membulat, tidak percaya. “Benarkah? Kupikir pria hebat sepertimu tidak pernah takut pada apa pun.”

Marc tersenyum kecut. “Memangnya kata siapa pria hebat tidak pernah merasa takut?”

“Kata Mommy sih begitu,” jawab Miguel dengan polos. Pipi cempluknya tampak menggemaskan.

Marc mendengus. “Mommy-mu sok tahu. Kukatakan padamu ya, ada beberapa hal yang tidak diketahui wanita tentang para pria. Dan mommy-mu adalah salah satu dari sekian wanita tersebut.”

Petir kembali terdengar, namun tidak sekuat tadi.

“Kau takut pada apa, Uncle Marc?” Miguel kembali bertanya.

Marc terdiam. Ia tampak berpikir sejenak. Seringaian jahil kemudian terlihat di wajahnya. “Hm, bagaimana kalau kukatakan kalau aku takut kehilanganmu? Itu adalah salah satu ketakutan terbesarku. Aku tidak mau kehilanganmu, Miguel.” Sorot Marc tiba-tiba berubah serius.

Miguel menatap Marc lama sebelum berkata, “Kenapa kau takut kehilanganku, Uncle Marc?”

Sorot Marc melembut. “Karena aku bisa mati saat hal itu terjadi. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada hidupku jika aku tidak diberi kesempatan untuk bertemu denganmu lagi.”

Bocah itu terdiam cukup lama. Mereka saling pandang. Baik Miguel maupun Marc, tak seorang pun dari mereka memulai kembali percakapan.

Semenit, dua menit, kebisuan mereka kemudian dipecah oleh pengumuman Mrs. Ham bahwa mereka telah sampai di sekolah.

Marc dan Miguel menunggu anak-anak lain turun duluan sebelum mereka bergerak menyusul. Saat hendak melewati lorong sempit di antara kursi bus, Miguel tiba-tiba berhenti dan membalikkan tubuhnya.

“Ada apa, Nak?” tanya Marc sembari menundukkan tubuhnya.

“Uncle Marc, aku juga tidak ingin kehilanganmu. Sekali pun tidak ingin. Aku juga bisa mati saat hal itu terjadi.”

Marc merasa paru-parunya tiba-tiba dirasuki begitu banyak udara. Sampai-sampai rasanya penuh sesak. Bukan sesak yang menyiksa. Namun, sesak karena luapan kebahagiaan.

Perasaan haru seketika membuncah dalam dirinya.

Sejenak, ia ingin waktu berhenti berputar. Ia ingin terus bersama Miguel, tanpa perlu merasa khawatir ataupun takut. Karena ia mempunyai firasat, ia takkan memiliki banyak waktu lagi. Marc ingin menghabiskan seluruh waktu yang masih dapat ia miliki bersama Miguel. Ia menyayangi anak itu lebih dari apa pun, bahkan melebihi nyawanya sendiri.

To Be Continued…

Published by

Rita

I love writing ^_^

13 thoughts on “My Secret, His Son #16a”

  1. Omg, after so long time, finally my Miguel was here 😁😁😁😁
    Scene kali ini, lebih banyak menyorot kedekatan Miguel dan Marc, guru2 Muguel aja udah curiga kalo Muguel dan Marc punya hubungan darah, nag si Marc kapan pekanya, emang dimana2 cowo itu susah peka ya 😕😕
    Awalnya aku tadi berpikir, dalam perjalanan pulang ada kecelakaan, dan hanya darah Marc yg cocok untuk Mjguel, karna gol darah resus negatif yg langka, apalagi tadi ada badai, keyakinan gw kalo bakal ada kecwlakaan makin bertambah, eh ternyata engga 😂😂😂😂
    Maafkan imajinasi saya yang gerlalu tinggi 🙏🙏🙏🙏
    Hal yg paling aku suka dari FF MSHS adalah kinflik/dialog Miguel n Laura, kayanya chemistry merekq ruh dapet banget 😊
    Kayanya klimaks konfliknya di part 16b ya, tentang kehamilan Adele, si Marc gabisa lari lagi dong nanti 😩😩😩
    Thankyou banget udah post ini, kangen banget sama Miguel, part 16b segera di post ya thor.

    Liked by 1 person

  2. Long time no see sama si Cempluk Miguel ini ya… 😀 aku ngerasa Miss Laurents termasuk tokoh penting ya, seenggaknya kemunculannya memberi warna baru, *eyak* di mana2 ibu-ibu teteup..sukanya gosip. Coba Marc denger gosipnya, pada kehilangan kepala tuh ibu2 😀 keep writing ya, Rit. Biar next-nya ndak kelamaan 😀

    Like

  3. Yassalaaam akhirnyaa nduukk kamu =)) hahahaha so far yaaa kedekatan bapak anak ini bikin aku mikir… miguel sih ngerasa ada something dalam diri marc. terus si marc kapan sadarnya? haa sebenernya dia udah sadar kan cuma gegara si laura dulu bilang kalo itu emang bukan anaknya, jadinya di marc ya kek sekarang. dan aku nunggu seberapa jantan si marc menyelesaikan urusan dia sebagai ayah mimigu dan gimana dia tanggung jawab ke adel :* lanjutannya jangan lama-lama canteeekkk. cium sekkk :)))

    Like

Leave a comment