She is Pregnant My Baby #1 (Modified Version)

Hai semua 😀 Apa kabar? Semoga kalian selalu dalam keadaan baik di mana pun kalian berada. Kali ini penulis mau menyajikan sesuatu lho. Bukan ff baru sih. Tapi ff modifikasi. Kalau sebelumnya ff ini diproteksi karena mengandung unsur dewasa, sekarang ff ini sudah aman untuk konsumsi publik. Tapi tetap perlu bimbingan orangtua ya. Semua yang tertulis di sini murni hanya fiksi semata. Tidak nyata. Hanya kesenangan penulis untuk menuangkan ide yang terlintas di otak saja. Akhir kata, penulis ucapkan selamat membaca. Sekiranya dapat meninggalkan jejak setelah membaca ya 😉 Penulis tidak akan memaksa 😉

Estelle melepas wedges putihnya dan mengendap-endap masuk ke kamarnya yang bertipe deluxe premier saat hari menjelang subuh. Wajahnya terlihat pucat. Ia diliputi perasaan takut setelah melakukan hal yang tak pantas di kamar laki-laki itu.

Aish! Sudahlah, Estelle. Anggap saja tidak ada yang terjadi semalam. Lupakan! Lupakan!

Estelle menggeleng-geleng, membuang jauh-jauh pikiran buruk yang menghinggap di kepalanya.

Sebelum masuk tadi, Estelle sudah merapikan pakaian dan rambutnya. Walaupun tidak serapi saat ia meninggalkan kamar ini, setidaknya penampilannya sekarang tidak membuat mata yang memandang ke arahnya memincing curiga. Namun, satu hal yang tak dapat ia pungkiri adalah rasa nyeri yang masih membekas di daerah selangkangannya.

Estelle berjalan pelan melewati dinding pemisah antara ruang tidur dan ruang duduk. Jantungnya berdetak kencang.

Semoga Adel masih terlelap, doanya dalam hati.

Dan… doa tinggallah doa. Adelaide Alessandra Stoner–kakak perempuan Estelle yang berusia 2 tahun lebih tua darinya–bersedekap dada, masih mengenakan piama tidurnya, duduk di tepi ranjang, dan menatap garang ke arah Estelle.

Estelle terkejut. Sepatu yang ditentengnya terjatuh. Wajah bertambah pucat dua kali lipat.

Mati aku! batin Estelle terkesiap.

“Kau tahu, sekarang sudah jam berapa?”

Pertanyaan bernada datar itu menohok jantung Estelle. Estelle membantu di tempat. Bibirnya mengering. Bersusah payah ia menelan gumpalan ketakutan yang menyangkut di tenggorokannya. Tangannya meremas ujung blus putih gading yang tampak kebesaran membungkus tubuhnya.

“Ak… aku… tadi aku….” Bibir Estelle bergetar saat hendak menjawab pertanyaan Adel. Otaknya tiba-tiba buntu. Ia tidak dapat menemukan jawaban pas, tepat, dan yang masuk akal untuk ia utarakan.

Ayolah, Estelle! Berpikir!

Adel bangkit dari posisi duduknya dan berjalan menghampiri Estelle. Estelle yang melihat kakaknya mendekat, menciut di tempat. Tubuhnya semakin menegang.

“Jujur sama aku, Estelle. Dari mana saja kau semalaman?!” bentak Adel, menuntut. Matanya melotot tajam.

Estelle menunduk, semakin menciut ditatap Adel seperti itu. “Aku….”

Astaga…. Ayo, Estelle. Cari satu alasan saja. Ayo berpikir! Kau pasti bisa! desaknya dalam hati. Perutnya benar-benar mulas memikirkan kebohongan yang akan ia katakan.

Aha!

Sebuah lampu ajaib tiba-tiba muncul di otaknya. Estelle teringat kejadian pada saat ia turun ke lobi tadi. Ia tidak sengaja mendengar pembicaraan beberapa petugas dari pihak keamaan hotel tentang insiden terkuncinya salah satu tamu di toilet perempuan.

Haha…. Kau memang genius, Es, pujinya pada diri sendiri.

“Itu… aku terkunci di toilet. Iya, benar. Tadi itu, eh, maksudku aku terkurung di sana sepanjang malam,” jawab Estelle terbata-bata. Lidahnya sedikit keseleo. Berbohong memang bukan bakatnya. Estelle hanya bisa berdoa semoga Adel percaya pada kebohongannya. Tujuh belas tahun hidup di atap yang sama, Adel mengenalnya luar dalam. Jika Estelle berbohong, maka Adel adalah orang pertama yang mengetahui kebohongannya.

Adel memincingkan matanya. Ia sangat meragukan jawaban adiknya.

“Terkunci?” Sebelah alisnya terangkat.

“I… ya, kalau kau tidak percaya tanyakan saja pada pihak keamanan hotel. Berjam-jam aku terkunci dan tak satu pun yang tahu aku di dalam sana.” Estelle kembali melanjutkan kebohongannya dengan lancar.

Adel menatap Estelle lama. Radarnya menangkap kebohongan yang terpancar di sepasang mata aquamarine milik adiknya. “Lalu, bagaimana kau bisa keluar?” tanyanya, suaranya sedikit melunak.

“Aku… meminta bantuan,” gumam Estelle.

“Dengan cara?”

Estelle memejamkan mata sejenak. Ia tahu Adel akan terus mengintrogasinya sampai kakaknya itu mendapat apa yang diinginkannya. Kalau begini caranya, Estelle yakin lama-lama ia akan keceplosan dan malah membuat Adel semakin curiga padanya.

Tidak ada cara lain. Ia harus mengeluarkan senjata terakhirnya.

Estelle membuka matanya, menatap Adel dengan sorot memohon. Wajahnya dibuat semelas mungkin. Ia paling jago dalam hal berekspresi. Jangankan Adel, ayah dan ibunya pun luluh kalau ekspresi memelas sudah muncul di wajahnya.

“Oh, sudahlah, Adel. Bisakah kau tunda dulu pertanyaanmu setelah aku mendapatkan istirahat yang cukup? Aku sangat lelah. Kau tidak kasihan padaku? Dan satu lagi, tolong jangan memandangiku seperti itu. Kau melihatku seolah-olah aku baru saja melakukan tindak kriminal,” sungut Estelle dengan bibir sengaja dicemberutkan. Tangannya menggaruk-garuk salah satu pipi chubby-nya yang tiba-tiba terasa gatal.

“Dan kau memang seperti baru saja melakukan tindak kriminal, Estelle!” tukas Adel, sedikit pun tak terpengaruh ekspresi memelas Estelle.

Tubuh Estelle kembali menegang. Tangannya terasa lembap.

Apa… jangan-jangan Adel tahu kalau ia dan Marc sudah melakukan…. Tidak! Tidak! Adel tidak tahu! Kalaupun tahu, Adel tahu dari mana? Tidak ada seorang pun yang tahu kejadian ini selain ia, Marc, dan Tuhan. Hanya mereka bertiga.

Namun, perkataan Adel selanjutnya membuat Estelle dapat bernapas lega. Kakaknya ini memang yang terbaik. Sangat mengerti kondisi adiknya. Ia akan berterima kasih padanya setelah mendapat tidur yang cukup.

“Oh, well, kali ini kau kulepaskan. Tapi, lain kali kau melakukan hal seperti ini lagi, percayalah, akan kulaporkan masalah ini pada Dad dan Mom. Paham?”

Estelle mengangguk. Gadis itu kemudian berjalan melewati Adel. Namun, sebelum gadis itu sampai di tempat tidur, Adel mengendus-enduskan hidungnya. Ia seperti mencium ada yang aneh dengan bau tubuh Estelle.

“Tunggu dulu,” cegatnya.

“Apa lagi?” tanya Estelle jengkel seraya membalikkan tubuhnya. Estelle melemparkan tatapan sebal terbaiknya ke arah Adel.

“Kenapa tubuhmu bau anggur? Jangan bilang semalam kau minum?” Tatapan tajam kembali dilayangkan Adel pada Estelle.

Deg!

Estelle menelan ludahnya dengan susah payah. Aduh, kenapa sih Adel terlampau peka? Estelle mengerang kesal.

“Tidak…,” bantahnya cepat. “Hm, semalam ada seseorang tidak sengaja menumpahkan anggurnya di pakaianku. Kau tahulah, bagaimana orang-orang mabuk itu saat berpesta,” ceplos Estelle dengan polosnya.

“Kau….” Adel membelalakkan matanya. Kali ini pelototan membunuh dihunjamkan Adel ke adiknya. “Jangan katakan semalam kau ikut ke pesta itu?” Nada suara Adel terdengar menakutkan.

Mati aku!

Kembali Estelle berseru untuk kedua kalinya. Aduh, Estelle. Kau ini bodoh sekali sih?! Bodoh, bodoh, bodoh!

Estelle tidak menjawab dan membuat Adel semakin yakin adiknya itu ikut ke pesta semalam.

Adel menggeleng-gelengkan kepalanya. “Astaga, Estelle! Kau itu sadar tidak, sih? Kau belum cukup umur untuk ikut ke pesta yang begituan. Tuhanku, kau benar-benar….” Adel kehabisan kata-kata. “Aku kulaporkan pada Dad dan Mom,” ucapnya tegas.

Estelle sontak panik dan cepat-cepat menghampiri Adel. “Adel…, jangan. Kumohon, jangan bilang sama mereka. Aku cuma bertemu dengan Marc saja kok semalam. Sumpah, aku tidak berbuat macam-macam. Cuma itu saja,” rengek Estelle sambil meremas tangan Adel.

“Aku tidak menerima alasan apa pun!” tegas Adel keras kepala.

“Oh, ayolah, Adel. Please….” Estelle kembali memasang wajah memelasnya.

Adel memandang Estelle dengan pandangan menilai sejenak. “Soal terkunci di toilet itu… kau berbohong, ‘kan?” tanya Adel penuh selidik.

Estelle mengangguk pasrah.

“Lalu, ke mana saja kau semalaman, Estelle? Kau tidak menghabiskan seluruh malammu untuk pesta itu, ‘kan?” tanya Adel mulai frustrasi. Ada perasaan khawatir hinggap di hatinya. Estelle belum cukup dewasa dan Adel takut kalau terjadi apa-apa dengan adiknya.

Estelle kemudian terisak. Kekhawatiran Adel menjadi nyata. Tiba-tiba perasaan tak enak menggerubunginya. Firasatnya berkata telah terjadi sesuatu semalam. Ini pertanda tak baik.

“Cerita padaku. Apa yang terjadi?” desak Adel, menggucang pundak Estelle.

Bukannya menjawab, isak Estelle semakin keras. Adel jadi tidak tega untuk memaksa adiknya bercerita. Akhirnya dibiarkan Estelle menangis sampai puas.

Mata, hidung, dan pipi Estelle memerah. Estelle tidak berani menatap ke mata Adel. Kapalanya tertunduk.

Hening sejenak. Perlahan-lahan Estelle melepas sentuhan Adel di pundaknya. Sembari berkata lemah, Estelle berjalan melewati Adel menuju ranjangnya yang berukuran single.

“Aku lelah, Adel. Aku sangat lelah. Kumohon jangan hari ini. Please….”

Adel hanya menatap diam punggung adiknya. Walaupun merasa kasihan melihat wajah sembap dan pucat adiknya, Adel masih ingin tahu ke mana adiknya itu semalaman.

Kepada Estelle yang telah menyelimuti tubuhnya dengan selimut tebal dan tidur memunggungi Adel, Adel berkata, “Aku tidak akan mengatakan apa pun pada Dad dan Mom. Tapi aku akan tetap menuntut penjelasan darimu. Istirahatlah.”

“Terima kasih,” ucap Estelle dengan suara serak.

Matanya perlahan-lahan terpejam. Mungkin hari ini ia bisa bernapas lega. Walaupun hanya untuk sementara. Karena badai baru saja terbentuk. Tinggal menunggu waktu saja untuk meluluhlantakkan dunianya.

***

Race seri Phillip Island akan dimulai kurang dari satu jam lagi. Adel yang sedari tadi berkeliaran di pitbox Honda sudah bersiap-siap dengan pakaian dan payungnya yang serba oranye, warna khas pabrikan asal Jepang tersebut. Ia didaulat menjadi gadis payung untuk Dani Pedrosa.

Bukan tanpa alasan Adel dipilih. Gadis itu merupakan kekasih Dani. Jika sebelum-sebelumnya Dani sering dipayungi oleh pria daripada wanita, hal itu dikarenakan Dani tidak ingin membuat Adel cemburu.

Hampir dua tahun hubungan asmara mereka terjalin. Sama seperti kisah cinta ayah dan ibu Adel, Adel juga bertemu Dani di Phillip Island. Bedanya, Adel tidak seekstrim ibunya dengan menyodorkan perutnya untuk ditandatangani.

Tak seperti hubungan pebalap lain yang diekspos habis-habisan, hubungan Dani dan Adel tak terjangkau oleh media. Mereka sangat menutup rapat hubungan mereka. Oleh sebab itu, para penggemar dibuat gemas karena sangat sedikitnya pemberitaan mereka di internet.

Walau begitu, cap hubungan terpanas sempat mereka sandang. Mereka pasangan serasi. Dani yang memiliki wajah tampan khas spaniard dan Adel yang memiliki wajah cantik bak seorang model. Well, sebenarnya Adel memang seorang model. Namun, bukan tipe model yang gemar mengumbar tubuh seksinya.

Saat Adel hendak bersiap-siap turun ke sirkuit, Adriana mendatanginya dengan raut bingung.

“Adel, kau lihat Estelle, tidak?” tanya Adriana sembari mencari-cari. Ia pikir mungkin Estelle berada di sekitar sini.

“Tidak. Memangnya kenapa, Mom?” Adel bertanya balik.

“Ponsel Mom ada di tas dia. Hm, kira-kira dia ada di mana ya?”

“Hm, ya sudah. Biar Adel yang cari dia dulu,” kata Adel kemudian langsung pergi.

***

Estelle sedang duduk di bangku panjang yang terletak di luar sirkuit. Sengaja ia keluar karena tidak berminat menyaksikan balapan kali ini, walaupun ada ayahnya yang akan melakukan Lap of Honour bersama beberapa legenda MotoGP lainnya.

Perasaannya jadi kacau balau setelah kejadian tadi pagi, saat ia bertemu dengan Marc di lobi hotel.

Setelah melakukan hal terlarang semalam, Marc hanya memberinya tatapan dingin. Siapa coba yang tidak sakit hati dibegitukan?

Estelle akui semalam mereka melakukannya karena kebanyakan meneguk minuman beralkohol. Ia mabuk dan tidak sadar dengan apa yang ia lakukan bersama Marc. Tapi, apakah setelah kejadian itu dirinya pantas mendapat tatapan tak bersahabat dari laki-laki itu? Kalau begitu, menyesal sekali ia sudah tidur dengan Marc. Ia seperti gadis murahan yang mau saja diajak berhubungan intim oleh idolanya sendiri.

Terkutuklah kau, laki-laki jelek! Membusuk saja kau di neraka! Estelle menyumpah dalam hati.

Memang semuanya berawal dari pertemuan mereka di pesta semalam. Marc menawari Estelle segelas anggur. Tentu saja Estelle langsung terima. Siapa coba yang mampu menolak tawaran, walaupun itu segelas anggur, dari idola yang kau gilai mati-matian? Apalagi semalam Marc tampak begitu tampan dengan setelan jas hitam dipadu dengan kemeja hijau lumut. Orang gila sekalipun pasti terpesona melihat ketampanan bak malaikatnya.

Estelle yang sebenarnya tak bisa minum tak kuasa menolak. Tanpa sadar ia meminum beberapa gelas setiap kali Marc mengajaknya bersulang. Ia terlalu bahagia hingga lupa diri.

“Di sini terlalu ramai. Mau keluar bersamaku?” tanya Marc padanya pada saat ia mulai sedikit mabuk. Estelle mengangguk setuju.

Saat berjalan pun, gadis itu sedikit kelimpungan. Efek dari minuman itu mulai memengaruhi sistem sarafnya. Entah hanya khayalannya atau memang benar-benar terjadi, Estelle merasakan Marc menyentuh punggungnya, menarik pinggangnya, dan bibirnya menyentuh sesuatu yang hangat dan basah.

Estelle membalasnya dan itulah awal mulanya bagaimana malam panas mereka bisa terjadi.

“Di sini kau rupanya!” seru seseorang dari belakang, membuat Estelle tersentak. Estelle menoleh dan melihat Adel mengambil tempat di sebelahnya.

“Apa yang kau lakukan di sini? Mom cari tuh. Dia mau ambil ponselnya.” Tanpa persetujuan dari Estelle, Adel langsung meraih tas tangan Estelle dan membongkar isinya. Kakaknya itu memang selalu seenaknya dan berbuat sesuka jidatnya.

“Nah, ini dia,” seru Adel setelah menemukan ponsel Adriana. “Nih,” Adel menyodorkan tasnya kembali pada Estelle. Estelle menerima tanpa banyak bicara dan kembali terdiam.

Sadar ada yang tak beres pada adiknya, kening Adel berkerut. Ini tidak seperti biasanya. Estelle tidak mengomel saat ia membongkar isi tasnya. Biasanya Estelle pasti akan mengomel sepanjang jalan kenangan setiap Adel menyentuh barang-barangnya.

“Hei, kau tidak apa-apa, ‘kan?” tanya Adel agak khawatir.

Bukannya menjawab, Estelle malah memandang ke arah Adel cukup lama sebelumnya mengembuskan napas pelan dan bertanya, “Kau benar-benar tidak mengatakan apa-apa pada Dad dan Mom, ‘kan?”

Adel diam sejenak dan menatap lurus ke arah Estelle. “Sebenarnya aku ingin. Tapi, aku masih menunggu penjelasanmu. Aku yakin ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku.”

“Aku…,” Estelle memejamkan matanya, terlihat ragu. Raut penuh beban tercetak jelas di wajahnya. “Adel, kalau kita membuat sebuah kesalahan yang sangat besar, apa Tuhan masih mau memaafkan kita?”

Adel tahu ke mana pertanyaan ini akan mengarah. Ia akan menjawab sebijaksana mungkin dan tidak terdengar mendesak.

“Tergantung seperti apa kesalahan kita. Terkadang kita baru akan menyesali setelah melakukannya. Aku bukan Tuhan. Jadi aku tidak tahu sebesar apa dosa yang kau lakukan. Jujur sama aku, memangnya apa yang sudah kau lakukan semalam, hah? Kau tidak melakukan hal yang aneh-aneh, ‘kan?” Sorot pengertian tampak di kedua mata Adel. Estelle ingin menangis rasanya. Terkadang kakak perempuannya ini bisa sangat menyebalkan. Tapi tak jarang Adel juga bisa sangat mengerti dirinya.

“Aku tidak tahu.” Estelle menunduk dalam-dalam.

“Tidak tahu? Bagaimana bisa kau mengatakan—” Bunyi ponsel Adel memotong ucapannya.

“Halo,” jawab Adel.

“….”

“Iya, aku akan ke sana segera. Baiklah, tunggu sebentar, oke?”

Adel berdiri dan memasukkan ponselnya ke saku celana jeans hitamnya.

“Aku harus bersiap-siap sekarang. Race-nya akan dimulai sebentar lagi. Ayo pergi,” ajaknya.

Estelle menggelengkan kepalanya, membuat Adel terheran-heran.

“Kau tidak ingin menonton?”

Estelle lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Aneh! Biasanya saat nonton di rumah mereka, Estelle-lah yang paling semangat. Tapi, sekarang, saat ia dapat kesempatan menonton langsung di sirkuit, gadis itu malah menolak. Sepertinya adiknya tertimpa masalah besar sampai-sampai tontonan kesukaannya pun tak dihiraukannya lagi. Astaga.

“Terserah kau sajalah. Aku pergi dulu. Bye,” pamit Adel sembari mencium kedua pipi Estelle.

Estelle menatap punggung Adel yang perlahan-lahan tampak mengabur. Air matanya jatuh.

Aku tidak ingin melihat wajah laki-laki itu, batin Estelle.

***

Setengah jam berlalu. Estelle masih setia duduk di bangku panjang itu. Pandangannya melamun. Namun, hal itu tidak berlangsung lebih lama saat ponselnya berbunyi.

Estelle mengerutkan dahinya. Dari Adel?

“Halo?” jawabnya.

“Kabar buruk, Es!” seru Adel di seberang sana.

Kabar buruk?

Darah seolah menyurut dari wajah Estelle. “Memangnya ada apa?” tanyanya tiba-tiba merasa takut. Jantungnya tanpa diminta memompa dua kali lebih cepat.

“Marc didiskualifikasi!”

“Apa?! Kau… serius? Bagaimana bisa?” tanya Estelle histeris, setengah tidak percaya. Astaga, Marc. Padahal gelar juara dunia sudah di depan mata. Kenapa laki-laki itu bisa didiskualifikasi?

“Makanya kau kemarilah, Estelle.”

“Baik, baik. Aku ke sana sekarang.”

Estelle bergegas ke dalam sirkuit. Ia mengalungkan Paddock Pass-nya, kemudian berjalan menuju garasi Repsol Honda. Di sana Adel sudah menunggunya.

“Memangnya ada apa? Kenapa dia bisa kena diskualifikasi?” tanya Estelle dengan nada khawatir yang begitu kentara. Sebagai fans, tentu hal ini mengejutkannya. Seburuk apa pun Marc memperlakukannya tadi pagi, tetap saja berita ini menyakiti hatinya.

Sebelum Adel menjawab pertanyaan tersebut, mereka berdua coba mengitip ke garasi sebelah. Tampak di sana Marc sedang dikerubungi oleh beberapa petinggi Honda dan juga para mekaniknya. Walaupun tidak terlalu jelas, tapi Estelle bisa melihat raut wajah Marc yang benar-benar marah. Estelle belum pernah melihat raut itu sebelumnya.

Itu raut kemurkaan. Marc murka.

“Dia marah,” bisik Estelle lemah. Raut sedih terpancar di wajah Estelle.

“Sudahlah. Nanti dia juga baik lagi kok,” hibur Adel sembari menepuk-nepuk bahu Estelle.

Baik lagi? Kepadaku? Setelah tatapan dingin yang diarahkan kepadaku tadi pagi? Mungkin dia akan bersikap baik pada orang lain. Tapi tidak padaku.

Estelle meringis dalam hati. Hancur sudah semangatnya. Sekalipun ia putri seorang legenda MotoGP, namun hal itu tak lantas membuat pebalap-pebalap lain menyenanginya. Bukti paling konkrit adalah Marc. Laki-laki itu membencinya.

***

Estelle berjalan ke Paddock Café sendirian. Saat ia hendak mengambil piring dari konter, tiba-tiba saja tubuhnya ditubruk seseorang dari belakang.

Perasaan Estelle yang sudah kacau, ditambah harus mengalami kejadian semacam ini, membuat amarahnya memuncak. Ia sudah siap-siap akan mengomel kepada orang yang menubruk ketika ia melihat siapa si penubruk itu. Mulut gadis itu tiba-tiba terkunci.

“Kau?” Marc memandang Estelle tidak senang.

“Hai,” sapa Estelle takut-takut.

“Entah dosa apa yang pernah kubuat di masa lalu, setiap aku bertemu denganmu, selalu saja ada kesialan yang menimpaku,” tukas Marc dingin dengan pandangan menghina.

“Apa?” Hati Estelle seperti disetrika logam panas. “Kau menyebutku pembawa sial bagimu?” tanya Estelle tak terima.

Estelle berangnya bukan main. Enak saja laki-laki kurang ajar ini mengatainya pembawa sial. Kalau tak ingat di mana ia berada sekarang, piring yang dipegangnya mungkin sudah terbang ke muka laki-laki tak tahu diri itu.

“Tepat sekali. Kuharap untuk selamanya kita tidak akan pernah bertemu lagi,” ucap Marc, bernada tegas, dan langsung pergi meninggalkan Estelle.

Hati Estelle kembali sakit dibuatnya. Air matanya jatuh. Ia sungguh merasa terhina. Ia tidak menyangka, idolanya sendiri yang dikenal ramah dan selalu tersenyum pada orang lain bersikap seperti ini padanya.

“Lalu, apa kejadian semalam juga sebuah kesialan untukmu?” seru Estelle marah. Gadis itu tidak sadar seruannya mengundang perhatian beberapa orang di kafe tersebut.

Langkah Marc sontak terhenti. Cepat, laki-laki itu berjalan balik ke arah Estelle. Rahangnya mengeras. Tanpa ampun Marc memberinya tatapan jijik. “Jangan terlalu berharap pada sesuatu yang tidak pasti, gadis kecil. Apa yang sudah terjadi di antara kita hanyalah sebuah kecelakaan. Semuanya tidak berarti apa-apa untukku dan jangan pernah kau mengungkit-ungkit hal itu lagi.”

PLAK!

Sebuah tamparan keras mendarat mulus di pipi Marc. “Dasar bajingan sialan! Aku benci denganmu, aku benar-benar benci denganmu, Marc Márquez! Aku benar-benar menyesal pernah menjadi penggemarmu, bajingan!” teriak Estelle, meletakkan piring di atas konter, dan langsung berlari keluar.

Marc menyentuh pipinya yang terasa panas. Matanya menggelap.

“Menyesal pernah menjadi penggemarku? Justru akulah dua kali lebih menyesal kau hadir di dunia ini. Pelacur murahan! Cih!” cibir Marc penuh dengan kebencian.

To Be Continued… <

Published by

Rita

I love writing ^_^

17 thoughts on “She is Pregnant My Baby #1 (Modified Version)”

  1. waaahh akhirnya kamu nulis lagiii hihiihih, i’ve been ur silent reader..my bad hihihihi.. aku boleh minta password nya spring kah? could u sent it ro my email cuz twitter ku udh ga active lg,,, thanks dear.. critanya bagus,, aku sukiiii 😉

    Like

  2. aih keren ffnya 💝
    tapi kenapa Marc bisa benci banget sama Estelle,ga kebayang kalo jd Estelle perasaanya gimana. “one night stand” bya membuahkan hasil, gimana tanggapan Stoner nantinya?
    cant wait for the next chapter 😗😗

    Like

  3. wah!!!! penasaran sama next chap nya? ada kah?? bagus banget deh.. sungguh cerita sempurna. trus karakter marcnya langka banget jadi bad boy..

    Like

Leave a comment