Fanfiction : The One That Got Away #9

pageFF copy

Huahhhh… Akhirnya setelah sekian lama nih cerita terbungkus rapi di draft hp, sekarang bisa kumunculkan di blog. Makasih banget buat Kak Riza dan Mamaku Nata atas bantuannya. Tanpa kalian ini cerita gak bakalan nongol. πŸ˜€ Makasih yaaaa…. *kecup basah*

Well, kembali ke laptop! Menurutku part ini sedikit nyesek *menurutku lho*, tapi gak tau menurut kalian gimana. So, selamat membaca πŸ˜‰ Jangan lupa tinggalkan komen di bawah ya, atau boleh juga komen di Twitter maupun Facebook. Sekali kuingatkan, menulis itu tidak gampang lho. Kalo tidak percaya, yo wess, boleh dicoba. Oke deh, tanpa berlama-lama, selamat menikmati sajian cerita di bawah ini πŸ˜‰

Marc memarkir Audi yang dikendarainya di atas bukit tempat di mana sebuah Volvo telah terparkir duluan. Laki-laki itu turun dari mobil, melangkah mengikuti jalanan berbatu dan berhenti di ujung jalan. Matanya memandang lurus ke depan. Di bawah sana, tepatnya di sebuah rumah kecil dengan cerobong asap yang terbuat dari bata merah menjulang tinggi, tumpukan kayu cheddar di samping rumah dan sebuah bengkel tempat pembuatan tong yang terlihat kumuh. Gadis itu berada di sana, laki-laki itu membatin tidak rela. Lagi-lagi ia kalah dan kecolongan. Ia tidak tahu apa maksud di balik niat baik Scott. Ia merasa kebaikan Scott semu, tidak nyata. Ia memang tidak mengenal Scott, tidak sebaik ia mengenal Estelle. Rasanya mustahil sekali laki-laki itu bisa dekat dengan Estelle. Gadis sedingin kutub utara itu mampu dilelehkan Scott dalam beberapa hari belakangan. Ia yakin ada yang salah. Dari mana laki-laki itu mengenal Estelle? Scott tidak mengenal Estelle. Marc yakin itu. Laki-laki itu tidak tahu-menahu apa yang pernah dialami Estelle. Tapi bagaimana bisa Scott membawa Estelle ke tempat ini? Membawa gadis itu ke masa lalunya. Apa yang sebenarnya terjadi?

Pikiran Marc berkecambuk. Ada puluhan pertanyaan yang muncul di kepalanya dan ia tidak mampu menjawab satu per satu pertanyaan tersebut. Sialnya, ada satu pertanyaan yang membuat dadanya nyeri, apakah Estelle akan menganggap Scott sebagai sahabat masa kecilnya atau gadis itu telah menumbuhkan perasaan lain di hatinya?

Mendadak napas Marc tercekat di tenggoroknya. Rasanya ada beribu kerikil menyumbat saluran pernapasannya. Benarkah gadis itu mulai menyukai Scott? Marc tidak pernah melihat raut sebahagia itu sebelumnya dan gadis itu mulai menunjukkannya saat ia berada di dekat Scott.

Semilir angin menyapu rambut Marc. Laki-laki itu memejamkan mata, menarik napas dengan perasaan ngilu di dada, kemudian mengembuskannya dengan perlahan.

Bibi Adri, apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat agar Estelle dapat mengingatku dan melihatku sebagai sahabat masa kecilnya. Jarak yang tercipta di antara kami semakin jauh. Aku benar-benar minta maaf, Bibi. Aku sungguh minta maaf.

***

Malam mulai menjelang saat mobil itu berhenti di salah satu rumah mewah di perumahan Mosmen. Seorang gadis turun dari mobil tersebut, mengucapkan terima kasih kepada sang pengemudi dan tak lupa mengulas sebuah senyum sebelum mobil itu menghilang dari pandangannya.

Estelle masih berdiri diam. Tatapan matanya menyapu ke depan, memandangi sisa debu yang ditinggalkan mobil Scott. Kembali ia menyunggingkan senyum di bibirnya. Tanpa diminta, ingatannya berputar ke belakang, mengenang kebersamaan mereka. Saat di mana Scott pertama kali menyapanya yang disahuti ketus oleh dirinya, saat Scott mencoba menyentuh bibirnya yang berdarah yang kemudian ditepis kasar olehnya. Dan saat untuk pertama kalinya Scott memeluknya di klinik sekolah, saat itulah di mana Scott muncul sebagai sahabat masa kecilnya yang nyaris ia lupakan akibat kecelakaan yang merenggut ingatan masa lalunya. Scott, cowok itu selalu ada untuknya. Datang di saat ia butuh, meminjamkan bahunya saat ia menangis, dan selalu menghiburnya kala ia bersedih saat semua orang memandang jelek dirinya. Tapi Scott tidak. Justru cowok itulah yang membesarkan hatinya.

Terima kasih, Scott. Terima kasih telah menjadi sahabatku. Aku tidak tahu apa jadinya aku jika kau tidak berdiri di belakangku dan terus menyokongku ketika aku terjatuh ke titik terendah hidupku. Terima kasih.

Estelle mengembuskan napas, membalikkan tubuhnya, kemudian melangkah ringan melewati beranda rumah, dan saat hampir mencapai pintu, mendadak kakinya membeku di tempat. Dari sudut matanya, ia menangkap sebuah mobil terparkir di sebelah Mercedes Guardian milik Casey di garasi.

Estelle mengernyitkan keningnya. Alicia? Mau apa dia?

Kedua telapak tangan Estelle sontak mengepal membentuk tinju. Ia mendorong pintu rumah dengan kasar. Dengan mata setajam elang yang siap memburu mangsanya, Estelle menyapu ke seluruh penjuru rumah. Alisnya terangkat saat mendengar suara yang paling memuakkan itu. Ia langsung berjalan ke arah foyer. Dan benar saja, gadis sialan itu ada di sana, duduk manis dan mengobrol dengan Casey.

“Mau apa kau kemari? Belum cukup peringatan yang kuberi tempo hari lalu?” Estelle berkata cukup lantang. Terselip kemarahan di dalam suaranya.

Casey dan Alicia sama-sama menoleh. Objek yang mereka bicarakan tadi kini sudah berdiri di depan mereka.

“Kau pikir apa yang sedang kau lakukan, Estelle?” tegur Casey, tidak suka cara Estelle yang dianggapnya tidak sopan.

“Apa yang kulakukan?” Estelle mendengus. “Seharusnya pertanyaan itu kau lontarkan ke gadis sialan di sebelahmu. Apa yang dia lakukan di sini?!”

“Cukup, Estelle!” Casey berdiri dari posisi duduknya dan melemparkan tatapan tajam ke putrinya. “Tidak seharusnya kau menyebut sepupumu sendiri seperti itu. Saudara seperti apa kau?”

“Kau bilang apa? Saudara seperti apa diriku?” Estelle memutar kedua bola matanya dan menyeringai mengejek ke arah Casey. Ia mengangkat dagunya tinggi-tinggi, menunjukkan keangkuhan dan kekeraskepalaannya. Hal yang sontak membuat Casey berang. “Kau pikir dia siapa? Sepupuku? Maaf-maaf saja, Mr. Stoner. Dia memang keponakanmu, tapi dia bukan sepupuku. Aku tidak pernah memiliki sepupu semenjijikan seperti gadis sialan itu.”

“Tutup mulutmu! Berani sekali kau berkata seperti itu!” bentak Casey lebih keras. Kerongkongannya naik turun. Rahang pria itu mengeras dengan mata berkilat marah.

“Oh ya? Tentu aku berani berkata seperti itu setelah apa yang dia lakukan padaku di sekolah. Pernahkah kau mengetahuinya, Mr. Stoner Yang Terhomat? Kau tidak pernah tahu karena kau terlalu sibuk dengan istri barumu!”

“Estelle!” Casey sudah hilang kesabaran.

“Apa?!” Estelle balas membentak. “Memang benar kan kau tidak mengetahuinya? Apa kau tahu apa yang dia lakukan padaku? Sekalipun kau tahu, aku yakin kau juga tidak akan mau peduli.”

“Jangan pernah berkata seolah-olah kaulah yang menjadi korban, Estelle,” kecam Casey. “Kau pikir aku tidak tahu apa yang terjadi? Bukan Alicia, tapi kaulah yang menjadi biang masalahnya. Kaulah yang melakukan tindakan semena-mena terhadap Alicia. Membela diri sendiri dengan memutarbalikkan fakta. Cih! Tidak kusangka yang selama ini kubesarkan adalah gadis kurang ajar dan tidak berpendidikan. Begini cara kau memperlakukan keluargamu di sekolah? Di mana otakmu? Kau pikir kau sudah hebat memperlakukan sepupumu seperti itu? Mempermalukannya dan mengusirnya di kafetaria. Kau benar-benar keterlaluan, kau tahu!” hardik pria itu.

Hati Estelle tersayat-sayat mendengar ucapan ayahnya. Gadis kurang ajar dan tidak berpendidikan. Serendah itu Casey memandang dirinya. Hati siapa yang tidak sakit saat ayahnya sendiri mengatai putrinya seperti itu. Lalu, mempermalukan dan mengusir Alicia di kafetaria? Apa Casey tahu kejadian yang sebenarnya? Apa pria itu tahu alasan di balik mengapa ia melakukan hal itu pada Alicia? Apa yang telah gadis sialan itu katakan pada Casey?

Sementara di sebelah Casey, Alicia mengulum bibirnya. Sebelah alisnya terangkat, puas melihat pertengkaran ayah dan anak yang tersaji di hadapannya.

Dasar licik! geram Estelle dalam hati.

“Terima kasih telah mengataiku, Mr. Stoner. Serendah itulah aku di matamu. Kau boleh mengataiku, memakiku bahkan memukulku. Tidak masalah. Tapi satu hal yang harus kau ingat, ibuku akan melihat betapa hinanya dirimu.”

“Sekali lagi kau bicara, aku tidak akan segan-segan menamparmu, Estelle,” geram Casey, sangat marah.

“Tampar saja, Mr. Stoner. Tampar sesuka hatimu. Kalau perlu bunuh saja aku sekalian.” Suara Estelle bergetar. Air mata mulai menggenangi pelupuk matanya. Apa pun yang ia lakukan dan yang ia katakan, semuanya akan salah di mata Casey. Jadi untuk apa lagi ia membela dirinya. Toh, pria itu tidak akan peduli.

“Kau!” Casey maju dengan langkah penuh amarah sebelum kemudian Alicia menahan lengan pria itu.

“Cukup, Om!”

Estelle semakin pilu. Matanya memandang penuh kesakitan. Setetes air mata kemudian bergulir di pipinya, membentuk riak kecil.

Sebegitu mudahnyakah kau dipengaruhi oleh Alicia, Dad? Aku hanya ingin Dad percaya padaku. Aku memang melakukan hal itu pada Alicia. Tapi Dad tidak tahu betapa buruknya aku diperlakukan di sekolah. Semuanya gara-gara Alicia. Dia menyebarkan fitnah dan membuat namaku hancur. Dia sengaja melakukan itu, Dad, isak Estelle tanpa mampu menyuarakannya. Karena ia tahu akan percuma. Ayahnya tidak akan percaya padanya.

Dengan harga diri yang masih tersisa, Estelle menghapus kasar air matanya dan kembali mengangkat dagunya. Matanya memandang garang ke arah Alicia. Ia mengepal tinjunya lebih dalam lagi. Ia sungguh muak melihat tipu daya menjijikkan yang ada dalam diri Alicia.

“Akting yang bagus, Alicia,” katanya dingin. Estelle menatap Alicia dengan tatapan tak terbaca.

“Es… Estelle aku…,” Alicia gelagapan menjawab perkataan Estelle. Ia ngeri melihat tatapan mata Estelle yang dingin dan menusuk.

“Tutup mulutmu. Aku sama sekali tidak butuh omong kosongmu di sini,” Estelle berkata pelan, namun kata-katanya mematikan. Ia muak pada dua orang yang kini berada di hadapannya. Benar-benar muak.

“Dan kau, Mr. Stoner, sekali lagi kuucapkan terima kasih atas perkataanmu terhadapku. Kau membuatku kembali berpikir bagaimana dulu ibuku bisa memilihmu. Menyedihkan.” Suara Estelle kini lebih tenang namun benar-benar menohok bagi siapa pun yang mendengarnya. Tak ada emosi, tak ada nada tinggi yang beberapa menit lalu sempat terlontar dari bibir mungilnya, dan tak ada lagi nada bantahan yang keluar. Hanya ada ketenangan dengan berjuta rasa sakit dan lelah di dalamnya.

Estelle berbalik hendak menuju kamarnya ketika ia berpapasan dengan Marc di tangga. Ia membuang muka dan tak menghiraukan tatapan ‘pura-pura’ khawatir saudara tirinya. Begitulah yang Estelle lihat di kedua bola mata cokelat milik laki-laki itu.

“Estelle…,” lirih Marc.

Estelle tak menggubrisnya dan berlalu begitu saja menaiki satu per satu anak tangga hingga mencapai kamarnya. Ia membuka pintu itu, kemudian membantingnya keras.

Tubuhnya merosot ke lantai, punggungnya menempel ke pintu yang baru saja ditutupnya. Ia memeluk lututnya, membenamkan seluruh wajahnya di pangkuan. Kemudian isakan kecil terdengar.

Ia benar-benar benci saat-saat seperti ini. Ia benci saat harus terisak. Ia benci saat tak mampu bertahan.

Mom, kenapa kau tak mengajakku bersamamu ketika kau pergi? Aku sendirian di sini, Mom…. Aku sendirian. Aku takut….

To Be Continued…

Published by

Rita

I love writing ^_^

18 thoughts on “Fanfiction : The One That Got Away #9”

  1. Cih! Brengsek banget Alicia dan Scott. Akting yang bagus. Oh, aku lupa dimana Ibu Roser yang “katanya” peduli dengan Estelle? Duh, menyedihkan kau Casey Stoner!! *ceritanya kebawa emosi*

    Like

  2. Pengen ngegampar si Alicia *kesal* kasian si Estelle..oh Marc..ayolah, doing something! Kalo dibiarin lebih lama bisa gila si Estelle..hahaha..kelanjutannya ditunggu πŸ˜€ makasih udah tag πŸ˜€

    Like

  3. jadi sebenernya sahabat masa lalu Estele itu Marc, bukan Scott? Hmm, konflik Estelle-Casey dan Estelle-Marc udah parah banget, maki2 dan cambuk2 segala. aku berharap penyelesaian konfliknya nanti nggak “gampang” dan “maksa”. ditunggu next partnya, ya πŸ˜€

    Like

    1. Kata Marc acara penyuk-penyuk ntar2 aja. Si Estelle lagi garang. Tar malah digampar pula :p
      Btw, makasih ya, Kak atas bantuannya. Pokoknya aku padamuuuuuuuu deh

      Like

  4. Aliciaaaaaaaa… anjrit dah tu anak bikinnn emosi hhahahaha…. Estelle kasian banget yaampun, gabisa berkata apa-apa lagi nyesek sama Estelle kasian. lanjuttt yaaaa

    Like

  5. Ceritanya bagus Rit, top banget dah, walau lama banget ngepost nya tapi the best banget. Oh ya sih Alicia ngebelin banget udh tuh org tendang aja, terus Scott itu sebener nya jadi apa sih ? temen kecilnya Estelle ? atau apa ? *Kepo Rit, sih Marc lakukan sesuatu dong jangan diem aja hehe tapi keren ko, satu lagi sih Casey sumpah bukan contoh bokap yang baik. Makasih ya Rit udh di Tag.

    Like

    1. NOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO!!!!!!!!!!!!!!!!
      Iya, Casey bukan contoh bokap yang baik, tapi itu di dunia ff yaaaa
      Aslinya mah dia calon suami idaman dan sayang keluarga banget *pengen jadi Ally deh rasanya* Dia sosok pria idaman di mataku deh *eaaaaaaa*
      Iye, Alicia emang nyebelin *gampar Alicia*
      Scott siapa ya??? Kita tuggu di episode selanjutnya ya πŸ˜€
      Btw, thanks for reading ya πŸ˜‰

      Like

  6. Ebusyeett… >_< itu om Casey ma Alice pengen aku jadiin sate boleh gk??? *pergi ke dapur ngambil pisau lalu berubah jdi Chucky*…
    Sumveehhh… gk kebayang klo jdi Estelle, pasti nyesek bget :'(..
    AAYYOO MARCCCC!!!!!! LAKUKAN SESUATU!!!!!!!!!
    KYAAAAA!!!! *kebawa emosi*
    okeh nextnya jgan lma2 ya??? πŸ˜‰

    Like

  7. part ini bener bener bikin darah aku me didih yaaa..
    apalagi bagian akhir akhirnya.. sikapnya casey sama alicia. duhh pengen gampar si alicia dan pengen nendang casey.. huuaaa
    marc juga diam aja. huft

    Like

Leave a comment