Fanfiction : The One That Got Away #8

pageFF copy

Happy reading 😉

Ia tidak pernah meminta dilahirkan di keluarga berada, hidup bergelimangan harta dan serba bercukupan. Tidak pernah. Tapi yang ia minta hanyalah kasih sayang dari orangtuanya, tidak peduli ia akan hidup sebagai pengemis ataupun gelandangan di tepi jalan. Ia ingin merasakan apa arti keluarga sesungguhnya, yang bisa memberinya cinta dan kebahagiaan. Ia tidak meminta lebih, selain sebuah keluarga bahagia yang selalu ia dambakan.

Estelle membuka lembaran cerita Putri Duyung Kecil karya Hans Christian Andersen di tangannya. Tak terhitung sudah berapa kali ia membaca kisah ini setiap kali ia merasa sedih dan terluka. Ia sering menyamakan dirinya dengan si putri duyung kecil. Sama-sama berasal dari keluarga terpandang, sang putri duyung kecil merupakan anak bungsu dari raja laut, sementara dirinya merupakan putri tunggal dari seorang pebisnis sukses. Mereka tidak memiliki ibu. Bedanya, sang putri memiliki ayah yang sangat menyayanginya, saudari-saudari yang siap menghiburnya kala ia sedih dan nenek yang sangat bijak yang juga menyayanginya.

Terkadang Estelle iri dengan hidup sang putri. Kenapa persamaan yang satu ini tidak berpihak kepadanya?

Satu hal yang membuat sang putri duyung tidak beruntung adalah ketika ia mulai menemukan alasan untuk hidup bahagia, hingga rela mengorbankan suara indahnya demi dapat hidup dengan seorang pangeran yang ia selamatkan di samudera lepas.

Berbeda dengan Estelle, yang entah merasa dirinya beruntung atau buntung, bahkan hingga sekarang tidak tahu apa yang menjadi alasannya untuk tetap hidup. Mencari kebahagiaan? Entahlah. Ia sendiri tidak tahu. Ia mulai merasa lelah. Hidup tanpa tujuan, tersesat di persimpangan jalan dan tidak tahu harus melangkah ke mana. Ia ingin berhenti dan beristirahat. Sudah cukup ia memaksa kakinya untuk melangkah jauh walau pada akhirnya ia tidak tahu mau ke mana. Pergi tanpa tahu tempat yang hendak dituju bukanlah sesuatu yang menyenangkan.

Ketika sang putri tahu bahwa pangeran yang diselamatkannya akan menikahi seorang gadis yang dianggap telah menyelamatkannya, sang putri kecewa dan patah hati. Semua yang ia korbankan demi mendapatkan sepasang kaki agar bisa bersanding dengan pangeran pun sirna begitu saja. Pengorbanannya sia-sia. Terlebih, setelah meneguk ramuan dari sang penyihir, sang putri tidak akan bisa kembali menjadi seekor duyung, kecuali sang putri membunuh pangeran dengan sebilah pisau. Sang putri tidak mampu melakukannya.

Putus asa, akhirnya sang putri membenamkan dirinya ke dalam laut dan berubah menjadi buih, lalu menghilang tanpa seorang pun yang tahu di mana keberadaannya.

Estelle ingin seperti si putri duyung. Saat ia sudah tidak tahan dengan hidupnya, ia ingin menenggelamkan dirinya ke dalam laut, berharap tidak muncul lagi ke permukaan. Berubah menjadi buih dan selesai begitu saja. Tanpa harus memikirkan hari-hari buruk yang akan ia hadapi di masa depan.

Seandainya pelarian seperti itu ada. Seandainya laut berada di dekatnya. Ia ingin mengakhiri penderitaannya. Tidak lagi merasa sakit, lelah dan terluka.

Saat matahari mencapai puncaknya di tengah hari, Estelle belum beranjak dari tempat tidurnya, masih bergelung diam sembari ditemani buku cerita favoritnya. Matanya masih terlihat sembap setelah menangis semalaman. Rasa nyeri akibat cambukan Marc masih terasa di bokongnya. Saat berganti pakaian semalam, ia melihat luka memar besar membekas di bokongnya. Sembari menahan sakit, ia mengobati luka itu dengan salep anti radang. Hasilnya lumayan walau rasa nyerinya tidak sepenuhnya hilang.

Ponselnya berbunyi di samping tempat tidur. Estelle meraih benda pipih itu, menatap layarnya sekilas, lalu menempelkan ke telinganya.

“Halo,” jawabnya.

“Apa kau baik-baik saja?” tanya si penelepon dengan nada khawatir.

“Ya. Aku baik. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku.” Estelle tersenyum kecil.

“Bisakah kita bertemu? Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”

“Ke mana?”

“Tempat rahasia kita.”

“Aku tidak tahu kita punya tempat rahasia,” ungkap Estelle, coba mengingat-ingat tempat rahasia yang disebut Scott.

“Aku akan membawamu ke sana. Kau mau?”

“Baiklah. Jemput aku 1 jam lagi. Dan jangan lupa bawakan aku makanan.”

“Pasti. Sampai bertemu.”

Estelle meletakkan ponsel di tempat ia mengambilnya tadi. Ia menyingkap selimutnya dan bangkit dari tempat tidur. Baru selangkah ia berjalan, ia meringis pelan. Rasa nyeri itu kembali menyerang bokongnya.

Kau kuat, Estelle. Kau kuat. Ini hanya luka kecil. Bersiap-siaplah sekarang. Scott akan datang.

***

Satu jam kemudian, Estelle sudah bersiap-siap. Mengenakan gaun terusan biru, tas kecil yang talinya disampirkan ke bahu kirinya dan sebuah kacamata yang bertengger indah di atas hidung mancungnya. Rambutnya dibiarkan tergerai. Sebuah jepitan kecil berbentuk hati menahan poninya di atas.

Ia menuruni tangga dan berjalan ke luar rumah. Roser yang menyapanya tidak ia hiraukan. Terlalu malas menanggapi sapaan tak penting dari ibu tirinya.

Scott datang tepat saat Estelle menutup pintu depan rumahnya. Cowok itu turun dari Volvo miliknya, menghampiri Estelle dan tersenyum lebar pada gadis itu.

“Kau terlihat mengagumkan,” puji Scott.

“Biasa saja,” balas gadis itu singkat, tanpa ekspresi.

“Siap pergi?” Scott menyeringai.

Estelle tidak menjawab. Ia berjalan melewati Scott dan membuka pintu mobil cowok itu.

“Lain kali jangan pernah kau menanyakan hal-hal konyol padaku,” ujarnya ketus sebelum masuk ke dalam mobil dan membanting pintunya dari dalam.

“Well, akan kuingat itu.” Scott mengangkat bahu, kemudian ikut masuk ke dalam mobil.

Saat mobil Scott meninggalkan rumah mewah tersebut, diam-diam sepasang mata elang mengawasi kepergian mereka dengan perasaan tak senang.

***

“Kita akan ke mana?” tanya Estelle saat Scott membelokkan mobilnya ke sebuah jalan kecil yang bagian kiri dan kanannya terhampar padang rumput. Estelle tidak ingat ia pernah datang ke tempat ini sebelumnya. Sangat asing dan terpinggirkan. Hanya terhampar rerumputan dan pepohonan besar yang rindang. Ia bahkan tidak tahu ada tempat seperti ini di Sydney.

Estelle menurunkan kaca jendela mobil. Angin musim semi langsung menerpa wajahnya. Bau tanah basah tercium di udara. Hamparan bunga hyacinth mulai menampakkan diri mereka saat Scott membawanya lebih masuk ke dalam padang itu.

Dari kejauhan, tampak beberapa orang sedang mengangkat gulungan jerami yang dijemur dan membawanya ke sebuah gudang penyimpanan. Sementara di sisi lain, tampak seorang pria paruh baya dengan topi koboinya menggembalakan domba-domba yang berlarian ke sana kemari. Sangat khas aroma pedesaan.

Aroma di udara kembali berubah. Kali ini Estelle mencium aroma manis dari blueberry dan bau harum dari kayu cheddar.

Sesuatu bergejolak dalam benak Estelle. Ia mengenal bau ini. Bau yang mengingatkannya akan sebuah rumah tua di pedesaan, kue jahe dan susu domba segar. Sangat familier. Satu kata terbentuk dalam benaknya; pulang.

“Scott….” Estelle tampak ragu-ragu.

Scott menghentikan mobilnya di sebuah pondok kecil yang berada di atas bukit bernaungkan pepohonan walnut.

“Ya?” respons cowok itu.

“Ki… kita ada di mana?” tanya Estelle terbata-bata.

“Rumah.”

Jawaban Scott yang singkat membuat kepala Estelle terasa berputar. Entah mengapa ia merasa dingin menjalari tulang belakangnya. Ada rasa sakit yang tidak ia mengerti. Dan ia benci merasa seperti ini.

“Aku tidak mengerti.” Estelle menatap jari-jari di atas pangkuannya.

“Aku akan membawamu kembali, Estelle.” Scott menyentuh rambut Estelle dan mengacaknya pelan. Kemudian, tangannya menarik turun kacamata cokelat yang dipakai gadis itu. “Aku akan menyembuhkan lukamu.”

Hati Estelle bergetar mendengar Scott berkata seperti itu. Seolah apa yang Scott katakan adalah obat penawar sakit yang coba diberikan cowok itu padanya. Dan ia sungguh membutuhkan obat itu. Hatinya terlalu sakit dan Scott siap membantunya menyembuhkan luka batin yang dideritanya.

“Dengan cara apa?” tanya Estelle lirih.

Scott mengusap halus pipi Estelle. Matanya menatap dalam mata gadis itu. “Membuka lembar masa lalumu.”

“Tidak!” Estelle langsung menyentak kasar tangan Scott.

“Kau harus, Estelle.” Scott kembali coba menyentuh pipi Estelle. Namun, lagi-lagi Estelle menyentaknya. “Itulah satu-satu caranya agar kau bisa berdamai dengan hidupmu. Kau butuh seseorang yang dapat mengembalikanmu ke masa lalu, ke masa di mana kau banyak dilukai. Aku akan membawamu kembali, menyembuhkan lukamu dan membuatmu bahagia. Izinkan aku menjadi orang itu. Bolehkah, hm?” tanya Scott, masih dengan kelembutan luar biasa.

“Aku tidak butuh siapa pun, Scott. Waktu tidak bisa diputar ulang. Tak seorang pun yang bisa membuatku memaafkan mereka, terutama bajingan sialan yang membawa satu bajingan lagi dan wanita jalang itu ke rumahku! Aku tidak akan memaafkan mereka sampai mati!” tegas Estelle penuh emosi. Amarahnya mencapai titik maksimal. “Aku ingin pulang,” desisnya.

“Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu marah.” Scott berkata dengan nada bersalah.

“Aku ingin pulang,” ulang Estelle sekali lagi.

“Estelle.”

“Baik. Aku bisa pulang sendiri!” tandasnya.

Estelle membuka pintu mobil dan membantingnya dengan keras. Tidak peduli panggilan Scott dari dalam. Amarah membuat kakinya melangkah lebih cepat dari biasanya, hampir setengah berlari.

Kakinya tenggelam saat menapaki rerumputan yang tumbuh tak beraturan. Beberapa kali kakinya tertusuk bagian rumput yang menyerupai jarum, tidak acuh pada rasa sakitnya. Ia terlalu marah untuk sekadar berhenti dan memeriksa kakinya.

“Estelle, tunggu!” teriak Scott dari belakang.

Estelle tetap berjalan, tidak menggubris panggilan Scott. Tak sampai tiga detik kemudian, tubuh gadis itu ditarik dari belakang dan lengan itu langsung membungkusnya. Estelle memberontak. Namun, kukungan lengan Scott terlalu kuat untuk disentak Estelle.

Pemberontakan Estelle berhenti. Gadis itu terisak di dada Scott. Cukup lama hingga ketika Scott merasakan tubuh Estelle melemas. Scott melepas pelukannya dan memandang ke dalam mata gadis itu.

“Merasa lebih baik?”

Estelle mengangguk pelan.

“Kita pulang sekarang.” Scott mengusap wajah Estelle.

“Tapi kau belum menunjukkan tempat rahasia yang kau bilang itu,” ucap Estelle polos, mendadak lupa pada keinginannya untuk pulang ke rumah.

Scott tersenyum menggoda. “Bukankah tadi kau ingin pulang?”

“Tidak jadi. Aku ingin tahu tempat rahasia itu. Ayo tunjukkan padaku,” tuntut Estelle dengan nada memerintah.

“Baiklah, Tuan Putri. Pangeran akan menunjukkan tempat itu pada Tuan Putri,” kata Scott dengan nada bercanda.

Estelle memutar bola matanya. Mendadak merasa jijik. “Yang benar saja.”

***

Tempat rahasia yang ingin ditunjukkan adalah sebuah rumah tua tempat pembuatan tong tradisional untuk menyimpan mentega yang berada di bawah bukit. Di bawah bukit itu masih terdapat beberapa rumah tua. Sebagian telah mengosongkan rumah-rumah tersebut dan pindah ke kota. Sebagian lagi tetap setia pada rumah tua mereka.

“Kau ingat Mr. Miller?” tanya Scott saat mereka menuruni bukit menuju rumah tua tempat pembuatan tong.

“Entahlah. Sepertinya aku pernah mendengar namanya,” jawab Estelle, fokus pada jalannya saat melewati jalanan berbatu menurun.

“Di mana kau pernah mendengarnya?” Scott memegangi lengan Estelle saat melewati jalan berlubang besar.

“Aku tidak terlalu tahu pasti di mana aku mendengarnya. Tapi kalau kau bertanya kapan aku mendengar, well, aku akan menjawab, baru saja mendengarnya dari mulutmu,” jawab gadis itu menyeringai jail pada Scott.

Scott hanya membalas diam seringaian Estelle, kemudian mendengus pelan dan kembali membantu gadis itu melewati jalanan berlubang lagi.

“Kurasa pemerintah harus merenovasi jalanan menuruni bukit ini. Sangat berbahaya, kau tahu? Berlubang dan banyak bebatuan. Selain itu juga menghambat arus perekonomian penduduk di bawah bukit sana,” komentar Estelle, tidak menyadari perubahan mimik wajah Scott.

Scott tertawa terbahak-bahak. Estelle lantas menghentikan langkahnya dan memandang bingung ke arah Scott. Memangnya ada yang lucu ya?

“Apa yang kau tertawakan?”

“Kau. Apa lagi,” jawab Scott masih tertawa.

Estelle mengernyit. “Apa aku baru saja membuat lelucon?”

Scott memegangi perutnya yang terasa sedikit nyeri karena kebanyakan tertawa. “Pemerintah. Jalanan berbahaya. Penduduk. Arus perekonomian. Well, itu hal positif sebenarnya. Tapi kau sungguh lucu.” Scott masih belum bisa berhenti tertawa.

Estelle melototkan matanya pada Scott. “Ih, kau menyebalkan banget sih! Cih!” Gadis itu mengerucutkan bibirnya. Tangannya bersedekap di dada.

“Bercanda. Sungguh. Jangan dipikirkan. Ayo, kita jalan lagi,” ungkap Scott berusaha untuk tidak tertawa lagi. Walau pada akhirnya cowok itu masih sesekali tergelak pelan yang dibalas cubitan keras dari Estelle.

Mereka sampai di rumah tua milik Mr. Miller, si pemilik usaha pembuat tong. Rambut pria tua itu sudah memutih dimakan usia. Beberapa keriput tampak di wajahnya.

“Mr. Miller, apa kabar?” sapa Scott ramah pada pria tua itu.

Mr. Miller yang sedang mengukur kayu mendongak, sedikit menaikkan kacamatanya dan menatap Scott dengan saksama. “Apakah kau Scott Redding?” tanyanya.

“Ya, Mr. Miller. Ini Scott Redding.” Scott tersenyum tulus.

Senyum semringah terpancar di wajah tua Mr. Miller. “Oh, Yang Kudus. Senang bertemu denganmu, Nak. Sudah lama kau tidak bermain kemari. Dan ini… biar kutebak pasti kekasihmu, bukan?” Mr. Miller tertawa pelan. Matanya menghilang ditelan keriput.

Pipi Estelle memerah. Scott yang berdiri di samping Estelle ikut tertawa pelan.

“Bukan, Mr. Miller. Dia bukan kekasihku.”

Mr. Miller berhenti tertawa. Kembali ia menaikkan kacamatanya dan kali ini giliran Estelle yang ditatapnya secara saksama. “Kupikir dia kekasihmu. Betapa beruntungnya jika kau memiliki kekasih secantik dirinya.”

Estelle semakin menundukkan kepalanya. Malu.

Scott tersenyum sopan. Ia memandang ke arah Estelle. “Kau benar, Mr. Miller. Betapa beruntungnya jika aku memiliki kekasih secantik Estelle.”

Mendadak tubuh Mr. Miller menegang. Raut wajahnya berubah. “Tunggu.” Pria itu mengernyitkan kening dalam. “Kau bilang siapa tadi? Estelle? Estelle siapa?”

Estelle mengangkat wajahnya, merasa heran mendengar perubahaan suara Mr. Miller.

“Inilah cucu kesayanganmu, Mr. Miller. Estellina-mu.”

“Oh, Tuhan.” Mr. Miller menutup mulutnya, syok. Raut terkejut begitu kental di wajahnya. “Oh, Tuhanku. Benarkah…. Oh, Yang Kudus. Inikah Clarita kecilku? Clarita cucuku? Oh, Tuhan. Betapa cantiknya kau.” Suara Mr. Miller bergetar.

Estelle semakin bingung. Ia memandang Scott, meminta penjelasan. Siapa kakek itu dan kenapa kakek itu memanggilnya dengan sebutan Clarita? Demi Tuhan, tidak ada yang pernah memanggilnya dengan sebutan itu kecuali….

“Cucuku.” Mr. Miller melangkah maju dan membuka kedua tangannya. “Bolehkah aku memelukmu? Clarita kecilku.”

“Scott,” panggil Estelle, tiba-tiba merasa ketakutan. Refleks ia melangkah mundur.

“Sayang, jangan takut. Ini kakek. Dulu saat kau kecil, ibumu sering membawamu kemari. Jangan takut, Clarita.” Mr. Miller coba menenangkan Estelle. “Kemarilah. Kakek tidak akan menyakitimu. Sayang, ayo.”

“Estelle.” Scott mengangguk, meyakinkan gadis itu semuanya akan baik-baik saja.

Ragu-ragu, Estelle melangkah maju. Matanya tetap waspada mengawasi Mr. Miller.

“Kemarilah, Sayang. Jangan takut. Kakek hanya rindu padamu. Ayo, kemarilah.” Mr. Miller kembali membuka kedua tangannya.

“Aku tidak mengenalmu,” ucap Estelle bergetar.

“Kakek mengerti, Sayang. Kecelakaan yang menimpamu meninggalkan trauma berat di kepalamu. Kakek memahamimu. Clarita, cucuku,” ungkap Mr. Miller.

Scott membawa Estelle mendekat. “Tidak apa-apa, Estelle. Mr. Miller hanya ingin memelukmu.”

Estelle menatap Scott, meminta pertolongan. Namun, dibalas oleh cowok itu dengan anggukan pelan.

“Izinkan kakek memelukmu, Sayang.”

Akhirnya, tubuh renta itu mendapatkan apa yang ia inginkan. Perasaan bahagia tak mampu diungkap Mr. Miller saat Estelle balas memeluknya. Walaupun memeluknya dengan perasaan canggung, Mr. Miller mengerti Estelle. Kecelakan 5 tahun silam itu tidak akan dilupakan oleh siapa pun. Kecelakaan yang hampir membuat Clarita kecilnya terbunuh.

“Kakek rindu sekali padamu, Nak,” gumam pria tua sembari menepuk-nepuk lembut bahu Estelle.

Tidak tahan dipeluk lama-lama, Estelle menarik diri dengan sopan, hal yang sangat sulit dilakukannya mengingat jika yang memeluknya adalah pria tua dengan tubuh renta.

Estelle berjalan mundur dan berhenti saat tubuhnya bertabrakan dengan tubuh Scott. Hampir terjatuh jika Scott tidak menangkap tubuhnya.

“Tinggallah dan makan malam bersama kakek,” ajak Mr. Miller dengan penuh pengharapan.

Scott menatap Estelle sejenak sebelum menjawab, “Maaf, Mr. Miller. Kurasa kami tidak bisa tinggal. Estelle sedang tidak enak badan. Aku harus mengantarnya pulang sebelum menjelang malam.”

Raut kecewa terukir jelas di wajah Mr. Miller. Tapi ia tidak mau memaksakan kehendak. Setidaknya ia sudah bertemu dengan Clarita kecilnya.

“Baiklah. Kakek mengerti. Kapan-kapan mainlah ke rumah tua kakek. Dan kau Clarita, maafkan kakek membuatmu merasa tidak nyaman.” Mr. Miller mengembang seulas senyum.

Estelle tidak membalas.

“Kami pulang dulu, Mr. Miller. Sampai bertemu lagi dan kuharap kau selalu sehat dan kuat.” Scott maju dan memeluk tubuh Mr. Miller.

“Kau juga, Scott. Jaga Clarita kecilku. Aku tidak akan memaafkanmu sampai kau melukainya.” Mr. Miller menepuk keras pundak Scott, memeringati cowok itu.

“Tidak akan, Mr. Miller. Aku akan menjaganya,” janji Scott.

Saat Scott dan Estelle akan melewati ambang pintu, seruan Mr. Miller menghentikan mereka. “Tunggu.”

Scott dan Estelle menoleh. Mr. Miller menghilang sebentar sebelum kembali muncul dengan sebuah kotak beludru biru panjang di tangan keriputnya.

Mr. Miller mendekati mereka. “Ini,” ucapnya seraya menyodorkan kotak itu pada Estelle. “Simpanlah. Ini milik ibumu, Clarie. Adri menitipkan padaku seminggu sebelum hari kematiannya. Dia ingin kakek memberikan ini padamu. Terimalah.”

Mata Estelle terpaku pada kotak beludru itu. Ia menerima kotak itu dengan hati-hati, takut ia akan menjatuhkan barang milik ibunya. Walaupun ia tidak tahu hubungan apa yang dimiliki ibunya dengan pria tua ini, ia menaruh rasa hormat pada Mr. Miller karena telah menjaga barang berharga milik ibunya.

“Terima kasih…,” ucap Estelle, terdengar ragu-ragu, namun ia melanjutkan, “kakek.”

Mr. Miller tak kuasa menahan air matanya, terisak pelan. “Sama-sama, Clarie.”

Estelle tersenyum. “Kakek.”

“Bolehkah kakek memelukmu sekali lagi, Sayang?” Mr. Miller tampak sangat berharap.

Estelle langsung menghamburkan dirinya ke dalam pelukan Mr. Miller. Gadis itu terisak pelan. Ada perasaan bahagia yang menyusup ke dalam batinnya. Walaupun ia tidak mengenal pria tua ini, tapi jauh di lubuk hatinya tersimpan perasaan yang tak ia mengerti. Kerinduan akan pelukan hangat. Dan Estelle mendapatkannya di sini, di rumah tua kecil ini.

To Be Continued…

Setelah sekian lama gak post, semoga kalian tetap suka ya sama cerita ini. Aku gak bisa janjiin post next part-nya dalam waktu dekat. Belum bisa berdamai sama jadwal kuliah yang padatnya amit-amit. Rencana awal memang mau hiatus dari dunia per-ff-an. Cuma kok kayaknya gak afdal banget. Sehari gak nulis rasanya hidup ini kurang lengkap *bohong*

Well, semoga puas ya sama cerita ini. Walaupun banyak kekurangan dan masih ada typo, aku mau ngucapin terima kasih udah mampir dan baca semua ff-ku. Dan seperti biasa, jangan lupa tinggalkan komentar ya. Boleh komen di kolom blog, Twitter maupun Facebook, baik itu berisi saran maupun kritikan 😉 Karena komentar kalian jadi mood booster buat aku kala daku galau sama tugas dari pak dosen. Thank you 😉

Published by

Rita

I love writing ^_^

7 thoughts on “Fanfiction : The One That Got Away #8”

  1. Kak, suka banget sama ceritanya. The best banget dah kakak yang satu ini, oh ya kak mau nanya dong, berarti sih Redding itu teman kecil Estelle ? nah entar Marc nya jadi apa kak ? *Kepo banget nih kak :p cepet di lanjutin ya kak.

    Like

  2. mr miller itu siapanya estelle?? kakek kandungnya??
    ini yg bikin aku penasaran banget.. sebenernya scott itu siapa siih???

    Like

    1. Hihihihi…. penasaran ya? Sama. Aku juga :p *author stress* Tapi ciyusss lho. Ide buat ngelanjutin ff stuck di tempat. Jadi belum dapet pencerahan mereka itu siapa. *nah lho?*

      Like

Leave a comment