ONESHOT : One Kiss Is Never Enough

Cast :

Marc Márquez Alenta

Pearce Garcia Nieves

Siap-siap mual ya baca ff ini. Rada najong soalnya. Buat yang mau tanya-tanya silakan ke Twitter-ku @MissTata_Real 🙂 Happy reading 😉

Pearce mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba menyesuaikan matanya dengan cahaya ruangan. Pusing masih mendera kepalanya. Langit-langit seolah berputar di atasnya. Ia kembali memejamkan matanya, berharap rasa pusing itu dapat menghilang perlahan-lahan.

“Kau sudah sadar?”

Sebuah suara mengagetkan Pearce. Ia menoleh ke samping dan menemukan seorang pria dengan kaus hijau pudar pas badan yang dipadu dengan celana jeans biru pupus berjalan mendekatinya. Pandangan Pearce menyapu dari bawah, kemudian naik dan matanya lantas menyipit saat melihat wajah pria itu. Lekuk tulang pipi yang tinggi, hidung mancung dan sepasang mata elangnya yang tajam, walaupun pria itu tidak mengarahkan tatapan tajamnya pada Pearce.

Dan wajah itu tampak familier.

Pria itu kini berdiri di hadapan Pearce. Tidak tersenyum dan tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Hanya menatap Pearce dalam diam. Dengan sepasang mata cokelatnya yang dibingkai alis tebal membuat pria itu tampak memesona. Mendadak Pearce terkesiap dan ia merasa udara menipis di sekitarnya.

Tidak mungkin itu dia, pikir Pearce panik.

“Kau baik-baik saja?” tanya pria itu dengan nada rendah.

Tidak salah lagi. Tapi bagaimana mungkin? batin Pearce.

“Pearce?”

Pearce tersentak dari lamunannya saat namanya diucapkan begitu pas di bibir pria itu.

“Aku pusing,” lirih Pearce, memejamkan matanya lagi.

Pearce merasa tempat di sebelahnya bergerak dan benar saja ketika ia kembali membuka matanya, wajah Marc berada di depannya. Sangat dekat. Napas Pearce tercekat.

Pria itu tersenyum tipis. Matanya menghangat. “Tentu kau merasa pusing. Terjatuh dari tangga dengan posisi yang tidak enak dilihat. Untung saja kau tidak mengalami cedera yang berarti. Aku sangat khawatir, kau tahu?”

Pearce ingat semalam ia menghadiri pesta ulang tahun Adel, sahabatnya, yang dirayakan di sebuah vila mewah milik gadis itu. Samar-samar dalam ingatan Pearce, saat ia hendak menuruni tangga dari lantai dua, ia tidak sengaja menginjak ekor gaun yang dipinjamkan Adel untuknya dan semuanya terjadi begitu saja.

Ugh! Dasar pengacau, Pearce merutuki dirinya sendiri.

Pearce memalingkan wajahnya ke jendela besar yang pada kedua sisinya tergantung gorden merah marun, mengarah ke balkon depan yang dipenuhi berbagai tanaman hijau. Mendadak ia seolah tersadar akan sesuatu. Mata Pearce terbelalak. Ini bukan kamarnya. Terlalu besar dan… Pearce kembali memandang ke sekeliling ruangan ini, tempat ini terlalu maskulin. Pearce lantas menghadap Marc.

“Di mana aku?” tanyanya panik.

“Di vilaku.” Pria itu mengangkat kedua alisnya, tampak santai. “Aku tidak tahu hotelmu di mana dan kau juga tidak membawa ponselmu. Jadi kubawa kau kemari,” kata Marc setengah berdusta. Memang benar jika Pearce tidak membawa ponsel. Tetapi, untuk masalah hotel, sebenarnya Marc tahu di mana gadis itu menginap. Hanya saja ia bersikeras ingin membawa Pearce ke vilanya setelah berdebat cukup alot dengan Adel.

“Setidaknya kau bisa membiarkan Adel merawatku,” sergah Pearce kesal. Gadis itu berusaha bangkit dari tempat tidur dan menyentak tangan Marc yang hendak memeganginya. Saat kakinya menginjak lantai kayu, mendadak tubuhnya oleng dan ia kembali diterjang sakit kepala yang teramat sangat.

Marc menangkap tubuh Pearce dan membaringkan tubuh gadis itu di atas tempat tidur. “Kau tidak boleh banyak bergerak, Pearce.”

“Aku mau pulang,” gumam Pearce memperlihatkan ekspresi cemberut.

“Aku akan mengantarmu segera setelah kau merasa lebih baik. Aku janji. Istirahatlah dulu,” ujar pria itu sambil menarik selimut yang tersingkap di bawah kaki Pearce dan menyelimuti tubuh mungilnya. Marc mengusap rambut cokelat kemerahan milik Pearce dan menatap intens pada gadis itu.

Diam-diam Pearce menelan ludah ditatap seperti itu. Ia tahu Marc tidak akan membiarkannya pergi begitu saja. Ia berhutang pada pria itu. Dan… Marc menunggu. Alasan dirinya menghilang. Marc mengharapkan penjelasan darinya.

***

Pearce membenarkan letak syal—milik Marc yang dipinjamkan pria itu untuknya—yang terikat longgar di lehernya. Ini ketiga kalinya ia melakukan hal yang sama dalam kurun waktu setengah jam. Ia terlalu gugup dan tidak tahu harus memulai dengan kata apa.

Setelah tidur hampir setengah hari, Pearce merasa lebih baik. Setidaknya pusing yang sempat menderanya sudah hilang. Tubuhnya ia sandarkan pada tembok pembatas yang berdiri kokoh di atas rooftop vila setinggi perutnya, terbuat dari bebatuan yang disusun secara artistik, menampilkan kesan semi modern. Pemandangan dari lantai teratas vila itu mengarah ke samudera lepas dengan kapal-kapal nelayan yang berlalu-lalang. Semilir angin sore bertiup tidak terlalu sejuk walaupun sudah memasuki awal musim gugur. Sisa-sisa musim panas masih terasa.

Pearce mengembus napas pelan, coba menormalkan detak jantungnya. Berdiri di dekat orang yang pernah atau bahkan masih menyisakan rasa di relung hatinya, membuatnya sedikit kelimpungan. Efek masa lalu terlalu kuat mengempasnya. Akibatnya jantungnya bekerja di luar batas kendali.

“Apa kau akan diam terus? Katakan sesuatu.”

Pearce menoleh, matanya tertuju pada pria yang berdiri setengah meter darinya dan balas menatapnya dengan sepasang mata elangnya yang tajam. Tapi Pearce tahu di balik sorotan tajamnya, ada kelembutan yang tersirat. Ia bisa merasakannya. Hatinya terasa hangat.

“Apa yang harus kukatakan?” balas Pearce. Sungguh, ia tidak mahir dalam mengawali percakapan. Pearce cukup yakin Marc tahu sifatnya.

“Apa saja. Aku ingin mendengar suaramu,” gumam Marc lirih.

“Kenapa?”

“Aku rindu suaramu, Pearce.” Marc menatap lurus pada Pearce.

Mata Marc menyentuh bagian terdalam Pearce. Untuk sesaat Pearce lupa cara bernapas yang benar. Tatapan itu sarat akan kesakitan dan kerinduan yang mendalam.

Pearce berdeham, coba membersihkan tenggoroknya. Ia mengangkat dagunya tinggi-tinggi—kebiasaannya jika dalam keadaan tertekan. “Hanya itu?” tanyanya dengan nada tidak peduli. Dalam hati Pearce meringis. Ia ingin bersikap normal, menjawab dengan baik, tapi yang keluar dari mulutnya malah sebaliknya.

“Hanya itu?” ulang Marc setengah mendesis, tidak percaya respons yang diberikan Pearce. Tangan pria itu terangkat membelah udara. “Sialan kau!” umpatnya kasar dengan mata berkilat marah.

“Maaf,” gumam Pearce merasa bersalah.

Keduanya membisu untuk sesaat.

Marc mengembuskan napas keras. “Aku merindukanmu, Pearce. Apa kau tidak mengerti?” Pria itu menatap gusar pada Pearce. Tersirat kefrustrasian di wajah Marc.

Pearce membungkam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia tidak nyaman berada dalam kondisi seperti ini.

“Katakan sesuatu. Jangan diam saja, Pearce!” bentak Marc marah.

Pearce membuka mulutnya. Bibirnya bergetar. “Se-sebenarnya a-apa maumu, Marc?”

“Menjadi kekasihku. Seperti dulu.” Marc mendekat dan meraih kedua pundak mungil Pearce, menatap gadis itu dengan tatapan memohon.

Pearce menggeleng. Tangan Marc naik dan merengkuh kedua pipi tirus itu, menatap intens ke manik mata Pearce seolah ingin memberi tahu pada gadis itu bahwa ia masih dan sangat mencintainya.

“Aku ingin kita seperti dulu,” ucap Marc sangat dekat di wajah Pearce.

“Mungkingkah?” tanya Pearce lirih.

“Kenapa tidak?”

Pearce menunduk. Ia memejamkan matanya. Sapuan angin menerbangkan rambutnya yang diikat ekor kuda. “Aku pernah menyakitimu.”

“Aku tidak peduli. Aku hanya mencintaimu seorang dan aku tidak bisa menghentikan perasaan ini,” jawab Marc sangat jujur.

“Kau tidak mengerti, Marc,” sanggah Pearce cepat.

“Kau yang tidak mengerti perasaanmu sendiri, Pearce,” balas Marc, mengangkat wajah Pearce yang tertunduk.

Pearce menggeleng. “Aku tidak bisa.”

“Kenapa?”

“Aku tidak tahu.”

“Kau tidak mencintaiku?”

“Aku….”

Ucapan Pearce terhenti saat Marc menekankan bibirnya ke bibir Pearce dengan lembut seolah pria itu ingin memperjelas perasaannya dan memberi tahu Pearce bahwa ia sungguh ingin memiliki gadis itu. Bibir Pearce terasa manis. Ini pertama kalinya Marc menyentuh bibir gadis itu.

Marc melumat habis bibir Pearce, menggigit kecil bibir bawahnya dan membuat bibir mungil itu terbuka. Marc melesak masuk, menjelajahi setiap sudut yang berbau cherry itu, lalu mencari lidah milik Pearce.

Pearce tampak malu-malu, tidak berani membalas apa yang dilakukan Marc padanya. Marc tahu. Kemudian pria itu dengan penuh perasaan menarik lidah Pearce hati-hati, membelitnya dan mulai menari-nari. Mereka berbagi. Marc memberi dan Pearce menerima. Begitu pula sebaliknya.

Ciuman itu berhenti beberapa menit kemudian. Mereka mengatur napas. Pearce membutuhkan waktu lebih banyak. Marc tersenyum, masih meraih pipi Pearce yang merona dengan kedua tangannya, memainkan hidung mereka, dan menempelkan keningnya ke kening Pearce. Marc mengembuskan napas pelan. Rasa hangat menyapu wajah Pearce.

“Kau mencintaiku,” bisik Marc.

Pearce menengadah. “Benarkah?”

“Apa aku harus menciummu lagi?”

Cengiran lebar mengembang di bibir Pearce yang memerah. “Aku suka ciuman,” candanya dan membuat Marc tersentak kaget. Seolah Pearce mengatakannya tanpa rasa malu mengingat dulu gadis itu sangat pemalu. Apa waktu dua tahun mampu mengubah gadis itu?

“Pearce! Aku serius. Apa kau sering dicium?” Marc menjauhkan kepalanya. Tangannya tidak terlepas dari pipi Pearce. Mata Marc berkilat. Ada perasaan tidak nyaman terselubung di dalamnya.

“Cukup sering. Kebanyakan di pipi,” Pearce menjawab seraya menaikkan kedua alis matanya. Bibirnya mengulum senyum. Diam-diam ia geli melihat reaksi Marc.

“Berapa sering di bibir?” tanya Marc penuh selidik. Matanya menyipit.

“Beberapa kali seingatku.”

Marc menjatuhkan tangannya. Raut wajahnya berubah. Pria itu membuang mukanya. Dari samping Pearce dapat melihat garis rahang Marc mengeras. Bibir Marc terkatup. Mata Pearce beralih ke kedua tangan Marc yang terkepal membentuk tinju.

“Kau yang pertama.”

Marc memalingkan wajahnya pada Pearce. Gadis itu menahan gelak tawa yang ingin ia semburkan. Matanya memandang jail ke arah Marc.

“Kau orang pertama yang menciumku.” Pearce mengangguk-anggukkan kepalanya. “Sungguh,” katanya lagi.

“Kau bilang bibirmu beberapa kali disentuh orang,” tuduh Marc, kembali merengkuh pipi Pearce yang semakin merona. Sinar matahari yang hampir terbenam menyapu wajah Pearce, membuat gadis itu tampak dua kali lebih menawan. Sapuan kuning oranye membuat semburat merah di rambutnya bagai nyala api. Mata aquamarine milik Pearce tampak lebih hijau jika sebelumnya tampak berwarna biru. Bibir mungilnya masih mengulum senyum. Sial! Marc ingin sekali merasai bibir itu. Sekali lagi.

“Kau percaya?” tanya Pearce. Sudut-sudut bibirnya terangkat ke atas.

“Kau dihukum,” geram Marc tanpa sedikit pun terselip nada marah.

“Cium aku. Aku suka caramu menciumku. Walaupun membuatku terengah, tapi aku sangat menyukainya. Dan apa aku sudah mengatakannya?” Pearce menatap serius pada Marc. Keningnya berkerut, tampak mengingat sesuatu. “Sepertinya belum. Well, terima kasih untuk ciuman pertama yang kau berikan kepadaku. Aku akan mengenang ciuman ini seumur hidupku.”

“Kenapa harus dikenang? Aku bisa menciummu kapan saja kau mau.” Marc mengerling nakal pada Pearce.

“Hei! Kau sudah membuat bibirku tidak perawan lagi dan kehilangan ini harus dikenang. Aku yakin pasti rasanya akan berbeda jika kita berciuman lagi,” ujar Pearce sok tahu.

“Benarkah? Kau ingin kucium lagi?” tawar Marc tersenyum menggoda.

“Boleh. Sebagai percobaan siapa tahu saja perkataanku benar adanya. Ciuman kedua tidak akan sama seperti ciuman pertama.” Pearce mengangkat dagu, menampakkan kesan angkuh dan keras kepala. Dan ia memang keras kepala dan sedikit angkuh.

“Sok tahu. Aku bisa membuat kau mengenang ciuman keduamu,” kata Marc terdengar sangat meyakinkan.

“Baiklah. Kalau begitu cium aku. Buat aku melupakan ciuman pertamaku,” tantang Pearce.

Marc menarik pipi Pearce, kemudian memiringkan kepalanya dan menempelkan bibirnya ke bibir mungil Pearce. Marc melumat bibir Pearce tanpa ampun, memaju-mundurkan, mengisap dan menggigit kecil bibir bawah dan atasnya. Pearce mendesah hebat. Kesempatan itu langsung digunakan Marc untuk menjulurkan lidahnya, menawan lidah Pearce, mengisapnya kuat-kuat dan membuat Pearce mengerang.

Tangan Pearce menyentuh dada Marc, mendorongnya mundur. Marc menjauhkan tubuhnya. Kali ini napas mereka terengah lebih hebat daripada ciuman pertama tadi.

Marc tersenyum miring, meraih dagu Pearce dan melihat bibir gadis itu sedikit bengkak akibat dilumat terlalu keras olehnya. “Apa kau percaya padaku?”

“Kau gila,” sungut Pearce terengah.

“Ini belum seberapa. Aku bisa membuatmu hilang kendali akibat ciumanku. Tapi aku tidak akan mempraktikkannya terhadapmu dalam waktu dekat.”

“Kau pasti sering berciuman.” Mendadak Pearce merubah mimik wajahnya menjadi raut sebal.

“Lumayan sering.”

Pearce menunduk, tiba-tiba merasa amat kesal pada Marc. Jadi, ia mendapatkan bekas bibir dari gadis lain yang pernah dicium Marc. Sedangkan dirinya mempersembahkan bibir bersih tanpa tersentuh pria mana pun pada pria itu.

“Kau marah?” tanya Marc, meraih sejumput rambut Pearce yang jatuh menjuntai di samping wajah gadis itu akibat terpaan angin sore, kemudian menyelipkannya ke belakang telinga Pearce. Tangan Marc yang lainnya merapikan anak-anak rambut Pearce.

“Pearce?”

Pearce mendongak, menatap manik mata Marc dengan perasaan campur aduk.

“Ya, aku marah padamu,” kata Pearce lebih menyerupai bisikan.

“Aku tidak munafik. Aku memiliki banyak kekasih dan sering bergonta-ganti. Tapi itu dulu sebelum aku bertemu denganmu setelah dua tahun kita berpisah. Aku mencari pelampiasan karena ditinggalkan olehmu.”

“Dengan memacari puluhan gadis?” tanya Pearce, coba terdengar sinis. Namun, yang terdengar malah suara serak.

“Aku ingin mencari penggantimu. Aku ingin kembali merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta lagi setelah kepergianmu. Tapi tak satu pun dari gadis-gadis itu berhasil membuat degup jantungku berdetak tak keruan atau bahkan sekadar menyembuhkan luka yang kau tinggalkan.” Marc meraih tangan Pearce dan menyentuhkan tangan itu ke dadanya. “Di sini, tak seorang pun dapat menggantikanmu. Hanya kau seorang yang mampu menghidupkan perasaanku.”

Mata Pearce tampak berkaca-kaca. Tahu bahwa luka yang ia tinggalkan di hati Marc sangat besar, melukai perasaan pria itu dan membuatnya patah hati.

“Aku minta maaf,” ucap Pearce pelan.

Marc memangkas jarak yang memisahkannya dengan Pearce. Tangannya mengusap punggung Pearce dengan gerakan menenangkan. Dagunya ia topangkan ke kepala Pearce. Gadis itu menangis di dada Marc.

“Aku minta maaf,” isak Pearce sekali lagi.

“Tidak apa, Pearce,” bisik Marc di telinga gadis itu.

“Aku tidak tahu semuanya akan menjadi seperti ini.” Pearce mendongak menatap Marc dengan mata basah. Marc mengusap air matanya dan tersenyum lembut padanya. “Aku mengalami saat-saat tersulit 2 tahun yang lalu. Kenyataan bahwa aku adalah anak haram, ayahku penyuka sesama jenis dan ibuku berselingkuh karena tidak mendapat nafkah batin dari ayahku. Kau tahu, ternyata aku bukan anak ayahku. Aku dan Brandon anak selingkuhan ibuku,” ujar bibir mungil itu seraya terisak.

Pearce merupakan anak bungsu dari 4 bersaudara dan satu-satunya yang berjenis kelamin perempuan. Ketiga kakaknya, Chris yang tertua, Liam yang kedua, terakhir Brandon yang merupakan saudara kembar Pearce. Tragedi terjadi dua tahun yang lalu dan membawa perubahan yang sangat besar terhadap hidup Pearce.

“Lalu, apa yang terjadi?”

“Ibu dan ayah bertengkar hebat. Saling menuduh. Lalu, ibu minta cerai dan ayah tidak setuju. Ayah tidak mau kedoknya terbongkar yang akan menghancurkan imejnya di kalangan pengusaha bahwa dia adalah seorang gay. Ayah sering memukul ibu dan menyebabkan beberapa kerusakan saraf hingga membuat ibu menjadi tuli dan buta. Kemudian ayah menceraikan ibu tanpa meninggalkan uang sepeser pun dan mengambil hak asuh Chris dan Liam, anak biologis ayah.”

Pearce menarik napas dan mengembuskan dengan berat. “Setelah itu, hidupku berubah drastis. Ibu semakin sering sakit-sakitan. Brandon kabur dari rumah dan bergabung dengan para berandal kota yang kerjaannya menjarah barang berharga milik orang lain. Tom, selingkuhan ibuku sekaligus ayah kandungku juga pergi entah ke mana, meninggalkan ibuku yang sekarat. Aku hampir gila saat itu, Marc. Ibu meninggal dan selang beberapa hari, Brandon juga tewas karena dikeroyok. Aku benar-benar putus asa dan tidak tahu harus bagaimana. Hidup sebatang kara dan tidak memiliki saudara.”

“Aku turut berduka,” ucap Marc, ikut perih mendengar cerita Pearce.

“Kemudian setelah ayah tahu ibu meninggal, dia menjemputku dan membawaku ikut bersamanya. Aku senang karena Chris dan Liam masih memperlakukanku seperti sedia kala. Tapi ayah tidak. Aku diasingkan. Dia mengirimku ke London dan menyekolahkanku di sana. Jadi, jika kau bertanya-tanya ke mana selama ini aku pergi, aku berada di London. Hidup di asrama yang penuh dengan suster-suster jelek dan setiap harinya kau akan diteriaki karena bangun terlambat. Kau diberi waktu 5 menit untuk membersihkan tubuh, 5 menit untuk berpakaian dan berdandan, dan 5 menit untuk sarapan. Tempat itu benar-benar membuatku seperti robot hidup. Menyebalkan dan aku benci berada di sana,” sungut Pearce, mengerucutkan bibirnya karena kesal mengingat semua kejadian yang ia lalui dua tahun belakangan.

Marc tertawa geli mendengar sungutan gadis itu. Pearce mendelik kesal ke arahnya. “Kau sama menyebalkannya dengan para suster itu,” gerutu Pearce, semakin memajukan bibirnya.

“Oh ya?” Marc menaikkan kedua alisnya. “Mungkin itu persamaan kami. Well, biar kutebak suster itu pasti tidak bisa melakukan apa yang kulakukan padamu.”

“Apa maksudmu?” tanya Pearce bingung.

“Kurasa mereka tidak bisa menciummu,” jawab Marc tersenyum jail dan langsung mendapat cubitan keras di lengannya.

Marc tertawa terbahak-bahak, kemudian diikuti Pearce. Marc meraih pinggang Pearce, memutarnya menghadap arah matahari terbenam, kemudian mengeratkan lengannya di atas perut Pearce.

Semilir angin sore menerbangkan rambut panjang Pearce. Marc meletakkan dagunya di pundak Pearce. Bibirnya sesekali ia sentuhkan ke leher jenjang milik Pearce, mencium aroma susu dan mawar yang menusuk lembut ke hidungnya. Ia menyukai bau Pearce, selalu.

Pearce menyadarkan punggungnya di dada Marc yang berotot. Lengan kokoh pria itu membungkusnya posesif. Sapuan kuning oranye itu menyapu wajahnya, menyilaukan dan membuatnya harus sedikit menyipitkan matanya. Tangannya ia letakkan di atas tangan Marc yang saling menyilang di perutnya. Deru napas Marc terasa ringan di lehernya. Bibir hangat Marc sesekali menyentuh kulit lehernya yang telanjang.

“Aku senang kau kembali,” bisik Marc lembut.

“Aku senang kau menyambutku,” balas Pearce seraya memejamkan matanya.

“Jangan pergi lagi.”

“Tidak akan.”

END

Semoga kata END di atas sana bisa mengukir senyum di bibir kalian. Mungkin ada beberapa readers mulai bosan dengan sajian ceritaku yang isinya cinta melulu. Aku gak maksa kalian buat suka dengan cerita-ceritaku kok. Aku cuma nulis apa yang ada di otakku dan inilah hasilnya. 🙂 Tidak lupa, aku mau ngucapin terima kasih banget buat Emakku, Nata. Anakmu makin lope-lope padamu. Buat Kak Riza dan Dek Diana. 😉 Well, kutunggu komennya. Thanks for reading.

Published by

Rita

I love writing ^_^

17 thoughts on “ONESHOT : One Kiss Is Never Enough”

  1. Gak tau deh mau comment apa lagi 😊 cerita kamu always perfect dan selalu bisa bikin aku melting dan iri sama character ceweknya ☺️ Bagus Rit..moga aja ada sequelnya ☺️

    Like

  2. ihh so sweet, 😀 tumben laura digantikan??
    maaf baru sempet baca. tp ff kamu selalu berhasil buat pembaca jadi senyum2 sendiri saat baca :).

    Like

  3. Duh Rita lope lope bgt sama cerita romantismu. By the way kayaknya Marc jago bgt ya soal ciuman??? -__- semangat terus deh buat kamu rittt 🙂

    Like

Leave a comment