Fanfiction : The One That Got Away #7

pageFF copy

Part ini aneh dan sedikit gak nyambung. Feel-nya juga kurang ngena atau gak ngena sama sekali. Yang mau baca silakan baca. Happy reading πŸ˜‰

Gadis itu keluar, dengan wajah sembap, rambut acak-acakan, dan masih mengenakan kemeja sekolah yang sudah tampak berkerut. Ia menunduk dengan bahu merosot, tampak rapuh. Langkah kakinya pelan, setengah diseret, tak bertenaga. Ia lelah, sangat lelah dan sakit.

Estelle tersandung kakinya sendiri saat hampir mencapai pintu yang berukir namanya. Matanya kembali dibayangi cairan bening. Gadis itu mendongak ke atas, menggigit keras bibir bawahnya, coba menguatkan dirinya sendiri.

Hari ini, entah sudah berapa kali ia menangis. Menangisi dirinya sendiri. Menangisi hidupnya yang dipermainkan oleh garis yang disebut dengan takdir. Rasanya sejak kepulangan Casey ke rumah ini ia menangis lebih banyak, bahkan di saat Adriana meninggal pun ia tidak pernah menangis sebanyak ini.

Jika tadinya ia membenci Casey, Roser, Marc, dan Alicia, kini ia benci dengan dirinya sendiri. Ia benci dengan hidupnya. Ini tidak adil. Tidak ada dan tak seorang pun yang sayang padanya. Tak seorang pun mengerti dirinya. Dan tak seorang pun peduli padanya.

Tangan Estelle terulur hendak memutar kenop pintu ketika telinganya menangkap derap langkah kaki yang sedang menaiki tangga dengan dentuman tak beraturan. Estelle buru-buru menyeka air matanya, kemudian mendorong pintu kamar hingga tiba-tiba saja…

“CLARITA!”

Tubuh Estelle tersentak. Mendadak dingin menjalari punggungnya. Ia meringis seolah menahan rasa sakit. Perutnya seperti ditinju dari dalam, diremas dan ia merasa mual. Perlahan-lahan, amarah merasuki dirinya. Ia lantas membalikkan tubuhnya. “Jangan pernah kau memanggilku dengan nama itu,” ucapnya dingin.

Matanya memandang sinis pada Casey, kemudian mengarah ke Roser yang berdiri di sebelahnya. Estelle menatap kedua orang itu penuh kebencian. Bara api berkobar-kobar di bola matanya.

Rahang Casey mengeras. Matanya menatap lurus pada Estelle. “Terserah aku mau memanggilmu dengan nama apa. Kau anakku dan aku yang memberimu nama,” balas Casey tak kalah dinginnya.

“Oh ya?” Estelle tersenyum getir. “Kupikir kau sudah lupa bahwa kau pernah memiliki anak perempuan dan pernah memberinya sebuah nama,” geram Estelle.

“Apa maksudmu?!”

Estelle mengangkat alis kanannya, sengaja membuat Casey marah. Hal itu berhasil karena Casey langsung melotot geram padanya. Estelle tidak peduli.

“Kau memang ayahku, tapi itu dulu sebelum ibuku meninggal. Kau memang membesarkanku dengan uang bulanan yang selalu kau kirimkan. Tapi, kau tidak pernah ada di saat aku membutuhkanmu. Apa kau masih berani berkata jika kau yang memberi nama untukku, hah? Apakah begini sosok ayah di dalam dirimu? Kau adalah ayahku? Benarkah kau ayahku? Atau apa aku adalah anakmu?” tanya Estelle setengah mendesis di sela giginya. Kedua tangannya terkepal membentuk tinju. Matanya memanas. Kobaran api itu membakar habis matanya.

Casey membatu di tempat. Wajahnya memutih. Roser meremas lengannya, menyadarkannya, menyuruhnya untuk melakukan sesuatu. Tapi, Casey tak kunjung bereaksi.

Sementara itu, pintu tempat Estelle keluar tadi terbuka. Marc keluar dan terkejut melihat Casey dan ibunya di sana. Laki-laki itu kemudian beralih ke Estelle yang sedang menantang ayahnya, jelas tidak memedulikan Marc dan tidak ingin peduli pada laki-laki itu.

“Kenapa diam?” tuntut Estelle. “Sesulit itukah menjawab pertanyaanku?”

“Kau anakku dan aku adalah ayahmu, Estelle,” desis Casey kaku.

“Aku hanya mengenal satu ayah. Kau bukan ayahku. Dan aku bukan anakmu. Ayahku tidak mungkin bersikap kejam terhadapku. Meninggalkanku dengan para pelayan di rumah, pergi bekerja hingga lupa pada anaknya sendiri, kemudian pulang dan membawa istri dan anak baru. Apa itu cerminan seorang ayah? Apa kau masih pantas disebut sebagai ayahku, hah?” seru Estelle penuh emosi.

“Kau anakku dan aku adalah ayahmu, Clarita! Dan aku tidak pernah melupakanmu!” bentak Casey, marah.

“JANGAN PERNAH MEMANGGILKU DENGAN NAMA SIALAN ITU!” teriak Estelle dengan napas tersengal. “Kau tidak berhak memanggilku dengan nama itu!” tambahnya kecewa.

“Persetan dengan nama depanmu!” maki Casey dengan kasar.

“Seorang ayah tidak akan pernah memaki anaknya,” ucap Estelle sembari berjalan ke arah ayahnya.

Estelle menatap Casey, bukan tatapan sinis melainkan tatapan sarat akan luka masa lalu. Casey melihatnya, dengan sangat jelas. Mata itu, mata seorang gadis kecil yang terluka. Tapi, hatinya terlanjur dingin.

“Seorang ayah tidak akan pernah mabuk-mabukan dan mendorong anaknya dari puncak tangga,” Estelle melirik tangga di belakang ayahnya dan kembali tersenyum getir.

Dada Casey bagai dihantam beton. Mendadak ia merasa oksigen di sekitarnya menipis.

“Seorang ayah tidak akan mungkin menyakiti anaknya, melukai perasaannya, menyiksa batinnya atau bahkan mencoba membunuhnya. Tapi, kau melakukan semuanya padaku!” Estelle berteriak, meluapkan kekecewaan dan kemarahannya. “Kau pergi, kau menikah tanpa meminta persetujuanku, kau menyiksaku dan kau hampir membunuhku! Apa kau pikir kau masih pantas disebut seorang ayah? Jawab aku!” bentak Estelle. Pertahanan dirinya jebol. Dua bulir air mata bergulir turun membasahi pipinya.

Sementara di belakang sana, Marc mengepalkan kedua tangannya. Gumpalan amarah tertahan di tenggoroknya. Kerongkongannya naik turun.

Estelle mengusap mata dengan punggung tangannya. Ia kemudian memandang wanita di sebelah ayahnya. Tangan wanita itu terangkat menutup mulutnya. Air mata menggenang di mata Roser. Senyum mengejek tersungging di wajah Estelle. “Kau tidak usah pura-pura sedih, Bibi Roser. Aku tidak butuh simpati darimu,” tukas Estelle.

“Kau tidak pantas berkata seperti itu pada Bibi Roser! Di mana rasa hormatmu?” desis Casey.

“Ini mulutku dan terserah aku mau berkata apa,” balas Estelle, menatap sinis ke arah Casey. “Dan kau tanya di mana rasa hormatku? Maaf-maaf saja. Kau pikir dia siapa? Ibuku?” Estelle memasang ekspresi jijik.

“Estelle!”

Estelle menatap jijik pada Casey. “Dia tidak akan mendapatkan hormat dariku. Tidak akan pernah!” Estelle menggeleng samar. “Karena sampah sudah sepatutnya diperlakukan seperti sampah!”

“Lancang sekali mulutmu!”

PLAK!

“CASEY!”

“OM!”

Estelle terdorong beberapa langkah ke belakang. Ia menyentuh pipinya. Anehnya ia tidak merasa sakit. Sedikit pun tidak. Tubuhnya sudah mati rasa. Bahkan darah segar mengalir di sudut bibir, membuktikan betapa kerasnya tamparan Casey sedikit pun tidak ia hiraukan.

Estelle mengangkat wajahnya, menyunggingkan senyum sinis dan terluka. “Ini, kedua kalinya kau menamparku. Seandainya ibuku masih hidup, aku bersumpah dia akan menyesal seumur hidup karena pernah menikah denganmu. Kau camkan kata-kataku itu, Mr. Stoner! Aku berani jamin itu!”

Estelle membalikkan tubuhnya dan melengos masuk ke kamarnya. Bantingan pintu menggema di lantai 2. Hening menyusup.

Casey berdiri membatu. Pandangannya mengarah ke telapak tangan kanannya yang ia layangkan ke wajah Estelle.

“Kau melakukan kesalahan besar, Casey,” Roser berkata sembari menyentuh lengan Casey. “Estelle… ini akan sulit untuknya. Kau terlalu jauh menekannya.”

“Apa yang telah kulakukan pada putriku?” tanya Casey, bukan pada Roser, namun kepada dirinya sendiri.

“Aku mencambuknya.”

Casey dan Roser sama-sama menoleh pada Marc. Raut antara syok dan terkejut mewarnai wajah baik Casey maupun Roser.

“Kau apa?” tanya Roser, masih belum sembuh dari keterkejutannya.

“Aku menyesal,” gumamnya.

“Apa yang ada di otakmu, Marc?!” Roser mengerang frustrasi. “Demi Tuhan… oh, demi Tuhan… Estelle tidak akan pernah sembuh. Dia tidak pernah mengingat apa pun. Kalian sudah sangat keterlaluan.”

To Be Continued…

Pendek ye? Emang. Kritik dan saran ditunggu. Budayakan memberi komentar setelah membaca, oke? Biar aku tau di mana kekuranganku. Thanks for reading πŸ˜‰

Published by

Rita

I love writing ^_^

14 thoughts on “Fanfiction : The One That Got Away #7”

  1. Estelee….. kasihan sekali dirimu*pukpuk* aku suka part ini namun agak pendek ya, aaa gapuas hhahahah *abaikan* btw, lanjut yang cepattttt#Maksa asli bagaimana casey setelah mendengar anaknya dicambuk sama Marc….. next :))

    Like

    1. Anak broken home gitulah
      Part ini pendek gara-gara kehabisan ide. Kelamaan dieramin juga. Ini ff udah kutulis berbulan-bulan yang lalu. Cuma ragu aja mau dipost. Aneh soalnya
      Btw, thanks for reading πŸ™‚

      Like

  2. Kasian banget jadi Estelle 😦 main digaplok mulu 😦 kalo aku jadi Estelle aku udah kabur dari rumah 😦 feelnya dapat kok, Rit πŸ˜€ ditunggu kelanjutannya πŸ˜€

    Like

  3. ahhhh no 7 yang di nanti ….. teerima kasihhhh udah dilanjutinn πŸ˜€

    ahhh kenapa dengan nama depannya ya? Kenapa Estelle ga mau dipanggil sama nama itu?

    Lalu apa maksud bibi Roser yang bilang kalo : Estelle tidak akan mengingat apapun ….. ahhhh apa dia kena amnesia yaa?

    Penasarannn … lanjutin yahhh pleaseeee πŸ™‚

    Like

  4. Sakit hati seorang anak itu gak ada obatnya. Makanya gak aneh kalo Estelle jadi kayak gitu… Ditunggu kelanjutannya… πŸ™‚

    Like

  5. casey cuma diem aja tuh denger anaknya dicambuk sama marc?
    masa lalu estele begitu parah yah sampe jiwanya tertekan seperti itu? mom roser bener tuh klo estelle tidak akan pernah sembuh *poor estele*

    ohh iya yg part ini belum ada di ff library rit πŸ˜€

    Like

  6. aaah.. makin parah deh hidupnya estelle.. jadi casey pernah dorong estelle dari tangga? trus itu yg bikin estelle amnesia sampe nggak inget sahabat kecilnya?? trus juga pernah mau bunuh estelle?? aduuuh jadi tambah kasihan sama estelle.
    itu kenapa estelle nggak mau dipanggil clarita??

    Like

Leave a comment