My Secret, His Son #4

My Secret1 copy

Sudah 2 hari Miguel tidak masuk sekolah. Anak itu masih belum bisa berjalan dengan benar akibat telapak kakinya yang terkena pecahan gelas. Laura sudah menghubungi Mrs. Ham dan menjelaskan insiden yang terjadi. Mrs. Ham cukup baik dan memberi dispensasi untuk Miguel. Miguel boleh mengumpulkan tugas penanaman biji kecambah itu jika kakinya sudah mulai membaik. Sebenarnya luka di telapak kakinya tidak terlalu besar. Pagi setelah kejadian itu, Laura membawa Miguel ke dokter. Diagnosisnya pecahan kaca itu mengenai pembuluh darah besarnya. Maka dari itu, Miguel disuruh istirahat dan tidak boleh banyak bergerak.

Dengan tidak sekolahnya Miguel turut membuat Laura keteteran dengan pekerjaannya. Ia harus mengurus pengiriman bunga untuk hari pertunangan Marc dan Adel yang kebetulan stoknya habis. Dengan prinsip membuat konsumen senang dengan pelayanannya, Laura sibuk mengurus pengiriman bunga dari sebuah desa kecil di kota Granada ke toko bunganya. Pantang bagi Laura mengecewakan pelanggannya.

Hari menjelang sore. Seharusnya toko bunganya sudah tutup. Namun, pekerjaan Laura belum sepenuhnya selesai. Waktu tinggal dua hari lagi untuk menyiapkan bunga dekorasi untuk pertunangan Marc dan Adel. Sejujurnya wanita itu agak enggan mengerjakan pekerjaannya. Bohong jika ia tidak merasa terganggu dengan semakin dekatnya hari pertunangan Marc dan Adel. Hatinya seperti tidak rela. Tapi, Laura cepat-cepat tersadar bahwa tidak seharusnya ia merasa seperti itu. Apa haknya? Tidak. Ia harus profesional.

Dering pesawat telepon dari meja kerja menghentikan kegiatan gunting-menggunting Laura.

“Halo, rumah Morning Glory Flowrist, ada yang bisa saya bantu?” sahut Laura ramah di gagang telepon.

“Ini aku,” jawab si penelepon itu dengan nada lelah.

Tubuh Laura mengejang di tempat. Bibirnya mengatup, tidak mampu berkata-kata.

***

Marc memijit keningnya pelan. 2 hari ia tidak pergi ke kantor. Pria itu sedang menjaga Adel yang sedang terbaring di bangkar rumah sakit. Marc coba memejamkan mata dan ingatan tentang malam itu kembali menerjangnya. Rasa bersalah melanda dirinya. Kali ini ia melakukan sesuatu yang benar-benar fatal.

Malam itu seusai mereka bercinta, mereka bertengkar hebat. Marc akui waktu itu ia memang bersalah, menyebut nama wanita lain saat ia mencapai orgasme. Adel marah besar, mengamuk dan tragedi berdarah itu terjadi. Adel coba mengakhiri hidupnya dengan mengiris urat nadinya. Irisan di pergelangan tangannya cukup dalam dan membuat gadis itu kehilangan banyak darah. Dan sudah 2 hari, gadis itu masih belum menunjukan tanda-tanda siuman.

Marc menengadahkan kepalanya, menatap langit-langit berwarna putih itu. Pikirannya berkecambuk. Dari mulai kerjaan di kantor, Adel, hari pertunangannya dan Miguel, serta… Laura. Omong-omong Miguel, Marc penasaran dengan kondisi anak itu. Marc tidak memungkiri jika ia merindukan sosok bocah kecil itu. Ia sebenarnya ingin mengunjungi anak itu jika saja keadaan Adel tidak seperti ini. Dan… Laura. Wanita itu apa kabar? Sial! Marc secepat kilat menyadarkan pikirannya. Tidak seharusnya saat-saat seperti ini ia memikirkan wanita lain. Jelas-jelas masih ada gadis lain, yang bahkan sekarang ini sedang terbaring lemah di hadapannya. Marc kembali fokus pada Adel.

Soal pertunangannya, Marc seolah tersadar. Pria itu mengambil ponsel di sakunya dan mencari-cari nama toko bunga yang tersimpan di phonebook-nya. Deringan pertama terdengar. Tak sampai deringan kedua, suara seorang wanita menyahut ramah di sana.

“Halo, rumah Morning Glory Flowrist, ada yang bisa saya bantu?”

“Ini aku,” jawab Marc.

Tak ada suara lagi. Hingga 5 detik kemudian, “ada apa?” tanya wanita itu.

“Sesuatu sedang terjadi. Adel masuk rumah sakit. Dan kemungkinan besar pesta pertunangan kami akan ditunda. Tapi, aku akan tetap membayar seluruh biaya pemesanan bunga-bunga itu.”

“Baiklah. Aku mengerti. Semoga Adel cepat sembuh,” kata wanita itu dengan tulus.

“Terima kasih. Omong-omong, keadaan Miguel bagaimana? Apa dia baik-baik saja?” tanya Marc, dalam hati sangat berharap Laura melaporkan kondisi Miguel.

“Dia baik. Hanya saja 2 hari ini dia tidak masuk sekolah. Kakinya agak membengkak. Dokter menyuruhnya istirahat dan tidak boleh banyak bergerak. Tapi, dasar Miguel-nya saja yang tidak bisa diam. Dia tidak betah harus duduk diam.”

Lebih dari yang Marc harapkan. Laura memberitahukan kondisi Miguel dengan sangat detail. Bahkan Marc bisa mendengar kekehan kecil yang keluar dari bibir Laura.

“Senang mendengarnya. Sampaikan padanya salam dariku,” tukas Marc.

“Akan kusampaikan.”

Marc ingin lebih banyak bicara pada Laura. Namun, saat matanya menangkap gerakan dari pergelangan kiri Adel yang tidak terluka, sontak membuat Marc cepat-cepat mengakhiri sambungan telepon itu. Marc bangkit berdiri dan menundukkan tubuhnya lebih dekat ke Adel. Perlahan-lahan mata itu pun terbuka.

“Adel,” panggil Marc seraya menggenggam tangan kiri Adel.

Adel menatap Marc dengan tatapan sayu. “Aku di mana?” gumamnya lemah.

“Kau berada di rumah sakit.” Marc menyentuh rambut Adel, mengusapnya pelan.

Adel memandang wajah Marc cukup lama. Tanpa diminta ingatan tentang malam itu berputar di kepalanya saat matanya bersitatap dengan kedua mata Marc. Sakit hati yang ia rasakan masih terasa hingga kini. Adel lantas memalingkan wajahnya, dan air mata bergulir turun dari sudutnya.

“Adel,” Marc menyentuh rambutnya. “Aku minta maaf.”

Adel terisak pelan. “Sudah sering kali kau mengucapkan kata-kata itu, Marc,” balasnya, perih.

“Aku tahu. Semakin banyak aku mengucapkan kata-kata itu, sebanyak itu pulalah kesalahanku padamu. Aku benar-benar menyesal telah melukai hatimu.”

“Benarkah kau menyesal?” Adel memutar kepalanya, menatap Marc penuh harap. “Baiklah. Aku akan menganggap semuanya tidak pernah terjadi, Marc. Aku akan menganggap kau tidak pernah menyebut nama perempuan itu. Tapi, bolehkah aku minta sesuatu padamu?”

“Apa itu?”

Jawaban Adel seperti bola pijar yang menghantam dada Marc. Lututnya melemas seketika.

***

Tak ada angin dan tak ada hujan. Malam itu Miguel merengek-rengek pada Laura minta ke rumah kakek dan neneknya. Laura sebenarnya lelah setelah seharian bekerja membuat dekorasi bunga yang pada akhirnya tak terpakai akibat pembatalan pesanan. Tapi, tak apa, toh tetesan keringatnya dibayar, walaupun orang yang membayarnya adalah pria itu.

Akhirnya Laura memutuskan membawa Miguel ke rumah orangtuanya sekalian untuk numpang makan malam. Memangnya siapa yang mau mengurus dapur lagi kalau tubuh hampir remuk akibat kelelahan? Dan pergi ke rumah Robert dan Elena merupakan opsi yang baik. Lagipula sudah lama Laura tidak mengunjungi ayah dan ibunya, walaupun jarak rumah mereka hanya sekitar 15 menit menggunakan kendaraan beroda empat.

“Grandpa!” Teriakan Miguel menggema di telinga Laura saat anak itu berusaha meloloskan diri dari dekapan ibunya. Miguel berjalan terseok-seok ke arah Robert yang sudah merentangkan tangan untuk menyambut kedatangan cucu semata wayangnya itu.

Sebelumnya Robert dan Elena sudah tahu insiden yang terjadi pada Miguel. Tapi, Laura meyakinkan mereka bahwa kondisi Miguel baik dan mereka tak perlu khawatir akan keadaannya. Termasuk mengurungkan niat mereka yang ingin menjenguk Miguel. Laura hanya tidak ingin membuat kedua orangtuanya khawatir. Di samping itu, egonya sebagai ibu juga turut berperan sebenarnya. Laura ingin menunjukkan jika ia adalah wanita mandiri dan kuat yang bisa menjaga anaknya sendiri.

“Ugh! Cucuku semakin besar saja. Kurasa berat tubuhmu akan meremukkan lenganku.” Robert pura-pura mengeluh. Kenyataan pria paruh baya itu sangat senang dikunjungi oleh cucunya.

Miguel pun tak mau kalah. “Ugh! Kakekku semakin tua saja. Tapi, Grandpa masih mau menggendongku, kan? Kurasa tubuhku tidak seberat itu,” belanya.

Ketiga orang dewasa itu tertawa mendengar perkataan Miguel. Elena yang berdiri di samping Robert merentangkan kedua tangannya ke depan, hendak menggendong Miguel juga. Anak itu pun berpindah tangan.

“Bagaimana jika aku mengatakan cucuku semakin tampan saja. Apa kau punya balasan untukku, Sayang?” tanya Elena, gemas.

Miguel menyentuh pipi Elena dan mengecupnya. “Akan kubalas nenekku semakin cantik saja. Walaupun pada kenyataannya Mommy lebih menawan darimu, Grandma.” Kembali mereka tertawa.

Robert kemudian mengarah pada Laura. Lewat sorot matanya, Laura tahu apa yang diinginkan ayahnya. Wanita muda itu maju dan memeluk tubuh Robert. “Aku sangat merindukanmu, Dad,” ucap Laura lembut.

“Masuklah ke dalam. Makan malam sudah siap,” ajak Elena, tetap menggendong Miguel.

Makan malam itu dipenuhi kebahagiaan. Tingkah lucu Miguel selalu membuat ketiga orang itu tertawa. Setelah makan malam, giliran para wanita melakukan bersih-bersih. Robert membawa Miguel ke ruang depan, membacakan anak itu beberapa dongeng zaman dahulu.

Miguel tampak cemberut di pangkuan Robert saat kakeknya itu membacakan dongeng Hercules. Tak seperti biasanya. Anak itu agak aneh malam ini.

“Bisakah Grandpa membacakan dongeng yang lain? Aku tidak suka cerita ini.”

“Kenapa? Bukankah cerita ini sangat bagus?” tanya Robert heran.

“Tidak. Aku tidak suka bagian ayah Hercules mengusir Hercules. Dia sangat kejam. Dia ayah yang tidak berperikemanusiaan.”

Robert terdiam mendengar perkataan Miguel. Ia seolah tersadar telah menyentuh sisi sensitif anak ini.

“Grandpa, bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?” Miguel memutar tubuhnya supaya lebih leluasa dapat melihat wajah Robert. Tubuh Robert menegang. Menunggu apa yang hendak ditanyakan Miguel.

“Tentang apa?” Robert memaksakan sebuah senyuman.

“Apa kau tahu di mana Daddy berada?”

Raut kencang langsung tercetak di wajah Robert. Bibir pria itu terkatup rapat, tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan cucunya. Sementara dari arah dapur, Laura berjalan keluar dan langkah kakinya terhenti seketika. Tatapan ngeri langsung dilemparkan Laura pada ayahnya.

***

“Apa kau tahu di mana Daddy berada?”

Pertanyaan Miguel lantas membuat langkah Laura terhenti. Jantungnya berdegup tak keruan dan keringat dingin mulai membasahi tengkuknya, serta air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ini pertama kalinya Miguel bertanya tentang ayahnya.

Laura masih membeku. Matanya memandang tubuh belakang Miguel yang berada di atas pangkuan kakeknya. Bocah itu belum menyadari kehadiran ibunya yang berada di ruangan yang sama. Mata Laura bertemu dengan mata Robert. Laura menggeleng, memberi isyarat.

“Apa kau merindukan ayahmu?” tanya Robert kemudian.

Anggukan Miguel menjawab pertanyaan Robert. “Dia…,” Robert melihat air mata Laura menetes. Hatinya ikut nyeri. “Ayahmu bekerja di tempat yang sangat jauh.”

“Sejauh apa tempat itu?” tanya Miguel lagi.

“Aku tidak tahu.”

Laura cepat-cepat menghapus air matanya. Wanita itu lalu berjalan ke tempat duduk yang ditempati Robert dan Miguel.

“Miguel…, sudah malam, Nak. Ayo kita pulang,” ajak Laura, menarik Miguel ke pelukannya.

Wajah anak itu masih tetap cemberut. Robert tidak bisa berbuat apa-apa. Sementara Elena datang tak lama kemudian.

“Dad, Mom, kami pulang dulu,” pamit Laura.

“Hati-hati, Sayang,” ucap Elena perhatian.

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Miguel tak bersuara sedikit pun. Bahkan ketika Laura membawanya ke kamar, akan mengganti pakaiannya dengan baju tidur dan menyuruhnya buang air kecil, Miguel tidak membantah. Padahal biasanya Miguel sangat sulit disuruh mengganti pakaiannya, apalagi buang air kecil sebelum tidur.

“Mommy,” panggil anak itu ketika Laura menyelimuti tubuhnya.

“Iya?” respon Laura.

“Aku rindu Daddy.”

Laura terdiam. Hatinya kembali nyeri.

“Dia pasti juga rindu padamu, Sayang,” balas Laura, mengusap rambut Miguel.

“Mommy,” panggil Miguel lagi.

Laura tak kuasa menahan air matanya. “Iya, Nak?”

“Aku sayang Mommy.”

Miguel memejamkan matanya. Tak lama, napas anak itu berubah menjadi teratur. Laura kembali merapikan selimut Miguel dan sebelum ia keluar dari kamarnya, tak lupa Laura mendaratkan sebuah ciuman di kening anak itu.

***

Matahari bersinar terik pagi hari ini. Setelah mengantar Miguel ke sekolah, Laura membuka tokonya. Ia agak terlambat hari ini. Mia, gadis muda berambut pirang keturunan Inggris yang bekerja padanya sudah berdiri menunggunya di depan toko.

Kepalanya langsung sakit melihat begitu banyak berkas-berkas penjualan di meja kerjanya. Rasanya ia ingin membakar kertas-kertas jelek itu. Mood-nya benar-benar buruk pagi itu.

Toko tidak terlalu ramai hari ini. Hal ini dimanfaatkan Laura untuk beristirahat sejenak di kursi kerjanya yang empuk. Laura memejamkan matanya. Suara gunting bergesekan membuat kepalanya bertambah pusing. Lidahnya terasa pahit dan tubuhnya tidak bisa diajak berkompromi.

Bunyi gemerincing terdengar bersamaan terbukanya pintu toko. Laura cepat-cepat berdiri dari tempat duduknya. Ia merapikan dirinya sedikit sebelum melangkah keluar melihat siapa yang datang.

Seorang pria berjas hitam berjalan ke arahnya. Wajah pria itu tampan, sangat tampan. Namun, matanya agak mengabur saat pria itu mendekat ke arahnya. Laura sebisa mungkin menahan pusing di kepalanya. Ketika pria itu berdiri gagah di hadapannya, bau cologne seketika menusuk indera penciumannya. Laura merasa mual. Dan tiba-tiba saja semuanya gelap.

***

Laura menyipitkan mata saat terang lampu kamarnya menusuk ke maniknya. Setelah menyesuaikan diri, serta kesadaran yang sudah sepenuhnya terkumpul, wajah ibunyalah yang pertama kali ia lihat.

“Mom…,” erangnya pelan. Sepertinya hari sudah beranjak siang. “Kenapa ada di sini? Pukul berapa sekarang?” lanjutnya.

Elena menjawab, “sudah pukul 2 siang.”

Mata Laura membelalak. Apa? “Oh, astaga. Aku terlambat jemput Miguel.”

Laura coba bangun dari posisi tidurnya, namun rasa sakit kembali menyerang kepalanya. “Kau masih sakit. Istirahat dulu,” Elena kembali mendorong lembut tubuh Laura.

“Tapi, Miguel…,” protes Laura.

“Marc sudah menjemputnya.”

“Oh…,” Laura mendesah lega. Tapi…. “Tunggu, kau bilang siapa tadi?” Raut syok tercetak di wajahnya.

“Marc,” jawab Elena singkat, tanpa ekspresi.

Darah seketika menyurut dari wajahnya. Tubuhnya bertambah melemas. Masih tidak percaya. Kenapa pria itu bisa muncul?

Laura tidak bersuara. Momen itu langsung digunakan Elena untuk memulai introgasinya. “Itu yang ingin kubahas, Laura. Kenapa kau tidak pernah cerita? Apa Marc sudah tahu tentang Miguel?”

Walaupun terkesan santai omongan ibunya, tapi Laura bisa mendengar makna tersirat, yakni menuntut. Ibunya tahu mengenai hubungan masa lalunya dengan Marc.

Laura menggeleng lemah. “Belum,” jawabnya, enggan.

Elena menghela napas berat. “Mau sampai kapan kau menyembunyikan hal ini darinya?”

Gantian Laura yang menghelas napas, lebih berat. “Entahlah, Mom. Aku belum siap.”

Tatapan Elena melembut. Ia mengerti perasaan putrinya. Menjalani hari-hari terberatnya saat sedang mengandung Miguel pernah dilalui Laura bersama dirinya dan Robert. Ini tidak mudah. Elena tahu itu.

“Kau masih memikirkan perjanjian itu? Oh, sadarlah, anakku. Bahkan perjanjian itu sudah tidak ada gunanya sekarang. Percaya omonganku, cepat atau lambat, Marc akan mengetahuinya sekalipun kau tidak pernah memberitahunya. Perasaan seorang ayah tidak bisa dibohongi. Wajah Miguel adalah duplikat Marc. Kau tidak bisa memungkiri itu. Mereka sangat mirip,” ujar Elena.

Laura mendengus. Tiba-tiba merasa kesal dengan ibunya. “Kalau begitu biar saja dia mengetahuinya dengan sendiri.”

“Dan membuat dia membencimu seumur hidup karena membohonginya?” sambung Elena. “Kau harus ingat, Laura, perasaanmu akan terluka jika kau melukai perasaan orang lain dengan sebuah kebohongan. Aku tidak memaksamu. Tapi, Marc adalah ayah biologisnya. Terima atau tidak, aku yakin ada naluri kebapakan di hatinya setiap melihat Miguel. Carilah waktu dan beritahu dia. Kau tak perlu takut. Aku mendukungmu. Dan kurasa sudah waktunya Robert untuk mengetahui siapa ayah Miguel sebenarnya.”

“Mom…,” erang Laura, tidak setuju dengan ide ibunya.

“Jangan mendebatku. Pengalaman hidupku jauh lebih banyak dibanding dirimu. Sekarang jujur padaku, apa kau masih mencintainya?” tanya Elena dengan suara mengintimidasi sembari mengawasi perubahan wajah putrinya.

“Mom….” Laura merengut.

“Kau masih mencintainya?” ulang Elena, sekali lagi.

“Mom…, aku,” Laura tidak ingin menjawab pertanyaan ini. Tangannya terangkat menyentuh keningnya dan memijitnya pelan. Ia jengkel setengah mati dengan ibunya.

“Masih atau tidak?” desak Elena.

“Aku tidak tahu!” jawabnya frustrasi.

Suara mesin mobil terdengar di luar sana. Laura tidak mau tahu siapa itu. Namun, setengah menit kemudian teriakan bocah laki-laki membahana di kamar Laura. Anak itu langsung berlari menghampiri Laura yang terbaring walaupun masih dengan langkah terseok-seok. Setidaknya mulai sedikit benar cara jalannya.

“Mommy, apakah kau baik-baik saja? Bagaimana keadaanmu?” tanya Miguel seraya menyentuh dahi Laura. Miguel meniru kebiasaan Laura yang sering menyentuh dahinya ketika ia sedang sakit.

“Mommy baik-baik saja, Nak,” jawab Laura, sembari tersenyum kecil.

Marc kemudian menyusul masuk ke kamar Laura.

“Hm, ini pasti gara-gara aku Mommy jadi sakit seperti ini. Aku minta maaf, Mommy,” kata Miguel merasa bersalah.

“Tidak, Sayang. Ini bukan karena kau. Mommy hanya sedikit kelelahan saja. Nanti juga sembuh kok,” balas Laura.

“Iya, Mommy lelah karena mengurusku.” Miguel masih menyalahkan dirinya.

“Miguel….” Laura menarik anak itu lebih dekat ke arahnya. “Bukan salahmu. Setiap orang bisa sakit, oke?”

Miguel mengangguk paham.

Elena memandang Marc sejenak, lalu sebuah ide terlintas di kepalanya. “Miguel, ayo kita ganti bajumu.” Elena langsung menggiring Miguel keluar. Anak itu sempat berontak sebentar.

Marc maju beberapa langkah, lalu duduk di kursi yang sebelumnya diduduki Elena. Sementara Laura, ia merasa jantung bekerja dua kali lebih cepat saat Marc berada di dekatnya. Wanita itu sempat salah tingkah. Lagi-lagi ia merasa jengkel pada Elena. Pasti ibunya sengaja menarik Miguel keluar untuk memberi ruang bagi mereka untuk bicara. Marc memandanginya terus dan tak berkata apa-apa. Alhasil, Laura terpaksa memalingkan wajahnya ke lemari.

“Miguel sangat khawatir saat kubilang padanya kau jatuh pingsan di toko. Anak itu terus menerus berdoa saat perjalanan pulang.” Marc memecah keheningan.

Laura menghadap Marc, dan mata mereka bertemu. Cepat-cepat Laura memalingkan wajahnya lagi. “Bagaimana keadaan Adel?” tanyanya, berbasa-basi.

“Baik.”

Jawaban Marc agak janggal di telinga Laura. Tapi, toh ia memang tidak sedang ingin membahas tentang gadis itu. Namun, perkataan Marc selanjutnya sukses membuatnya terkejut. “Kami akan menikah.”

Tanpa diminta, hati Laura seperti disayat sembilu tajam. Menikah? Marc akan menikah dengan Adel?

Agar Marc tak curiga, Laura memamerkan sebuah senyum terpaksa. “Selamat. Aku turut bahagia mendengarnya,” ucapnya.

“Terima kasih,” desah Marc. Kalau Laura tak salah dengar, suara Marc terdengar lelah di telinganya. “Aku menghargai ucapanmu. Tetapi, aku tidak merasa demikian,” lanjut Marc dan membuat Laura terkejut.

“Maksudmu?”

Marc memandang Laura penuh arti. Sensasi masa lalu itu kembali berputar. Desiran aneh memenuhi relung Laura. “Aku mencintai wanita lain.”

Tenggorokan Laura tercekat. Napasnya tertahan. Dentuman jantungnya semakin menjadi-jadi. Apa maksud pria itu?

To Be Continued…

Published by

Rita

I love writing ^_^

9 thoughts on “My Secret, His Son #4”

  1. CLBK….

    Tp gimana nanti keadaan adel yah klo tau marc laura punya anak…sekarang. Akibat hubungan masa lalu mereka…

    Eh tp dulu kmu pernah bilang Rit, katanya Marc Adel bakal punya anak jg (perempuan). Apa nanti mereka jd nikah ? Dgn keadaan marc yg gk cinta Adel.

    Satu lagi mau nanya daridulu tentang FF ini.

    Kenapa bisa marc tiba2 mau pacaran+bertunangan+nikah sama adel…padahal diakan gak cinta sama adel. Atau apa sebelum marc ketemu laura lagi, dia jg cinta sama Adel ??? Walaupun masih setengah2 ?
    Hehe

    Like

  2. CLBK….

    Tp gimana nanti keadaan adel yah klo tau marc laura punya anak…sekarang. Akibat hubungan masa lalu mereka…

    Eh tp dulu kmu pernah bilang Rit, katanya Marc Adel bakal punya anak jg (perempuan). Apa nanti mereka jd nikah ? Dgn keadaan marc yg gk cinta Adel.

    Satu lagi mau nanya daridulu tentang FF ini.

    Kenapa bisa marc tiba2 mau pacaran+bertunangan+nikah sama adel…padahal diakan gak cinta sama adel. Atau apa sebelum marc ketemu laura lagi, dia jg cinta sama Adel ??? Walaupun masih setengah2 ?
    Hehe

    ah ya,mungkin klo nikah…itu permintaan adel kan pas di rumah sakit.

    Like

Leave a comment