My Secret, His Son #3

My Secret1 copy

CERITA INI MENGANDUNG UNSUR DEWASA. TETAPI MASIH DALAM AMBANG KEWAJARAN. TIDAK SUKA TIDAK USAH BACA. JADILAH PEMBACA YANG MENGHARGAI KARYA ORANG LAIN. KRITIK DAN SARAN SELALU DITAMPUNG. AKHIR KATA, Happy Reading 😉

Seusai makan malam, Laura mengecek jadwal sekolah Miguel yang rutin dilakukannya setiap malam di komputernya. Sekolah Miguel biasanya akan mengirimkan e-mail mengenai tugas sekolah yang harus dikumpulkan besok atau lusa, serta beberapa laporan kegiatan sehari-hari Miguel di sekolah. Sejauh ini, sikap Miguel sangat baik dan aktif di kelasnya. Hanya saja, catatan dari wali kelasnya, Miguel agak kesulitan bersosialisasi dengan teman-temannya yang usianya lebih tua beberapa tahun darinya—anak itu lebih cepat masuk sekolah karena memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Maka dari itu, Laura sedikit khawatir dengan yang satu ini. Mungkin ia harus bicarakan baik-baik dengan Miguel.

Pertengahan musim semi seperti ini sering dimanfaatkan oleh beberapa sekolah dasar di Spanyol untuk memberi tugas praktik sederhana mengenai tumbuhan. Miguel mendapat tugas menanam kecambah dalam gelas plastik dari wali kelasnya. Semua tutorial sudah dijelaskan dalam e-mail tersebut.

“Miguel,” panggil Laura, dari pojok ruang keluarga. Komputernya terletak di sana.

Miguel yang sedang menonton televisi lantas datang mendekati Laura. “Apa aku mendapat tugas sekolah?” tanya bocah kecil itu dengan suara imut.

Laura merangkul pinggang Miguel. “Yep. Mrs. Ham ingin kau menanam biji kecambah. Dia memberikan rentang waktu 2 hari untuk menumbuhkan kecambah itu.”

“2 hari? Apa kecambah bisa tumbuh dalam 2 hari?” Miguel menggaruk rambutnya yang terasa gatal.

“Kau harus mencobanya dulu baru tahu hasilnya, Miguel. Kau siap bereksperimen?” Kedua alis Laura terangkat.

“Apa itu termasuk eksperimen juga? Wow! Kedengarannya keren.” Miguel tampak antusias. Ini pertama kalinya ia melakukan eksperimen. Laura tersenyum geli.

Laura mengajak Miguel ke dapur. Wanita itu menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan, seperti bungkusan biji kecambah dalam lemari dapur, 2 plastik gelas kecil dan gumpalan kecil kapas putih. Tak lupa Laura mengambil satu gelas kaca lagi yang diisinya dengan air keran.

Miguel mengernyitkan keningnya. Ia bingung dengan semua bahan-bahan itu.

“Baiklah, mari kita mulai,” kata Laura semangat. “Kecambah ini harus direndam beberapa saat agar kulitnya terkelupas. Nah, begini caranya,” Laura menenggelamkan beberapa butir biji kecambah itu ke dalam gelas yang berisi air. “Kau mau mencobanya?” tawar Laura.

Miguel mengangguk cepat. “Hanya mencelupkan saja, kan?” tanya bocah itu, memastikan. Laura mengangguk.

Seperti yang dilakukan Laura sebelumnya, Miguel mengambil beberapa butir biji-biji itu, lalu menenggelamkannya ke dalam air. “Harus menunggu berapa lama, Mommy?” tanya Miguel.

“Sesuai petunjuk Mrs. Ham, kira-kira 1 jamlah,” jawab Laura santai.

“Itu lama sekali. Kupikir eksperimen ini tidak semenyenangkan itu. Membosankan.” Miguel menompang pipinya dengan kedua telapak tangan kecilnya di atas meja makan. Bibirnya maju beberapa senti. Tampak sekali kebosanan di wajahnya. Namun, matanya tetap mengarah pada biji-biji yang tenggelam dalam gelas kaca itu.

“Ini, kan baru permulaan, Miguel. Namanya juga eksperimen. Kau harus menunggu untuk mendapatkan hasilnya. Semuanya ada proses, kau mengerti?” Laura memberi pengertian pada putranya.

“Aku tidak mengerti. Kenapa kita harus menunggu kalau kita bisa menggunakan cara instan?” Miguel balik bertanya dan menatap Laura, menuntut penjelasan.

Laura menghela napas sejenak. Semakin besar Miguel semakin pintar dalam berbicara. Ia heran juga darimana Miguel mendapatkan kosakata seperti itu. Terkadang Laura memiliki ketakutan tersendiri melihat perkembangan Miguel yang terlampau cepat. Ia memang bersyukur diberikan anak secerdas Miguel. Tapi, terlalu cerdas juga tidak baik untuk perkembangan anak itu.

“Cara instan? Ya, kita memang bisa memakai cara instan. Tapi, tak selamanya dan hampir semua hal-hal yang instan tidak baik, kau tahu?” Laura menyentuh rambut Miguel dan menggosok-gosoknya.

“Kupikir cara instan untuk mempermudah, Mommy.” Kembali Miguel mendebat Laura.

Tangan Laura berhenti. Ia mendekatkan wajahnya pada anak itu. “Ya, mempermudah yang akan membuatmu susah. Kau tahu kenapa banyak orang yang berumur pendek sekarang?” Blak-blakkan sepertinya dibutuh Laura sekarang. Miguel menggeleng. “Itu karena mereka malas. Mereka selalu menggunakan cara instan untuk hidup.”

“Benarkah?” Miguel membulatkan matanya, tampak terkejut. “Apa itu termasuk membeli makanan instan? Pantas saja kau selalu melarangku memakan itu, Mommy. Tidak! Aku tidak mau berumur pendek.” Miguel menggelengkan kepalanya.

Laura tersenyum senang. Akhirnya anak ini mengerti. Sejujurnya ia kehilangan cara untuk menjelaskannya pada Miguel. Untung saja anak ini cepat mengerti. Kadang kecerdasan Miguel sangat berguna. Laura tidak perlu menjelaskan panjang lebar. Anak itu cepat tanggap dan bisa memahami maksudnya.

Bel rumah tiba-tiba berbunyi.

“Sepertinya ada tamu. Kau di sini saja, oke? Mommy ke depan sebentar.”

Laura berjalan melewati meja makan dan bergegas ke pintu depan. Sejenak ia melirik jam di dinding, pukul 22.05. Siapa yang datang berkunjung?

Laura membuka pintu rumah dan seketika matanya membelalak melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Napasnya tertahan dan jantungnya berhenti berdetak. Tidak percaya. Tulang belakangnya membeku. Degupan kencang kemudian memukul dadanya. Sedikit pun ia tidak bergerak dari posisi berdirinya.

Darimana pria itu tahu alamat rumahnya?

“Selamat malam,” sapanya formal. Pria itu memamerkan senyum khas menawannya.

Jantung Laura serasa mau copot. Ia hampir terjatuh jika saja tidak bersandar pada handle pintu. Sialnya, pria itu melihatnya.

***

Entah ide gila darimana tiba-tiba merasuki otaknya dan ia punya rencana untuk kembali bertemu dengan bocah laki-laki yang ditemuinya di sekolah tadi. Hanya satu yang terlintas dalam pikirannya, datang menemui bocah itu sekaligus untuk menemui ibu sang bocah. Tidak ada salahnya. Lagipula ia memiliki alasan yang kuat kenapa ia harus datang kemari.

Saat Marc turun dari mobil, sejenak ia merasa familiar dengan tempat ini. Dan benar saja, ekor matanya menangkap sebuah toko bunga di sebelah sebuah rumah kecil namun terawat. Astaga. Kalau saja Marc tahu rumah orang yang hendak dikunjunginya itu di sebelah toko bunga yang pernah ia datangi bersama Adel, ia tidak perlu repot-repot mengancam petugas administrasi sekolah demi mendapatkan alamat rumah itu.

Desain rumah itu tampak sederhana dan hangat. Sangat cocok untuk ditempati oleh sebuah keluarga kecil. Melihat berbagai tanaman bunga-bunga musim semi yang cantik di setiap sudut dan pinggiran rumah, Marc bisa membayangkan betapa telatennya Laura mengurus rumah. Benar-benar tipe rumah yang membuat siapa pun yang menginjakkan kakinya di sini—walau hanya di teras rumah—akan merasa betah.

Marc menekan bel rumah itu. Sejujurnya ia merasa was-was, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Siapa tahu saja si tuan rumah merasa terganggu dengan kehadirannya dan tak segan-segan akan melemparnya dengan sapu seperti yang pernah terjadi beberapa tahun yang lalu. Ia tak bohong mengenai sapu. Ia memang pernah dilempar sapu oleh seorang gadis karena keseringan menekan bel rumahnya.

Pintu terbuka. Tiba-tiba Marc merasa gugup. Spontan ia menggaruk cuping hidungnya. Sebisa mungkin ia mengatur mimik wajahnya agar tampak normal.

“Selamat malam,” sapanya formal sembari tersenyum.

Yang punya rumah masih tampak syok. Marc bisa melihat bahu wanita itu tegang dan hampir terjatuh kalau saja tangan wanita itu tidak meraih handle pintu.

“K—kau.” Laura masih belum bisa berkata-berkata. Masih terlalu syok.

Melihat situasi seperti ini, Marc langsung bereaksi. “Maaf, mengganggu waktu istirahatmu. Aku mendapatkan alamat rumahmu dari administrasi sekolah Miguel. Hm, maksud kedatanganku kemari, aku ingin mengembalikan tumbler Miguel yang ketinggalan di sekolahnya.” Marc menyerahkan botol minuman itu pada Laura.

Dengan tangan bergetar samar, Laura menerima botol minuman itu. “Terima kasih,” ucapnya kaku.

Suasana menjadi hening. Baik Marc maupun Laura tampak kehilangan topik untuk dibicarakan lebih lanjut.

“Baiklah, kalau begitu aku pamit,” kata Marc, canggung.

Laura mengangguk. “Ya.” Hanya itu yang bisa terucap.

Laura memandang tubuh Marc yang berbalik. Diam-diam wanita itu mengagumi punggung Marc. Pundaknya yang lebar. Dan otot-otot punggung yang terbentuk di balik kemeja kerjanya. Namun, itu bukan masalahnya. Marc tiba-tiba berbalik. Dan wajah Laura berubah panik dan terkejut. Suara pecahan kaca dalam rumah Laura membuat waktu seolah terhenti. Mereka menunggu dengan tegang. Dan sedetik kemudian, teriakan Miguel-lah yang terdengar.

“Miguel!”

Laura berlari masuk ke dalam rumahnya. Namun, ia kalah cepat. Marc mendahuluinya. Tangisan Miguel membuat hati dua orang itu ngilu. Ketakutan menggerogoti mereka.

Marc seperti sangat hapal dengan rumah Laura, seolah sudah pernah datang berkunjung. Melihat Miguel tersungkur di bawah meja dengan pecahan gelas di lantai serta butiran biji kecambah dan basahan air, Marc dengan cepat mengangkat Miguel dan mendekapnya di dada. Laura segera menghampiri Miguel yang menangis kesakitan. Air mata sudah membanjiri wajah wanita itu.

“Ambil obat luka dan air bersih. Kakinya terluka,” perintah Marc cepat. Laura segera mengambil apa yang disuruh Marc. Sementara Marc, pria itu membawa Miguel masuk ke dalam kamar. Tidak sulit menemukan kamar Miguel. Rumah ini hanya memiliki dua kamar. Marc yakin, pintu yang berstiker Captain Tsubasa itulah kamar Miguel.

Dengan cepat Marc membuka pintu kamar Miguel, bahkan menendangnya kasar, lalu masuk dan membaringkan Miguel di tempat tidurnya. Miguel masih menangis keras dan bibirnya merintihkan kesakitan. Hati Marc teriris. Tak lama, Laura datang dengan kotak obat dan sebaskom air.

“Sakit… sakit…,” rintih Miguel. Laura segera menghampiri dan memeluk putranya. Marc mengambil beberapa helai kapas dan mencelupkan dalam air itu, lalu perlahan-lahan membersihkan darah yang mengucur keluar dari telapak kaki Miguel.

“Akhhhh! Sakit,” teriak Miguel.

“Sabar, Miguel. Tahan, ya? Kau anak yang kuat, Nak,” hibur Laura. Marc melirik Laura sejenak, dan kembali membersihkan luka Miguel.

“Aww! Mommy, sakit,” rengek Miguel saat Marc meneteskan betadine pada lukanya, kemudian menutup dengan kapas yang ditempelkan di telapak kakinya.

“Sudah selesai.” Marc berpindah ke sisi sebelah Miguel, dan mengambil Miguel dari dekapan Laura dan memeluk tubuh bocah kecil itu. Kulit Marc sempat bersentuhan dengan Laura dan menciptakan sensasi aneh, sensasi masa lalu. Tapi, bukan itu fokus utama Marc. Ia hanya ingin menenangkan Miguel sekarang.

Marc mengusap punggung Miguel dan menepuk-nepuk pelan. “Kupikir kau jagoan. Ini hanya luka kecil. Berhentilah menangis, hm?” bisiknya di rambut Miguel. Ajaibnya tak sampai satu menit anak itu langsung berhenti menangis. Laura yang melihat dari sisi berlawanan terheran. Apa efek Marc begitu kuat bagi Miguel? Sepertinya ia harus mengkhawatirkan hal itu.

“Tapi, sakit,” rengek Miguel di dada Marc.

“Kau merengek lagi,” Marc mengingatkan. Miguel terdiam dalam dekapan Marc.

Lama tak terdengar suara. Anak itu tertidur ternyata. Marc perlahan-lahan memindahkan Miguel, memastikan posisi tidur bocah itu nyaman. Namun, dari sudut mata Marc, pria itu melihat ada yang aneh dengan lengan kiri Miguel.

“Kurasa lengannya terbentur meja sebelum terjatuh.” Marc membuka kotak obat lagi.

“Oh, astaga.” Melihat Marc yang hendak mengoleskan balsam di lengan Miguel, Laura berkata, “biar aku saja yang mengoleskannya.”

Marc menatap Laura sejenak—jenis tatapan yang akan membuat para ibu tersinggung. Kemudian, Marc menyerahkan balsam itu pada Laura tanpa berkata-kata. Laura segera mengoleskan balsam itu pada luka memarnya Miguel. Sangat pelan dan penuh perasaan.

Marc keluar dari kamar Miguel. Laura menyusulnya kemudian. Wanita itu pergi ke dapur dan membersihkan kekacauan—pecahan gelas yang berisi butiran biji kecambah. Sedangkan Marc berdiri di belakang wanita itu, memperhatikan Laura melakukan pekerjaannya.

“Berapa umur Miguel?” tanya Marc tiba-tiba. Gerakan Laura terhenti. Pundaknya menegang. Sekali lagi, ia merasa kesulitan menghirup udara, bahkan lebih sulit dari sebelumnya. Kenapa harus sekarang Marc bertanya tentang umur Miguel?

Laura memejamkan matanya sebelum menjawab. “4, dan akan menginjak 5 tahun.”

Marc tidak berani berharap. Tapi, ia hanya ingin tahu. “Di mana ayahnya?”

Laura benci berbohong, sekaligus benci mengakuinya. Namun, ia harus melakukannya. “Ayahnya… pergi saat aku mengandungnya.” Suara Laura tercekat.

Maafkan aku, batin Laura menyesal.

“Kupikir hubungan kita berakhir tepat saat kau mengandung Miguel, Laura,” Marc berkata dengan nada menekan. “Apa….”

Marc mulai curiga. Laura menegakkan tubuhnya, dan masih memunggungi Marc. Terlalu pengecut untuk menghadap Marc. Ia tahu, begitu ia membalikkan tubuhnya, saat itulah kebohongannya akan terlihat. Ia tidak akan pernah sanggup membohongi siapa pun, termasuk Marc jika bukan karena terpaksa.

Tangannya memegang kantong plastik yang berisi pecahan gelas dan butiran kecambah. “Miguel bukan anakmu, Marc, jika kau ingin memastikannya. Aku minta maaf atas masa lalu kita. Kau boleh membenciku karena meninggalkanmu. Itu hakmu. Tapi, sekali lagi kutegaskan,” Laura menarik napas. “Miguel bukan anakmu dan dia tidak ada hubungannya dengan masa lalu kita. Kuharap kau tidak mengungkit masalah itu lagi.”

Laura ingin menangis rasanya. Ia berbohong. Miguel anak Marc. Anak itu miliknya dan milik Marc, buah cinta mereka, yang mereka ciptakan 6 tahun yang lalu. Bohong jika Laura tidak merasa terluka menyembunyikan hal itu dari Marc. Ia harus mematuhi janji itu. Demi Marc, demi Miguel dan demi dirinya. Ia harus.

“Aku sungguh tidak mengerti. Kalau ayahnya masih hidup, kenapa Miguel tidak menyandang nama belakang ayahnya? Kenapa harus nama Sánchez?” Marc semakin menuntut. Ada emosi yang tersirat di dalamnya.

Hati Laura nyeri. Semakin banyak ia berbohong semakin sakit luka masa lalu di hatinya. “Sebenarnya apa yang kauinginkan, Marc Márquez?” Laura berbalik menghadap Marc dan menyorotnya tajam. Suaranya mendesis marah.

“Ayah Miguel,” Marc menjawab dengan nada rendah.

“Kupikir itu bukan urusanmu. Jangan pernah kau ikut campur atas kehidupanku!” desisnya.

Dada Marc seperti dihantam benda keras. Ia berharap, sangat berharap Miguel adalah anaknya. Ia berharap dirinyalah ayah Miguel. Tapi, ia tahu menuntut Laura seperti ini juga tidak ada gunanya. Pada kenyataan Miguel bukanlah anaknya.

Sembari menahan kesesakan di dada, Marc memaksakan seulas senyum. “Maaf. Aku tidak bermaksud…,” Marc mengangkat tangannya. “Tapi, bolehkah… aku mengunjungi Miguel lagi? Aku terlanjur sayang padanya. Bolehkah?” Marc setengah memohon. Mata itu menunjukkan kesungguhan yang sangat besar.

Keputusan yang sulit. Laura pernah mendengar tentang ikatan batin antara ayah dan anak laki-lakinya. Mereka memiliki ikatan yang sangat kuat. Tapi bolehkah ia bersikap egois dengan membatasi kedekatan mereka?

“Dengan satu syarat,” Laura menjawab lemah.

Marc menunggu. “Apa itu?”

“Kau tidak boleh terlalu sering mengunjunginya.”

“Baiklah. Terima kasih,” ucap Marc, masih belum dapat terima keputusan Laura. Sebenarnya ia ingin mengunjungi Miguel sesering yang ia inginkan. Tapi, Marc sadar. Ia harus tahu diri. Setidaknya, Laura mengizinkannya menemui Miguel. Itu sudah cukup.

***

Marc pulang ke apartemennya saat jarum panjang menunjukkan pukul 00.45 Pria itu menghabiskan waktu hampir 2 jam di rumah Laura, berada di dalam kamar Miguel, memandangi bocah laki-laki itu tertidur. Hal yang membosankan sebenarnya. Tapi, tidak bagi Marc. Pria itu merasa memiliki kedekatan khusus terhadap bocah itu, terlepas dari ikatan masa lalu Marc dan Laura. Marc tidak tahu. Sampai akhirnya Laura dengan halus mengusirnya dari rumah.

Marc membuka pintu kamarnya dan terkejut. Matanya sontak melebar melihat siapa yang sedang duduk di atas tempat tidurnya dengan tangan bersedekap di dada.

“Darimana saja kau?” tanya gadis itu dengan nada menuntut dan mata menyorot menuduh.

“Kantor. Memang di mana lagi?” Marc menjawab sekenanya.

“Jangan bohong!” Adel memandang Marc sengit pria itu berjalan melewatinya. “Kau tidak di kantor. Kau ke mana?” Suara Adel menuntut.

Marc duduk di atas kursi kerja yang berada di kamarnya. “Apa perlu aku melapor padamu setiap kegiatan yang kulakukan?” Marc bertanya balik. Tangannya mengambil koran tadi pagi dan pura-pura membacanya.

“Kau calon tunanganku! Tentu aku berhak mengetahui semua yang kaulakukan,” seru Adel posesif. Gadis itu menghampiri meja kerja Marc dan matanya menatap pria itu marah.

Marc menyingkirkan korannya dan balas menatap Adel. “Apa maumu, hm?”

“Apa?” Napas Adel tercekat. Apa maunya? Pria itu bertanya apa maunya? Sialan!

“Apa maumu, Adelaide Alessandra?”

“Jangan membalikkan pertanyaanku!” pekik gadis itu. “Apa begitu sulit menjawab pertanyaanku? Aku hanya ingin tahu darimana saja kau. Apa itu sulit?!” teriaknya dengan napas terengah-engah karena terlalu marah. Matanya lantas berkaca-kaca.

Marc bangkit berdiri, berputar melewati meja kerjanya, kemudian meraih Adel ke dalam pelukannya. Tak butuh waktu lama, gadis itu menangis di lehernya. Jari-jari gadis itu mencengkram kuat kemeja Marc. Marc menghela napas lemah.

“Aku minta maaf,” bisik Marc, sembari mengecup rambut Adel. Tangannya bergerak ke atas dan ke bawah di punggung gadis itu.

“Aku mencintaimu, Marc. Aku tidak ingin kehilanganmu. Aku tidak bisa hidup tanpamu,” isaknya. Marc mempererat pelukannya. “Setiap waktu aku diliputi kekhawatiran luar biasa akan kehilanganmu. Aku sangat takut kau akan berpaling pada gadis lain. Aku takut kau meninggalkanku. Aku tidak sanggup, Marc.”

Rasa bersalah menghantam dada Marc. Adel menjauhkan tubuhnya dari Marc dan memandang pria itu dengan tatapan terluka. “Baik jika kau tidak ingin memberitahuku apa yang kaulakukan, Marc. Tapi, berjanjilah satu hal padaku. Jangan ada gadis lain selain diriku di hatimu. Berjanjilah, Marc.” Air mata gadis itu terus bergulir di wajahnya.

Marc menyentuh pipi gadis itu dan mengusap air matanya dengan kedua ibu jarinya. “Ya, aku janji,” desahnya.

Adel mengalungkan lengannya di leher Marc, menarik tubuh pria itu lebih dekat ke arahnya. Bibir gadis itu kemudian melumat pelan bibir Marc. Marc membalasnya, bahkan sengaja menaikkan tempo ciuman mereka. Marc menggigit pelan bibir Adel, memasukkan lidahnya, memancingnya untuk menari-nari. Erangan demi erangan keluar dari mulut mereka. Tangan Marc juga tidak ketinggalan menyentuh bagian sensitif Adel. Pria itu bahkan dengan kasar merobek gaun kuning yang dikenakan Adel. Ia tahu ke mana ini akan berlanjut.

Marc mendorong tubuh Adel ke tempat tidur dan mulai menjelajahi seluruh tubuh gadis itu. Desahan Adel mengudara di kamar itu. Gadis itu menikmati setiap sentuhan dan cumbuan Marc.

Marc menyatukan tubuh mereka. Pria itu bergerak di atas tubuh Adel. Matanya terpejam, menikmati sensasi aneh di bawah tubuhnya. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Marc mengerang hebat saat ia mencapai puncak. Dan tanpa sadar bibir pria itu mengucapkan sebuah nama. Sebuah nama yang membuat Adel tersentak kaget.

To Be Continued…

Kalo gak ada halangan, mungkin besok atau lusa atau besoknya lagi *PHP ah* aku bakal ngepost mini FF. Thanks for reading. Kutunggu komennya 😉 Ciao!

Published by

Rita

I love writing ^_^

8 thoughts on “My Secret, His Son #3”

  1. ciao / arios . . .entah lah aq gak tau ejaan nya yg jelas baca nya arios / untuk arti berpisah. . Yg 1 portugis yg 1 spanyol . .

    Like

  2. Bagus banget… ditunggu kelanjutannya. Oh ya lanjutin lagi dong ff yg The Story of Us ceritanya masih gantung banget..penasaran ama kelanjutan cerita di part berikutnya

    Like

  3. Ah Adel…baru jg calon tunangan udah protektif gitu…gimana klo jd calon istri ? Atau istri ? Hmmm
    *tutup mata*

    klo baca FF ini itu sambil berimajinasi Marc jd Eksekutif Muda yang tiap harinya pake kemeja+jas+dasi+sepatu pantopel yg mengkilap+trus masuk kantornya sambil ngasih senyum menawannya kesemua karyawannya (termasuk aku)
    walaupun lelah, dan brbgai kesulitan kisah cinta masa lalu dan masa sekarang. Dan kehadiran anak kecil…yg hmmm. Bikin marc memutarkan terus masa lalunya.

    Di FF ini jg kadang sering ngabayangin marc jd ayah muda yang tipikal HOT DADDY hahaha.

    Like

Leave a comment