My Secret, His Son #2

My Secret1 copy

Laura melebarkan matanya terkejut. “Kau… bilang siapa?” tanyanya dengan suara tercekat.

“Marc. Pria yang tadi datang ke toko bunga kita itu lho, Mommy,” jawab Miguel polos.

Namun, seketika anak itu sadar bahwa ia baru saja membuat kesalahan. Alis Laura turun dan Miguel tahu apa artinya itu. Tidak seharusnya ia menyebut nama Marc. Laura pasti marah. Ibunya melarangnya untuk berbicara pada orang asing. Miguel menundukkan kepalanya.

“Bagaimana kau bisa mengenalnya, Miguel?” tanya Laura dengan suara bergetar.

“Aku menghampirinya tadi. Karena dia tampak melamun. Aku pikir dia kesepian karena wanita yang datang bersamanya sedang bersamamu. Kau marah padaku, Mommy?” tanya Miguel takut-takut.

Laura memejamkan matanya sejenak. Ada dorongan aneh muncul dalam dirinya. Laura merasa marah. Ia ingin sekali memarahi Miguel. Tapi, ia sadar sebagai seorang ibu yang menyembunyikan banyak hal dari anak sendiri akan membuat Miguel bertanya-tanya kenapa Laura memarahinya. Miguel tidak tahu apa-apa.

“Miguel, maukah kau berjanji satu hal padaku?” tanya Laura, menghembuskan napas dengan berat. Matanya panas.

“Janji apa, Mommy?” Miguel tampak serius mendengarkan omongan Laura.

Laura menyentuh pipi Miguel. “Jangan lagi berbicara dengan orang asing. Kau mengerti?”

Miguel mengangguk patuh. “Aku mengerti.”

***

Jarum jam menunjukan angka sebelas malam dan Laura masih terjaga di samping tubuh Miguel yang sudah terlelap beberapa jam yang lalu. Perasaan Laura gundah. Pikirannya masih melayang, mengingat kejadian siang itu. Sama sekali Laura tidak menyangka ia akan bertemu dengan Marc dan calon tunangannya. Entah kenapa, ada perasaan tidak rela dan terluka di hatinya.

Tapi, Laura sadar, apa hak dirinya untuk merasa seperti itu? Laura hanya masa lalu Marc. Mungkin Marc juga sudah melupakannya. Laura banyak berubah, walaupun tidak drastis. Tubuhnya lebih berisi sejak memiliki Miguel, tapi tidak gemuk. Wajahnya juga lebih dewasa, terlebih sikap Laura juga. Namun, hal yang tak bisa dipungkiri, Miguel adalah hasil dari masa lalu mereka. Mengingat kenangan itu, hati Laura kembali nyeri.

Laura ingat hubungan 7 bulan yang ia lalui bersama Marc. Laura mencintai Marc dan memberikan semuanya untuk pria itu. Tidak ada yang tahu mengenai hubungan mereka, bahkan kedua orangtua Laura sekalipun. Sampai akhirnya ketika Laura menemukan dirinya hamil, orangtuanya marah besar dan sangat kecewa. Mereka tidak menyangka Laura yang merupakan anak satu-satunya dan selalu menjadi kebanggaan mereka melakukan hal sedodoh itu di usia yang masih belia.

Laura tahu ia membuat kesalahan besar. Tapi, ia bersikeras untuk tidak memberitahu siapa ayah dari anak yang dikandungnya. Ada satu perjanjian yang telah ia buat, dan Laura bersumpah tidak akan mengatakannya pada siapapun, kecuali ibunya yang memang sudah tahu akar permasalahannya.

Laura ingat hari-harinya saat mengandung Miguel begitu menyiksa. Terbesit dalam benaknya untuk menggugurkan janin di rahimnya. Laura tidak siap menjadi ibu. Tapi, di saat bersamaan ia takut. Ia takut jika melakukan kesalahan lagi. Hati nuraninya juga tidak mengizinkannya untuk malakukan hal itu. Anak ini tidak bersalah. Anak ini tercipta atas nama saling cinta. Tapi, tetap saja, anak ini aib. Laura telah mencoreng nama keluarganya dan mempermalukan kedua orangtuanya.

Saat itu ia hanya bisa menangis, menanggung semuanya sendirian. Laura ingat saat ia menyentuh perutnya yang mulai membuncit di hari terkutuk itu. Ia menyebut hari itu terkutuk karena hampir lagi-lagi ia melakukan kesalahan besar.

Sebelumnya Laura sempat membayangkan tubuh mungil yang hidup di dalam rahimnya, berkembang terus hari demi hari. Bahkan Laura membayangkan akan menggedongnya saat bayi mungil itu keluar. Tapi, itu tidak akan terjadi. Mungkin ia harus mengucapkan selamat tinggal pada janin ini. Ini jalan terbaik, untuk kebaikan semua orang.

Laura membeli beberapa pil pencuci perut. Sebenarnya itu pil untuk memperlancar menstruasi. Ragu-ragu dibukanya kemasan pil itu. Tangannya bergetar. Air matanya juga mulai berkumpul di sudut matanya. Batinnya saling bertentangan. Ia mencintai anak ini, tapi ia tidak mungkin mempertahankannya.

Laura yang dari kecil hidup bersama anak-anak karena ibunya merupakan penjaga harian panti asuhan. Saat beranjak remaja, Laura sering membantu ibunya mengurus anak-anak panti. Laura sayang pada mereka semuanya. Membayangkan anak-anak itu, Laura kembali mengurungkan niatnya. Ia tidak akan tega membunuh anaknya sendiri.

Namun, ayahnya yang berprinsip keras dan selalu menerapkan disiplin tinggi saat mendidiknya membuat nyali Laura ciut. Laura ingat raut ayahnya yang begitu marah sekaligus kecewa. Laura, putri kebanggaannya yang selalu disanjung setinggi langit oleh beliau dengan segudang prestasinya. Laura sadar jika ia terus mempertahankan janin ini, pihak universitas akan tahu dan mereka akan menghentikan beasiswa kuliah kedokterannya. Keluarganya tidak akan sanggup membiayai kuliahnya jika tidak ada beasiswa yang susah payah ia dapatkan itu. Tapi, harus bagaimana lagi?

Dengan menguatkan tekadnya, Laura mengambil pil itu dan hendak meneguknya ketika tiba-tiba saja pintu kamarnya terjeblak terbuka. Laura otomatis terkejut dan pil itu terjatuh ke lantai. Robert, ayahnya masuk ke kamarnya dengan raut begitu murka. Postur tubuhnya tampak keras. Laura bergidik ngeri.

“Kaupikir apa yang sedang kau lakukan, hah?!” tegur Robert dengan nada tinggi dan membuat Laura bergidik. Mata Robert tampak memerah.

Laura menunduk. Ia tidak berani menatap wajah ayahnya.

“Dasar bodoh! Kaupikir dengan membunuh anak itu akan menyelesaikan semua masalah? Begitu?” tanya Robert, masih dengan nada marah. “Aku tidak menyangka memiliki anak gadis sebodoh dirimu. Apa kau ingin membuatku kecewa lagi, hah? Kau ingin membuat Dad-mu ini mati dengan perbuatan bodohmu itu?” Robert menatap marah ke arah Laura. Tapi, di balik tatapan itu ada kelembutan yang tersirat.

Robert menghampiri Laura dengan tertatih-tatih dan mendekapnya erat. Air mata seketika membanjiri mata mereka. Laura membalas pelukan ayahnya. Untuk pertama kalinya Laura melihat ayahnya menangis, di hadapannya. “Semua aturan yang pernah kubuat untuk tidak menangis di depan putriku sendiri sudah kulanggar hanya untuk menunjukan cintaku padamu, Laura. Tidak peduli bagaimana pun keadaanmu, Nak, kau tetap anakku,” ujar Robert, semakin mempererat pelukannya di tubuh Laura.

“Aku minta maaf, Dad. Sungguh aku minta maaf,” balas Laura, tersedu-sedu.

Robert menjauhkan tubuhnya dari Laura. Ditatap mata anak gadis satu-satunya itu dengan penuh kelembutan. Tidak ada lagi kemurkaan yang ditunjukan pria paruh baya itu seperti ketika beliau masuk ke kamar Laura tadi. “Kau tidak perlu membunuh anakmu. Jangan pernah kau lakukan itu, Nak. Ini anakmu, darah dagingmu. Jangan menjadi seorang pembunuh. Kalau kau berani berbuat, itu artinya kau harus bertanggung jawab. Kau harus mempertahankan anak ini. Jaga dia, Laura. Jaga dia sebaik kau menjaga dirimu sendiri. Cintai dan sayangi dia sebaik kau mencintai laki-laki yang menghamilimu,” ucap Robert lembut, penuh cinta khas seorang ayah.

“Aku tidak bisa Dad. Aku tidak siap menjadi ibu untuk anak ini. Aku sudah mempermalukan Dad, mencoreng nama keluarga kita. Aku membuat Dad kecewa dan mengkhianati kepercayaan yang Dad berikan padaku. Aku tidak bisa menjadi apa yang Dad ingini. Aku benar-benar tidak berguna. Aku pecundang, Dad. Aku benar-benar sampah,” raung Laura histeris dan perih.

“Sssttt…,” Robert merengkuh wajah Laura dan mengusap air matanya. “Kau bukan sampah, Nak. Kau bukan pecundang. Kau tetap anak kesayangan Dad dan kau tetap anak kebanggaan Dad. Apa pun yang terjadi kau tetap anakku, Sayang. Tidak peduli begitu banyak cibiran yang mengarah ke keluarga kita. Dad akan selalu sayang padamu. Dad akan mendukungmu sekalipun kau tidak mau memberitahu siapa ayah anak ini. Itu tidak masalah, Nak. Sekarang tugasmu adalah kau harus berjuang mempertahankan anak ini. Aku dan Mom-mu akan senantiasa berdiri di belakangmu. Kami mencintaimu, Laura. Kau harus berjuang untuk anak ini,” ucap Robert terisak-isak. Robert kembali menarik Laura ke dalam pelukannya. Tangannya mengusap-ngusap punggung Laura yang rapuh. Robert mencium puncak kepala Laura penuh sayang.

Laura menangis mengingat kejadian itu. Ayahnya yang memiliki hati sekeras batu dan galak bisa menangis untuknya. Laura tahu Robert bukan tipe yang mudah mengumbar rasa sayang. Laura sangat bangga memiliki ayah seperti Robert yang selalu membesarkan hatinya dan mengangkatnya saat ia terjatuh ke titik terendah. Robert rela berkorban untuknya. Bahkan Robert menjadi perisainya saat menghadapi orang-orang yang mencemooh dirinya. Robert juga rela membawa Laura pindah dari Cervera ke Sevilla, ke kota yang tidak seorang pun mengenal keluarganya demi melindungi Laura dan juga memulai semuanya di sana.

Laura sangat berterima kasih pada kedua orangtuanya.

***

Bocah laki-laki itu berkali-kali menoleh ke luar gerbang sekolah yang sudah terkunci. Raut wajahnya tampak gelisah. Sudah setengah jam berlalu sejak bel sekolah berbunyi, tapi ia belum dijemput juga.

“Kenapa Mommy lama sekali? Biasanya dia tidak pernah selama ini. Mr. Rossi, apakah kau tahu kenapa Mommy belum datang juga?” tanya Miguel kepada seorang pria tua yang merupakan penjaga sekolah yang sedang duduk di pos penjagaan sambil membaca koran.

Mr. Rossi yang ditugaskan menjaga Miguel oleh pihak sekolah cuma mengangkat bahu. “Kurasa dia terjebak macet. Bersabarlah,” ujarnya datar, kembali melanjutkan aktivitasnya.

Miguel yang bersandar di pos penjagaan hanya membuang muka sebal. Sejujurnya ia tidak terlalu suka pada penjaga sekolah itu. Sikapnya sangat tidak bersahabat, menurut Miguel.

15 menit kemudian. Belum ada tanda-tanda kedatangan Laura. Miguel mulai bosan. Ia kemudian duduk di bawah pos penjagaan, lalu mengambil ranting kayu kecil dan mulai menggambar tidak jelas di tanah yang berpasir itu. Wajah cemberutnya tidak bisa disembunyikan.

“Mr. Rossi, kenapa Mommy lama sekali?” Lagi. Mr. Rossi mulai kehilangan kesabaran. Hampir setiap dua menit sekali bocah itu menanyakan hal yang sama sejak setengah jam yang lalu.

“Kau tunggu sajalah, Miguel. Kurasa ibumu tidak akan setega itu tidak menjemputmu. Pihak sekolah sudah bilang kepadaku ibumu akan terlambat. Tidak bisakah kau mengerti?” Suara Mr. Rossi agak meninggi dan membuat Miguel sedikit terkejut.

“Kenapa kau berbicara seperti itu padaku? Aku cuma bertanya, kau menjawabnya dengan kasar. Kata Mommy ketika ditanya, kita tidak boleh menjawab seperti itu. Sangat tidak sopan,” komentar Miguel dan membuat Mr. Rossi naik darah.

“Lalu, kau mau apa? Setiap dua menit sekali kau menanyakan hal yang sama. Aku bosan, kau tahu? Seharusnya sekarang aku sudah bersantai di rumah, bukannya terjebak bersamamu di sini.” Mr. Rossi semakin menunjukan rasa tidak sukanya.

“Kau bisa pulang kalau kau tidak senang berada di sini bersamaku,” jawab Miguel.

“Dan aku akan kehilangan pekerjaanku. Begitu maksudmu?” sergah Mr. Rossi, menyipitkan matanya.

“Aku tidak bilang seperti itu.”

Mr. Rossi pun mengabaikan Miguel. Ia tidak mau menghabiskan waktunya berdebat dengan anak ini. Mr. Rossi tahu Miguel. Anak ini tidak seperti anak-anak lainnya. Terlampau cerdas dan menjengkelkan.

Miguel kembali meraih ranting kayunya dan mulai membuat lubang kecil dengan memutar-mutar ujung ranting itu ke tanah. Ia kesepian dan benar-benar bosan.

Tak lama setelah itu, terdengar suara klakson mobil di luar gerbang yang terkunci. Memang pagarnya sengaja ditutup karena sekolah telah usai. Walaupun begitu tetap saja masih ada beberapa orang yang memiliki kepentingan kadang datang ke sekolah ini.

Miguel tampak menoleh sejenak. Itu bukan Mommy-nya. Lagi-lagi ia menundukkan kepalanya.

Mr. Rossi buru-buru berlari membuka gerbang. Saat mobil itu melewati pos penjagaan, mobil itu malah berhenti. Seseorang kemudian keluar dari mobil tersebut dan menghampiri pos penjagaan.

“Miguel.”

Miguel sontak mendongak dan melihat siapa yang memanggilnya. “Uncle Marc,” balas Miguel dengan nada keterkejutan, tapi terdengar antuasias.

Marc menyejajarkan tubuhnya dengan posisi duduk Miguel. “Kau bersekolah di sini? Kenapa belum pulang?” tanya Marc.

“Mommy belum menjemputku,” jawab Miguel dengan nada sedih dan wajahnya kembali dicemberutkan.

“Hm, pasti membosankan, kan mengunggu sendirian di sini? Ayo, kutraktir kau makan es krim,” ajak Marc riang.

“Benarkah? Asyik,” seru Miguel senang.

“Eh, Tuan. Aku disuruh wali kelasnya untuk menemaninya di sini. Ibunya sedang dalam perjalanan kemari.” Mr. Rossi tiba-tiba menyeletuk.

“Tidak apa-apa, Mr. Rossi. Aku tidak akan lama. Kami akan segera kembali ke sini. Kau tak usah khawatir. Aku mengenal ibunya,” jawab Marc ringan. Saat Mr. Rossi hendak mengajukan keberatannya, suara Miguel kemudian menyeletuk di antara mereka.

“Hm, mungkin Mr. Rossi benar, Uncle Marc. Mommy masih dalam perjalanan. Mommy pasti khawatir saat tiba di sini dan tidak menemukanku. Aku tidak mau membuatnya cemas. Lagipula, aku berniat menolak ajakanmu. Aku baru ingat tadi pagi Mommy mengingatkanku untuk tidak minum es. Soalnya di sini…,” Miguel menunjuk ke tenggorokannya. “Di sini masih belum sembuh benar,” ujar Miguel dengan tampang polosnya menatap Marc.

“Oh? Kau masih merasakan nyeri di tenggorokanmu?” Marc kembali berjongkok di depan Miguel dan memasang ekspresi peduli. Miguel mengangguk. “Well, kalau begitu aku akan mentraktirmu lain kali.” Marc mengusap rambut cokelat Miguel dan tersenyum padanya.

“Apa kau akan pergi sekarang?” tanya Miguel.

“Hm, ya… tidak. Aku akan menemanimu sampai dijemput Mommy-mu.” Marc mengulum senyumnya ketika melihat wajah Miguel berbinar.

“Terima kasih,” ucap Miguel manis dan terlihat sangat menggemaskan di mata Marc. Kali ini Marc akan mengubah pandangannya terhadap anak-anak. Mungkin ia akan mulai menyukai, atau bahkan akan mencintai mereka. Dengan catatan setiap anak harus memiliki sikap seperti Miguel. Dasar picik!

“Mommy-mu sering terlambat menjemputmu ya?” tanya Marc, membuka pembicaraan dengan Miguel. Mereka berdua sedang duduk di bawah pos penjagaan. Bisa ditebak, awalnya Mr. Rossi sangat syok berat melihat tingkah bosnya, tapi Marc tidak mempedulikannya.

“Kadang-kadang. Tapi, tidak pernah selama ini sebelumnya,” jawab Miguel, kembali cemberut. Bibirnya dimajukan ke depan dan otomatis membuat Marc tertawa geli. “Eh? Apa yang kautertawakan? Ada yang lucu ya?” Miguel balik bertanya.

“Kau mengingatkanku pada seseorang.” Marc menoleh ke arah Miguel.

“Siapa?” Miguel menatap Marc dengan penuh minat dan penasaran.

Ibumu, Miguel, Marc menjawab dalam hati. Tapi, Marc tidak mungkin mengatakan secara terang-terangan di depan anak ini. Miguel belum mengerti. Marc lalu tersenyum pada Miguel dan mengacak-acak rambutnya lembut.

“Kau sangat ingin tahu, eh?” tanya Marc dan langsung disambut anggukan semangat dari Miguel.

“Ayo katakan,” desak Miguel.

Mata Marc kemudian menerawang jauh. Pikirannya kembali ke beberapa tahun silam. “Orang itu … sangat istimewa,” kata Marc.

“Apakah dia seorang wanita?” Miguel bertanya. Marc kembali menoleh padanya.

“Ya, wanita yang sangat istimewa,” gumam Marc.

“Apa wanita itu yang datang bersamamu ke toko bunga Mommy-ku?” tanya Miguel lagi.

“Bukan. Bukan dia,” potong Marc langsung.

“Lalu, siapa? Kau benar-benar membuatku penasaran,” sungut Miguel tidak sabaran. Bocah itu menggaruk-garuk pipinya dan kembali membuat Marc tersenyum senang. Mungkin itu tindakan biasa. Semua orang pasti sering menggaruk pipinya. Tapi, tidak dalam kondisi tertentu. Ingatan Marc kembali menyelam ke masa lalunya. Melihat bocah ini, Marc seperti mengalami deja vu. Miguel sangat mirip Laura, sikap dan sifatnya.

“Aku tidak bisa memberitahumu siapa, Miguel. Ini rahasia. Yang pasti dia lebih istimewa daripada wanita yang datang bersamaku ke toko bunga Mommy-mu,” jawab Marc tenang.

“Rahasia?” ulang Miguel, mengernyitkan keningnya.

“Sesuatu yang hanya diketahui oleh dirimu sendiri. Dan orang lain tidak boleh tahu. Kau mengerti?” Miguel mengangguk paham. Ia tidak bertanya-tanya lagi pada Marc. Bocah itu kemudian memusatkan perhatiannya ke pagar yang setengah terbuka. Laura belum datang. Miguel menghembuskan napasnya dengan berat, lalu menekuk lututnya dan merebahkan kepalanya di atas sana.

Marc yang melihat hal itu kemudian menggeser posisi duduknya lebih dekat lagi ke arah Miguel dan mengusap punggung mungil bocah itu. “Kau lelah ya?” tanya Marc lembut. Miguel menjawab dengan anggukan pelan. Entah kenapa Marc merasakan ada dorongan aneh dalam dirinya. Marc seperti bisa merasakan apa yang dirasakan Miguel. Dorongan yang sangat kuat.

Marc pun mendekap Miguel ke dalam pelukannya dengan lembut. Rasanya hangat dan nyaman sekali. Marc belum pernah merasakan perasaan ini sebelumnya. Kalau boleh ia ingin memeluk Miguel selama yang bisa ia lakukan. Marc mengecup puncak kepala Miguel dan merasakan aroma keringat dan shampo yang berpadu. Rasanya enak dan ia menyukainya.

“Bagaimana kalau aku saja yang mengantarmu pulang ke rumah? Kau sudah menunggu terlalu lama dan kelelahan,” bisik Marc.

“Tidak,” tolak Miguel langsung. “Mommy sudah dalam perjalanan menuju kemari. Mungkin sebentar lagi datang. Aku masih kuat kok tunggu Mommy di sini,” balas Miguel pelan. Marc tertegun mendengar jawaban Miguel. Anak sekecil ini punya kesabaran tinggi menunggu Mommy-nya. Diam-diam Marc berpikir sebegitu hebatnyakah Laura mendidik anaknya sampai-sampai Miguel memiliki karakter yang begitu luar biasa.

Suara deruan mobil di luar pagar sekolah sontak membuat Miguel bangkit berdiri. Senyum lebar langsung tercetak di bibir Miguel. “MOMMY!!!” teriak Miguel sambil berlari melewati pagar saat melihat wanita itu keluar dari mobil biru.

***

Laura diliput kekhawatiran luar biasa. Berkali-kali ia mengutuki petugas kebersihan yang menurutnya sangat lamban membersihkan tumpahan oli akibat kecelakaan beruntun yang menimpa beberapa mobil di jalan tol. Laura bukannya tidak punya hati nurani. Hanya saja sudah hampir satu jam ia terjebak di sini. Ia memikirkan bagaimana nasib Miguel sekarang. Laura tidak tega membiarkan Miguel menunggu terlalu lama di sekolah.

Akhirnya setelah jalanan sudah dibersihkan, Laura langsung menuju sekolah Miguel. Mobilnya kemudian berhenti di depan pagar sekolah. Laura buru-buru keluar dengan wajah cemas.

“MOMMY!!!”

Miguel berlari ke arah wanita itu dan dengan sigap Laura langsung mendekapnya erat sekali. Rasa cemas dan khawatir hilang begitu saja saat tubuh mungil itu di dalam pelukannya.

Laura kemudian melepaskan pelukannya dan menatap Miguel dengan intens. “Mommy minta maaf, Nak. Tadi ada kecelakaan besar dan jalanan macet sekali. Kau baik-baik saja, kan?” sesalnya seraya membelai lembut rambut Miguel.

Miguel menggeleng cepat. “Tidak apa-apa. Aku sangat baik di sini, Mommy,” bibir mungil itu berucap.

“Syukurlah. Mommy sangat takut, Nak. Sekali lagi Mommy minta maaf,” kata Laura, dengan nada penyesalan yang amat sangat.

“Iya, Mommy dimaafkan. Tapi, aku lelah,” ucap Miguel.

“Ya sudah, kita pulang ya?” Laura mengecup kening Miguel, kemudian bangkit berdiri. Dan di saat itulah ia melihat sosok tubuh itu berdiri tidak jauh darinya dan sedang memandang ke arahnya. Sejenak jantung Laura berhenti berdetak dan terkejut. Sosok itu kemudian berjalan mendekatinya dan Miguel.

“Oh ya. Mommy tadi Uncle Marc yang menemaniku menunggumu datang. Dia sangat baik padaku,” jelas Miguel saat Marc telah tiba bersama mereka. Laura menatap Miguel, kemudian beralih pada Marc. Tiba-tiba saja Laura merasa lidahnya kelu dan perutnya mulas. Tanpa sadar ia menggigit bibir bawahnya dan tatapannya mulai tidak fokus, tanda ia sedang salah tingkah karena kehadiran Marc.

Diam-diam Marc tersenyum dalam hatinya. Laura terlalu transparan. Tingkahnya barusan menunjukan bahwa wanita itu pasti masih ada rasa padanya. Tapi, Marc tidak mau mengambil kesimpulan secepat itu.

“Terima kasih,” ucap Laura kaku. “Ayo, Nak. Kita pulang,” kata Laura dan menggiring Miguel masuk ke dalam mobilnya. Sembari menunggu Laura masuk ke dalam mobil, Miguel membuka kaca jendela dan berkata, “sampai jumpa lagi, Uncle Marc!”

Marc tersenyum lebar dan membalasnya dengan lambaian tangan. Kemudian mobil itu pun berlalu dari hadapannya. Marc memutar tubuhnya dan berjalan menghampiri mobilnya yang terparkir di sebelah pos penjagaan. Namun, saat melewati tempat itu, mata Marc tak sengaja menangkap sebuah tumbler bergambar Captain Tsubasa tergeletak di sana. Marc mengangkat alisnya dan serigaian muncul di bibirnya. Segera ia mengambil tumbler itu dan memasukkan ke dalam mobil. Sebuah rencana langsung terlintas di kepalanya.

“Mr. Rossi, aku butuh bantuanmu,” seru Marc.

To Be Continued…

Yang mau komen silakan komen. Yang gau mau juga gak pa-pa ๐Ÿ˜‰

Published by

Rita

I love writing ^_^

10 thoughts on “My Secret, His Son #2”

    1. ‘Mr. Rossi buru-buru berlari membuka gerbang. Saat mobil itu melewati pos penjagaan, mobil itu malah berhenti. Seseorang kemudian keluar dari mobil tersebut dan menghampiri pos penjagaan.’

      ‘Bisa ditebak, awalnya Mr. Rossi sangat syok berat melihat tingkah bosnya, tapi Marc tidak mempedulikannya.’

      Si Marc pemilik yayasan sekolahnya Miguel. Next part bakal dijelaskan kenapa Marc ada di sana ๐Ÿ™‚

      Like

  1. yey akhirnya lanjut juga ^^
    eh , tokoh satpam si mr. rossi itu ceritanya valentino rossi ya? wkwkwk… lucu aja ngebayangin abang vale pake baju satpam plus bawa-bawa pentungan (*itukanhansip*) hahaha…
    ditunggu lanjutannya ๐Ÿ˜€

    Like

  2. Maaf yahhhhh Rita baru aku baca ๐Ÿ™‚

    Dapet Quote bagus di part ini ๐Ÿ˜€
    “cintai dan sayangi dia sebaik kau mencintai laki-laki yang menghamilimu” -Robert, Laura’s Daddy-

    ngebayangin Vale jadi satpam….lucu jg ๐Ÿ˜ฎ trus Marc jadi bosnya Vale, hahaha macemana ini dgn tiba2 dunia jd terbalik di FFmu Rit ๐Ÿ˜€

    BTW apakahhhh rencana Marc ??????

    Like

  3. ga sabar nunggu lanjutannya.. setelah selesai baca ff kamu yg “Don’t Say You Never Love Me” aku beneran jd ketagihan dateng ke blog kamu, soalnya cerita-cerita kamu fresh dan menarik bgtt
    ohiya, kl ada waktu boleh lah mampir ke tempatku http://praditavind.blogspot.com dan tinggalin sedikit jejak lah soalnya aku jg mulai belajar nulis ff karena terinpirasi sama kamu hehe
    Ditunggu kunjungannya ya ๐Ÿ™‚

    Like

    1. Haiiiiiiiiiiiiiii……….. aku baru saja dari blog kamu lho. Aku suka banget ceritanya yang Our Wonderful Mistake. Udah aku babat habis ceritanya. Aku suka!!! Gaya penulisanmu dewasa banget *aku iri, ya Tuhan* dan diksinya juga indah. Tapi, kurangnya cuma satu, kurang panjang hehehhe…. *ditabok* Maaf gak bisa komen di sana, soalnya susah banget kalo mau komen di blogspot. Aku ora mudeng toh wkwwkkwk….. Oh ya, makasih juga udah mampir ke blog-ku. Makasih yooo…. :p ๐Ÿ˜€ ๐Ÿ˜‰

      Like

  4. hahaha
    sumpah aku ngakak banget pas baca nama satpamnya itu mr. rossi. langsung mikir, apa jangan jangan itu valentino rossi yang jadi satpam. hahaha
    kamu punya dendam sama rossi ya??? sampe sampe dia dijadiin satpam gitu. mana si marc jadi bosnya lagi. haha
    kocak deh pokoknya.

    Like

    1. Gak dendamlah. Cuma kurang suka aja sih. Tapi fine-fine aja kok. Kebetulan aku gak ada bayangan siapa yang pantas meranin tokoh si satpam. Eh, muka Rossi nongol di kepalaku. Hihihi….

      Like

Leave a reply to Rita Cancel reply