My Secret, His Son #1

My Secret1 copy
“Mommy…,” panggil seorang bocah laki-laki seraya menghampiri ibunya yang sedang membuat sarapan pagi.

Laura meninggalkan pekerjaannya begitu mendengar panggilan putranya. Wanita itu lalu berjongkok di depan Miguel. “Kenapa, Sayang?” tanya Laura penuh perhatian.

“Sepertinya aku kena flu dan,” Miguel menunjuk ke tenggoroknya, “di sini terasa panas dan aku kesulitan menelan ludah.”

Laura menyentuh dahi Miguel dan merasakan kulitnya sedikit hangat. “Ya sudah. Hari ini Miguel tidak usah masuk sekolah. Nanti biar Mommy yang bilang ke Mrs. Ham. Kau boleh beristirahat hari ini,” ucap Laura dengan nada suara khas keibuan.

Miguel tampak berpikir sejenak, sebelum bertanya, “Apakah aku boleh menonton Captain Tsubasa?”

Dari bola mata Miguel, Laura melihat anak itu sedang mengharapkan ia menjawab ya. Laura tersenyum dan Miguel langsung mengambil kesimpulan bahwa ia boleh menonton kartun kesukaannya itu. “Terima kasih, Mommy. Aku sayang padamu,” Miguel mengecup cepat pipi ibunya dan berlari menuju ruang tengah. Dengan sigap bocah itu menghidupkan televisi dan mulai asyik menonton.

Laura kemudian melanjutkan acara memasaknya. Namun, acaranya kembali terganggu dengan suara dering telepon di dapur. Laura mematikan kompornya dan mengangkat gagang telepon. “Halo, rumah Morning Glory Florist, ada yang bisa saya bantu?”

“Halo, Ms. Sanchez Senang sekali mendengar suaramu. Aku ingin memesan bunga dalam jumlah besar untuk acara pertunanganku,” jawab orang di seberang sana.

“Oh, tentu saja. Kapan acara pertunangannya, Miss?”

***

“Terserah kau saja, Adel.”

Lagi-lagi Adelaide Alessandra dibuat kesal oleh pria yang duduk di sampingnya ini. Mereka sedang berada di rumah gadis itu, untuk membicarakan acara pertunangan mereka yang akan diadakan satu minggu lagi. Tapi, Adel jengkel setengah mati dengan calon tunangannya. Setiap Adel menanyakan dekorasi untuk acara itu, Marc selalu menjawab terserah pada gadis itu. Marc jenis pria yang fleksibel. Saking fleksibel semuanya diserahkan pada Adel. Marc hanya mengikuti saja apa keinginan gadis itu.

“Apa kau tidak memiliki kata lain selain ‘terserah kau saja, Adel’. Kau ini sebenarnya minat tidak sih bertunangan denganku?” protes Adel, tidak senang.

Marc tidak menghiraukan protes gadis itu. Ia melirik arlojinya sebentar dan berkata, “Aku harus pergi sekarang. Ada rapat yang harus kuhadiri. Aku percaya padamu untuk mengatur segalanya.”

Seusai berkata seperti itu, Marc pun pergi dan membuat Adel bertambah kesal. Terkadang Marc memang sangat menyebalkan. Pria itu selalu sibuk dengan pekerjaannya. Sedikit pun tidak mau peduli dengan dirinya.

Adel kemudian mengambil ponselnya dan menekan beberapa nomor seperti yang tercantum di halaman sebuah majalah yang tadi ia perlihatkan pada Marc.

“Halo, rumah Morning Glory Florist, ada yang bisa saya bantu?” sahut sebuah suara di sambungan telepon.

“Halo, Ms. Sanchez Senang sekali mendengar suaramu. Aku ingin memesan bunga dalam jumlah besar untuk acara pertunanganku,” jawab Adel ceria.

“Oh, tentu saja. Kapan acara pertunangannya, Miss?”

“Satu minggu lagi,” Adel mengulum senyumnya. Pikirannya mulai melayang-layang memikirkan hari pertunangannya.

“Baiklah. Silakan sebutkan nama Anda, Miss, dan bunga seperti apa yang Anda inginkan?”

“Adelaide Alessandra Stoner. Sebenarnya ada beberapa jenis bunga. Oh ya, apakah kita bisa bertemu? Aku perlu beberapa saran untuk memilih bunga-bunga itu.”

“Tentu, Ms. Stoner. Anda bisa langsung datang ke toko saya. Saya akan sangat senang menyambut Anda di sini.”

“Kapan kita bisa bertemu?” tanya Adel.

“Besok, bagaimana?”

“Baiklah. Kalau begitu sampai ketemu besok.” Adel mematikan teleponnya dan senyumannya mengembang. Hm, mungkin besok ia harus mengajak Marc ke sana. Ia akan membicarakan hal itu nanti malam.

***

Hari ini Laura tidak bisa meninggalkan rumah karena harus memantau kondisi Miguel. Terpaksalah ia menyuruh karyawannya untuk menjaga toko bunganya. Laura bersyukur kliennya yang ingin memesan bunga dalam jumlah banyak itu tidak meminta untuk bertemu hari ini.

Laura Amberita Sanchez, ibu muda yang baru berusia 22 tahun harus bekerja ekstra keras untuk menghidupi anaknya, Miguel yang akan menginjak usia 5 tahun. Laura mengandung Miguel saat dirinya baru berusia 17 tahun dan baru menginjakkan kakinya di bangku kuliah. Itu semua terjadi karena kecelakaan. Naluri anak muda dan Laura yang pada saat itu tidak pernah berpikiran bahwa ia akan mengandung anak laki-laki yang ia cintai.

Laki-laki itu yang merupakan senior Laura dan beberapa tahun lebih tua darinya, tidak pernah tahu kalau Laura hamil. Laura sengaja tidak memberitahunya karena ia tidak ingin menghancurkan masa depan laki-laki itu. Cukup dirinya saja dan Laura tidak ingin menyeret laki-laki itu ke dalam masalahnya. Jadilah ia memilih untuk menghilang dari kehidupan laki-laki itu. Semuanya dilakukan semata-mata karena Laura mencintainya.

Laura tidak pernah menyesali sedikit pun kehilangan masa remajanya yang harus digantikan dengan menjadi ibu muda yang menggendong anak ke sana kemari. Dukungan dari keluarganya, terutama ibu dan ayahnya yang sangat besar membuat Laura semakin yakin dirinya mampu menjadi ibu yang terbaik untuk Miguel. Orangtuanyalah yang membesarkan hatinya.

“Aku tidak mau makan,” seru Miguel, menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Bocah itu berkali-kali menggelengkan kepalanya.

“Tapi, kau harus makan, Nak,” bujuk Laura, kembali ingin menyuapi Miguel.

Miguel tetap keras kepala tidak mau makan dan menguji kesabaran Laura. Terkadang anak ini memang menjengkelkan kalau dipaksa makan. Apalagi kalau sedang sakit. Laura harus membujuknya dengan segala cara.

“Miguel, dengarkan Mommy. Kalau kau tidak makan, kau tidak bisa sembuh. Kalau kau tidak sembuh, kau tidak bisa bertemu dengan teman-teman sekolahmu. Kau tidak merindukan mereka? Mommy yakin mereka pasti ingin melihatmu segera,” bujuk Laura, lagi.

“Mommy jangan bohong. Aku tidak bisa sembuh kalau tidak minum obat. Itu yang dikatakan Jack saat dia masuk ke rumah sakit beberapa waktu yang lalu.” Miguel menyebut Jack, anak tetangga sebelah mereka yang beberapa minggu lalu masuk ke rumah sakit karena typus. “Lagipula aku tidak mau sekolah lagi. Sekolah membuatku bosan. Aku mau di rumah saja,” lanjutnya lagi, kali ini dengan tampang cemberut.

Laura memandang penuh selidik pada Miguel. Pasti ada sesuatu yang terjadi. Laura menurunkan sendoknya dan berkata, “Jujur pada Mommy, apa yang terjadi di sekolah? Kenapa kau tidak ingin sekolah?”

“Tidak ada. Aku hanya tidak mau sekolah lagi.” Miguel semakin cemberut.

“Ya sudah, sekarang makan lagi. Ayo, sekarang buka mulutmu. Pesawat tempur akan meluncur,” Laura menggerakkan sendok itu seolah-olah seperti pesawat yang ingin terbang. Dan secara tak terduga, Miguel dengan kasar mendorong sendok itu hingga makanannya tercecer di mana-mana.

“MIGUEL!” seru Laura, marah. Mata wanita itu menatap tajam ke arah Miguel dan membuat anak laki-lakinya ketakutan.

“Apa Mommy pernah mengajarimu berbuat seperti itu? Itu sangat tidak sopan, kau tahu?” tegur Laura, nada suaranya masih tinggi. “Kau benar-benar keterlaluan.” Laura kemudian beranjak dari sofa sambil membawa piring makanan Miguel dan berjalan ke dapur. Laura kesal. Matanya mulai dihiasi lapisan bening.

Miguel melihat ibunya berdiri diam di konter dapur. Ia jadi merasa tidak enak telah membuat ibunya marah. Ia sangat takut sekali saat ibunya berteriak menyerukan namanya. Perlahan tubuh kecilnya itu menuruni sofa dan berjalan ke dapur. Takut-takut, Miguel mendekati tubuh Laura yang membelakanginya.

“Mommy,” suara Miguel bergetar saat memanggil ibunya. Laura terkejut dan buru-buru menghapus air matanya. Ia memutar tubuhnya dan melihat Miguel dengan wajah menunduk berdiri tidak jauh darinya. Laura melihat jelas raut bersalah anak laki-lakinya

“Kemarilah,” ujar Laura sembari merentangkan kedua tangannya.

Miguel melangkah hati-hati dan Laura langsung menyambutnya ke dalam pelukannya. “Aku minta maaf, Mommy. Tidak seharusnya aku berbuat seperti itu. Itu perbuatan tidak baik. Aku benar-benar menyesal membuatmu marah.”

Ucapan Miguel menciptakan seulas senyuman di bibir Laura. Ia kemudian menjauhkan tubuhnya dan menatap wajah menyesalnya Miguel. “Janji pada Mommy kau tidak akan melakukannya lagi?”

“Aku janji,” Miguel langsung mengangkat satu tangannya dan tiba-tiba saja membuat Laura tercekat. Ada keterkejutan yang menghampiri dirinya. Tingkah Miguel barusan mengingatkan Laura pada laki-laki itu. Mereka… sangat mirip.

“Mommy kenapa? Kok diam saja?” Pertanyaan Miguel membuyarkan lamunannya.

Laura cepat-cepat memasang ekspresi normal dan tersenyum pada Miguel. “Tidak apa-apa, Miguel.”

“Mommy, aku lapar. Kau mau menyuapiku lagi, kan?” tanya Miguel, tiba-tiba nada suaranya berubah manja. Laura tertawa kecil dan mengangguk. Mereka pun kembali ke ruang keluarga dan Laura mulai menyuapi Miguel makan.

“Enak,” komentar Miguel sembari makan dengan lahap. Laura cuma bisa tersenyum bahagia. Tidak ada kebahagian yang lebih dari pada saat ia bersama Miguel. Laura sangat mencintainya.

***

Hari ini Laura pergi ke toko bunganya dan membawa serta Miguel. Anak itu mengaku masih sakit dan membutuhkan istirahat. Jadilah ia tidak kembali ke sekolah dan menemani Laura di toko bunga.

Di toko bunga ini terdapat ruang untuk bersantai. Miguel bermain-main di sana sambil menonton televisi. Terkadang Laura sedikit khawatir membiarkan Miguel menghabiskan waktunya menonton televisi. Tapi, di saat hari sibuk seperti ini ia tidak ada pilihan selain membiarkan anak itu menonton, sementara dirinya melayani pelanggan.

Bunyi gemerincing menandakan adanya pelanggan baru yang masuk ke toko bunganya. Laura yang sedang membuka laci meja kasir menoleh sebentar melihat siapa yang datang.

***

Seorang wanita dengan gaun berwarna musim semi selutut tampak melangkahkan kakinya memasuki toko bunga yang bertuliskan Morning Glory di atasnya. Seorang laki-laki menyusul di belakangnya.

Sang pemilik toko bunga menyambut kedatangan wanita itu dengan hangat. Tapi, itu hanya sebentar. Dari bahu wanita itu, Laura tampak tertegun melihat siapa yang melangkah masuk ke dalam toko bunganya. Begitu juga dengan laki-laki itu. Langkahnya tiba-tiba saja terhenti dan ekspresi terkejut langsung menguasainya. Laura tanpa sadar menahan napas. Kenangan masa lalunya tanpa bisa dicegah berputar di kepalanya.

“Oh, Ms. Sanchez. Ini Marc, calon tunanganku. Marc, ayo perkenalkan diri,” suruh Adel, menoleh ke belakang. Marc gelagapan sendiri. Dengan canggung ia berjalan mendekat lagi dan mengulurkan tangannya dengan kaku. “Aku Marc,” kata Marc, sangat kaku.

“Laura,” Laura menjawab dengan cara tidak kalah canggungnya. Saat menyentuh tangannya, Laura seperti tersetrum. Begitu juga Marc. Cepat-cepat mereka melepaskan jabatan tangannya.

5 tahun sudah berlalu. Laura kembali menatap wajah Marc. Tidak ada yang berubah. Malahan Laura pikir ketampanan Marc bertambah 10 kali lipat sejak terakhir kali ia melihat laki-laki itu. Rahangnya masih seperti dulu, kuat dengan garis tegas. Hidungnya masih sama dan bibir hangat itu juga masih tampak sama. Mata itu, mata yang diwarisi juga oleh Miguel. Oh, astaga! Pikiran Laura jadi kacau begitu mengingat Miguel. Laura menoleh ke arah ruang santai dan melihat Miguel masih asyik menonton kartun.

“Ms. Sanchez, bisakah kita langsung memilih bunga-bunganya? Aku sudah tidak sabar lagi,” ucap Adel membuyarkan pikiran Laura.

“Ah… baiklah. Mari,” balas Laura, kaku.

Sementara Laura membawa Adel melihat-lihat rangkaian bunga, Marc masih tertegun dan tidak percaya bisa melihat wanita itu lagi. Laura bertambah cantik dan berubah menjadi wanita yang lebih dewasa. Ada sesuatu dalam diri Marc yang sudah lama hilang, kini muncul kembali.

Diam-diam Marc memperhatikan Laura yang menerangkan segala jenis bunga dan sesekali tersenyum bahkan tertawa. Laura tidak pernah berubah, pikir Marc. Masih saja murah senyum.

Marc merasakan ada kesesakan yang memenuhi relung hatinya. Ada kemarahan yang timbul. Marc ingin menuntut penjelasan setelah 5 tahun menghilang dan sekarang mereka bertemu lagi dengan cara yang sama sekali tidak terduga.

5 tahun yang lalu, Laura meninggalkannya tanpa memberitahunya. Bahkan wanita itu mengganti nomor teleponnya dan menyulitkan Marc mencarinya. Entah apa alasan Laura pergi pada saat itu, Marc tidak pernah tahu. Saat itulah ia bersumpah tidak akan memaafkan wanita itu sampai kapan pun karena sudah mengoyak hatinya. Marc membenci Laura.

“Hai, mate. Kenapa berdiri saja?” Suara seorang bocah laki-laki mengejutkan Marc. Laki-laki itu mengerjap beberapa kali dan lagi-lagi Marc tercekat memandang bocah kecil itu yang juga sedang memandangnya. Astaga! Apa-apaan ini? Marc seperti melihat dirinya sendiri pada bocah ini. Ada berbagai emosi yang melanda hati Marc. Ia tidak bisa percaya dengan apa yang dilihatnya ini. Anak ini….

“Kau…,” Marc masih kesulitan berbicara. Dalam satu hari ia mendapat dua kejutan sekaligus. Entah Marc harus bersikap bagaimana. Apakah ia senang atau justru membencinya.

“Aku? Aku Miguel, kau siapa?” Miguel mengulurkan tangannya, layaknya orang dewasa. Anak ini tersenyum ceria, senyum sama yang dimiliki Laura. Marc ingat itu.

Marc tahu ia harus bersikap normal. Ia tidak boleh tampak sedang terkejut seperti ini. Marc berdehem sebelum menjawab, “Aku Marc, Marc Marquez Alenta.”

“Nama keluargamu keren sekali,” komentar Miguel, masih menyunggingkan senyum khas Laura.

Sesuatu menohok hati Marc. “Jadi maksudmu nama depanku tidak keren, begitu?” tanya Marc, dibuat seolah-olah tersinggung.

“Oh, tidak,” Miguel buru-buru mengoreksi. “Nama depanmu juga bagus. Kau tersinggung ya? Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud seperti itu,” katanya. Marc terperangah. Sifat anak ini begitu mirip dengan Laura.

“Tidak apa-apa. Omong-omong kau tidak pergi ke sekolah?” tanya Marc, mencari topik baru.

“Aku sakit,” ucap Miguel singkat.

“Oh ya? Sakit apa?” Marc berjongkok di depan Miguel dan menyentuh dahi anak itu sebentar. Tidak panas.

“Bukan di situ. Tapi di sini,” Miguel menuntun tangan Marc turun ke tenggoroknya. “Di sini nyeri dan aku kesulitan makan,” jelas Miguel dengan polosnya.

“Kurasa ibumu harus memasak sup untukmu. Sup bagus untuk yang sedang sakit tenggorok. Kau tidak akan kesulitan makan lagi,” sahut Marc, ikut tersenyum. Entah kenapa Marc merasa sangat dekat dengan anak ini. Sebelumnya jujur ia kurang suka dengan anak kecil. Bahkan Roser, ibunya selalu menuntutnya untuk cepat-cepat menikah dan memiliki anak.

“Itu bisa dicoba,” Miguel menyetujui ucapan Marc.

Miguel menoleh ke belakang ketika suara Laura terdengar. “Aku harus kembali ke tempatku. Sejujurnya ibuku melarangku untuk bicara dengan orang asing. Sampai jumpa.”

Usai berkata seperti itu, Miguel dengan cepat berlari menuju sofa merah. Marc kembali berdiri dan melihat Adel dan Laura berjalan ke arahnya. Sekali lagi Marc memperhatikan Laura. Apa benar wanita itu ibunya Miguel? Tapi, bagaimana bisa? Miguel, yang Marc perkirakan berumur 4-5 tahun tidak mungkin anaknya Laura. Kalau itu benar berarti Laura sudah hamil saat berusia 17 tahun. Usia semuda itu?

“Aku benar-benar beruntung bisa bekerja sama denganmu, Ms. Sanchez. Aku sangat senang sekali,” ucap Adel seraya tersenyum tulus. Laura membalas senyuman itu dan matanya kemudian beralih pada Marc. Laura sedikit tidak nyaman ditatap Marc seperti itu.

“Baiklah. Kalau begitu kami pulang dulu. Dan ini…,” Adel mengeluarkan sebuah kertas dari tasnya dan menyerahkannya pada Laura. “Undangan pertunanganku. Kuharap kau hadir.”

Marc dan Adel kemudian meninggalkan toko bunga itu. Laura bernapas lega. Sedari tadi ia terus berusaha untuk fokus menjelaskan setiap bunga pada Adel. Laura harus berusaha keras karena fokusnya sering terpecah. Untung saja Adel puas dengan pelayanannya.

“Miguel…,” panggil Laura seraya berjalan ke ruang santai. “Ayo kita pulang. Saatnya makan siang,” ajaknya.

“Aku ingin makan sup,” ujar Miguel, begitu mereka pulang ke rumah yang lokasinya terletak di sebuah toko bunga dan hanya dipisahkan oleh jalanan berbatuan.

“Sup? Kenapa tiba-tiba kau ingin makan sup?” tanya Laura heran. Laura tahu Miguel paling tidak suka makan dengan sup. Beberapa kali Laura memasak sup, Miguel tidak memakan sama sekali.

“Kata Marc sup bagus untukku yang kesulitan makan,” jawab Miguel polos.

Laura melebarkan matanya terkejut. “Kau… bilang siapa?”

To Be Continued…

Published by

Rita

I love writing ^_^

7 thoughts on “My Secret, His Son #1”

  1. wah ceritanya bagus *acunglimajempol* ^^
    saking menghayatinya waktu baca aku sempet nangis, pas bagian laura ngambek saat Miguel gak mau makan. hahaha…
    ditunggu lanjutannya ^_^

    Like

  2. aih.. si miguel lucu banget itu fotonya. pipinya chubby. mirip juga sama marc. aku suka aku suka. hehe
    laura bener bener pantes ya diacungi jempol. dia udah harus menanggung beban seberat itu diusianya yg masih muda banget. huft.. semoga marc nggak benci lagi sama laura stlah tahu apa alasan laura ninggalin dia.

    Like

Leave a comment